Sabtu, 27 Juli 2013

☆ Legenda 'Begundal' Karawang-Bekasi

Wartawan Tempo Ali Anwar pernah mewawancarai sosok misterius Kapten Lukas Kustario pada 1992.


Lukas Kustario
BOLA mata Brigadir Jenderal Purnawirawan Lukas Kustario yang bulat itu berkaca-kaca tatkala saya pada 1992 meminta dia menjelaskan posisi dirinya dalam peristiwa pembantaian terhadap 431 penduduk oleh tentara Belanda di Rawa Gede, Karawang, pada 9 Desember 1947.

Lelaki gempal yang saat tragedi tak berperikemanusiaan itu menjabat sebagai Komandan Kompi I Batalion I Divisi Siliwangi di Karawang, langsung menengadahkan wajahnya ke langit-langit rumahnya yang sederhana di Jalan Gadog I, Cipanas Cianjur, Jawa Barat.

Saya tahu, Lukas yang usianya sudah mencapai 72 tahun saat itu, mencoba membendung air matanya, supaya dianggap tetap tegar, tidak mau dianggap cengeng di mata anak muda.

Namun, lama kelamaan air matanya semakin banyak, sehingga kelopak matanya tak mampu lagi membendung. Air mata itupun tumpah. Saat wajahnya ditundukkan, dia lepaskan tangis itu, sesenggukan bagai bocah.

“Maaf, sudah lama saya tidak menangis,” kata Lukas sambil mengusap air mata menggunakan ujung lengan panjang kemejanya. “Saat peristiwa pembantaian, saya sedang tidak di Rawa Gede, tapi di kampung lain di sekitar Karawang. Saya baru tahu pembanyaian itu keesokan harinya,” ujar Lukas.

Lukas mengaku tidak tahu persis alasan Belanda membantai penduduk tak berdosa itu. Namun, dia yakin peristiwa amat dahsyat itu disebabkan oleh rasa frustrasi pasukan Belanda yang tidak mampu menangkap pasukan pejuang, temasuk dirinya dan KH Noer Alie. “Kadang saya menyesal, mereka menjadi korban pembantaian demi melindungi para pejuang, termasuk saya dan KH Noer Alie,” kata Lukas.

Kebetulan, kata Lukas, saat itu daerah sepanjang rel kereta api yang membentang dari Karawang, Rawa Gede, dan Rengasdengklok menjadi basis pertahanan pejuang. Setelah Agresi Militer Belanda I pada 21 Juli 1947, Kapten Lukas Kustario dan KH Noer Alie sama-sama menempatkan pasukannya di Karawang dan sekitarnya.
Namun, secara alami, mereka saling berbagi wilayah operasi gerilya.

Lukas memegang wilayah dari Rengasdengklok, Rawa Gede, Karawang, ke selatan hingga hutan Kamojing. Adapun KH Noer Alie (Pimpinan Umum Markas Pusat Hizbullah-Sabilillah Jakarta Raya) dari Karawang ke utara, membujur dari Rawa Gede, Rengasdengklok, Batujaya, hingga Pakis. “Semua pejuang berpakaian seperti rakyat. Tak ada yang berani menggunakan pakaian dan uniform TNI, karena Karawang-Bekasi sudah dikuasai Belanda sejak Agresi Militer Belanda I,” kata Lukas.

***

ANAK petama Lukas, Lusiati Kushendrini Purnomowati, ingat ia pernah mendengar cerita tentang kejelian dan kelicinan ayahnya itu dari neneknya, Darsih. Ketika itu, kata Lusi, beberapa pekan menjelang peristiwa Rawa Gede, Lukas tengah di rumahnya di Cikampek bersama istrinya, Sri Soesetien, mertuanya Soekirno dan Darsih.

Tiba-tiba di depan rumah sudah berdiri sepasukan tentara Belanda. “Hati-hati Belanda, itu,” kata Darsih membisiki Lukas. Lukas yang masih mengenakan celana kolor, kaos singlet, dan kepala dililit handuk, tenang saja. “Di mana Lukas?,” kata seorang tentara Belanda kepada Lukas.

Lukas pun menjawab santai, “Oo, nggak tahu, barang kali di sana.” Begitu Belanda menjauh, Lukas segera berganti pakaian. “Langsung berangkat,” katanya. Lukas bertemu keluarganya kembali menjelang hijrah ke Yogyakarta pada Februari 1948.

Anak buah Lukas, Letanan Dua (Purnawirawan) TNI Soepangat, mengungkapkan, Komandan Batalion I Mayor Sudarsono sengaja menempatkan pasukan Lukas di Karawang yang “panas,” karena cocok dengan karakter Lukas yang pemberani dan cekatan.

Saat bertempur, Lukas selalu berada di posisi depan anak buahnya. Di sampingnya ada dua orang anak buah. Satu orang memegang bren, satu orang lagi memegang peluru. Saat berhadapan dengan musuh, kata dia, Lukas melakukan penembakan menggunakan bren telah tersedia di sisinya “Yang kesohor Lukas, karena itu (Rawa Gede) daerah kekuasaannya,” kata Soepangat di Cipanas, Cianjur, Kamis dua lalu.

Saking sulitnya Belanda menangkap Lukas, pihak Republik Indonesia menjulukinya sebagai tentara “kelotokan,” sedangkan Belanda menjulukinya sebagai “begundal” Karawang-Bekasi.

Perjalanan karir Lukas di ketentaraan bermula dari Madiun pada masa Pendudukan Militer Jepang 1942-1945. Lelaki kelahiran Magetan, 20 Oktober 1920, itu menjabat chudancho (komandan seksi) heiho di Madiun.Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, Lukas dan rekan-rekannya mendatangi markas tentara Jepang untuk meminta senjata.

Mereka dipanggil Presiden Soekarno ke Jakarta, untuk menjaga keamanan. Sekitar 120 tentara dari Madiun diberangkatkan menggunakan kereta api pada 26 September dan tiba di Jakarta pada 29 September.

Bentrokan antara pejuang dengan tentara Sekutu-Inggris tak terelakkan. Terjadilah pertempuran sporadis, terutama di Senen, Kramat, dan Klender. Sebagian besar pasukan Madiun ditarik ke Surabaya paska peristiwa 10 Nopember 1945.

Yang tersisa di Jakarta tinggal sekitar 20 orang, yakni Seksi I Lukas Kustaryo di bawah Komandan Kompi I Banu Mahdi. Selanjutnya Kompi I ditempatkan di bawah komando Resimen VI/Cikampek.

Pada 13 Desember 1945, kota dan kampung-kampung di Bekasi dibom dan dibakar tentara Sekutu-Inggris. Penyebabnya, 26 tentara Sekutu-Inggris yang pesawatnya melakukan pendaratan darurat di Rawa Gatel, Cakung, pada 23 Nopember, dibunuh oleh para pemuda Bekasi pada awal Desember.

Lukas yang marah atas tindakan biadab tentara Sekutu-Inggris tersebut, membawa pasukannya dibantu pemuda pejuang Bekasi untuk menyerbuan markas Sekutu-Inggris di Cililitan. “Kita bisa menekan moril pasukan Sekutu-Inggris dan Belanda, sehingga mereka tidak bisa keluar dari Cililitan, menimbulkan kekalutan mereka,” kata Lukas dalam wawancara saya pada 1992 itu.

Dari Bekasi, Lukas dan pasukannya ditugaskan ke Karawang. Di sana, Lukas menikah dengan Sri Soesetien, anak Kepala Stasiun Cikampek, Soekirno, pada 15 Oktober 1946. “Kedua orangtua bapak (Lukas), Djojodihardjo dan Prapti Ningsih, beragama nasrani. Saat menikah dengan ibu saya, beliau (Lukas) sudah muslim,” kata Lusiati.

Ketangguhan Lukas kembali diuji ketika pasukan Laskar Rakyat Jakarta Raya menyerang TRI di Tambun April 1947. Saat perundingan dengan Laskar Rakyat Jakarta Raya mengalami jalan buntu, Batalion I yang dipimpin Lukas bergerak ke Tambun. Lukas berhasil memukul mundur Laskar Rakyat Jakarta Raya.

Sebagian dari pemimpin Laskar Rakyat bergabung dengan tentara Belanda di Jakarta. Lukas merasa kecewa tatkala tentara di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Amir Sjarifuddin memerintahkan batalionnya bersama batalion Supriyatna dan batalion Sumantri, agar pindah ke Tasikmalaya.

Sebagai gantinya, ditempatkan Batalion Beruang Merah dari Tasikmalaya. Namun, pertahanan Beruang Merah di Tambun amat lemah, sehingga sangat mudah ditaklukkan Belanda saat Agresi Militer pada 21 Juli 1947. Pertahanan Republik pun beset hingga Karawang dan Cirebon.

Untuk mengembalikan pertahanan yang sudah dikuasai pasukan Belanda, Divisi Siliwangi melakukan konsolidasi. Lukas dan kawan-kawannya pun dikembalikan ke Karawang-Bekasi. Selain melakukan perang gerilya, mereka juga membentuk pemerintahan sipil, untuk menandingi pemerintahan bentukan Belanda.

Dampaknya, moral pasukan dan penduduk kembali bangkit. Watak agresif dan berani pula yang membuat Lukas kerap berhasil melumpuhkan lawan. Sebagai contoh, kata Soepangat, sebelum kembali ke Karawang-Bekasi pada Oktober-Nopember 1947, Batalion I melumpuhkan pasukan Belanda dalam perjalanan dari Tasikmalaya, Sumedang, Subang, Purwakarta, dan hingga Cikampek.

“Nah, yang bisa menghancurkan panser Belanda itu, ya, Kompi Lukas. Itu sebabnya, Belanda amat mengenalnya,” ujar Soepangat. Makanya, begitu Lukas ditempatkan di Karawang, komandan “begundal” ini membikin “gerah” tentara Belanda.

Buktinya, ujar Soepangat, Belanda banyak kehilangan senjata dan jiwa dalam aksi-aksi gerilya yang dipimpin Lukas. Perang gerilya yang diajarkannya adalah, “Sekali serang, dua kali tembak, tiga kali hilang,” katanya.

“Umpamanya saya pegang pistol, ketemu Belanda. Setelah kita tembak, kita ambil senjatanya, lantas kita menghilang. Itu tiap hari kejadiannya. Ini yang membuat nama Lukas kesohor,” Soepangat menambahkan.

Berbagai cara dilakukan Belanda untuk memburu Lukas, namun lelaki dengan tinggi badan 160 senti meter itu bermata dan berotak jeli bagai elang dan licin bagai belut. Dia selalu lolos dalam setiap penyergapan. Selain mampu mengecoh lawan, Lukas juga dikenal sebagai sosok yang mampu menjalin hubungan erat dengan semua komponen pro-Republik Indonesia.

Dalam menjalankan aksi gerilyanya, Lukas selalu berkoordinasi dengan rekan-rekannya, seperti Kapten Mursjid sebagai Komandan Kompi II bergerak di Gunung Sanggabuana, dan Kapten Kharis Suhud, Komandan Kompi III di Kedung Gede hingga Cibarusah.

Lukas mengakui perjuangannya yang cenderung mulus juga berkat hubungan yang erat antara dirinya dengan gerilyawan lain dari badan-badan perjuangan, jawara, bandit, rampok, hingga rakyat jelata. “Saya menyatukan (semua komponen), jangan sampai perang saudara. Sebagian besar tidak menolak, karena tujuannya melawan Belanda,” kata Lukas. “Pasukan KH Noer Alie membantu. Mereka kasih makan, penunjuk jalan. Kalau saya mau mundur ke mana, semua diatur Pak Kiai,” kata Lukas.

Pada saat Divisi Siliwangi hijrah dari Jawa Barat ke Yogyakarta dan Jawa Tengah sejak Februari 1948, Lukas yang naik pangkat menjadi mayor dan naik jabatan sebagai Komandan Batalion 4 Tajimalela, kembali menunjukkan kebolehannya.

Selain memberantas pemberonakan PKI di Madiun, Lukas juga kerap memukul pasukan Belanda. Ketika itu, pada Desember 1948, tentara Belanda dari Batalion 3-11 RI Brigade W/Divisi B yang bergerak dari Banyumas dak merebut Banjarnegara, namun dihentikan dan dipukul mundur oleh Lukas.

Sekembalinya di Jawa Barat pada 1949, Lukas yang cinta Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) “memerangi” para kolaborator Belanda yang bergabung dalam Negara Pasundan dan Federal Jakarta.

Salah satu caranya, dia bersama KH Noer Alie menggelar apel akbar di Alun-alun Bekasi pada 17 Januari 1950. Hasilnya, Bekasi memisahkan diri dari Jakarta, untuk selanjutnya bergabung ke dalam NKRI. Langkah ini diikuti Tangerang dan Bogor.

Saat memperkuat pemerintahan sipil di Jakarta dn sekitarnya, pada Nopember 1950, Mayor Lukas ditugaskan ke Maluku untuk memberantas pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) yang dipimpin mantan Jaksa Agung Negara Indonesia Timur, Dr. C.R.S. Soumokil.

Lukas kembali nyohor berkat kesuksesannya merebut benteng Victoria dan menduduki sebagian besar Ambon pada 3 Nopember. Lukas mengamuk bagai Rambo begitu mendengar Komandan Operasi Maluku Selatan, Letnan Kolonel Ign Slamet Rijadi gugur. “Bakar semuanya!” ujar Soepangat mengenang perintah Lukas. Kota Ambon menjadi api unggun raksasa dalam waktu singkat. RMS pun takluk.

Setelah kembali ke Jakarta pada awal 1951, Lukas menjadi Komandan Batalion “K” Brigade 20. Kali ini dia ditugaskan untuk memberantas gerombolan liar yang kerap melakukan perampokan dan pembakaran rumah-rumah warga di Bekasi, Cileungsi, dan Cibarusah.

Tentu saja Lukas tidak kesulitan, karena para gerombolan yang terdiri dari para bekas pejuang dan perampok, adalah orang-orang yang dia kenal baik pada masa perang kemerdekaan. Hasilnya, seperti dikutip koran Pemandangan, 24 Februari 1951, “Sekitar dua seksi pasukan gerombolan berhasil dipengaruhi tentara.”

***

Ketika asyik di ketentaraan, Lukas diajak oleh mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Kolonel A.H. Nasution mendirikan organisasi politik Ikatan Pendukung Kemerdekaan (IP-KI). Organisasi yang didirikan para tentara pada 20 Mei 1954, itu meraih empat kursi di parlemen dalam pemilihan umum 1955.

Lukas pun menjadi anggota DPR dari Fraksi IP-KI, bersama-sama Letnan Kolonel Daeng, Mayor Katamsi, dan Kolonel Gatot Subroto. Sejak saat itulah Lukas menetap di Cipanas, Cianjur.

Gatot Subroto yang kemudian menjadi Wakil KSAD digantikan posisinya oleh Kolopaking, sedangkan Nasution terpilih untuk anggota Konstituante di Jawa Tengah. Belakangan, Nasution diminta kembali oleh Presiden Soekarno untuk menjabat KSAD.

Lukas dan tentara yang duduk di IP-KI, kecewa dengan sepak terjang Nasution. Karena, Nasution bukan hanya meninggalkan IP-KI, tetapi juga memusuhi sejumlah tentara pendiri IP-KI. “Rupanya, mendirikan IP-KI untuk menyelamatkan dirinya sendiri,” kata Lukas.

Itu sebabnya, Lukas mengaku kapok bila diajak mendirikan organisasi apapun oleh Nasution. “Saya langsung menolak ketika Nasution, mengajak bergabung di Petisi 50,” katanya.

Ketika tak lagi berpolitik, Lukas kembali mengabdi sebagai tentara. Kali ini, pada awal 1960-an, sebagai Komandan Seksi Teritorial di Markas Divisi Siliwangi. Pada masa Orde Baru, Lukas dan para jenderal Siliwangi yang kritis terhadap pemerintahan Soeharto, dipinggirkan.

Sementara sebagian rekannya bergelimang harta dan jabatan, di hari tuanya, Lukas yang berpangkat brigadir jenderal purnawirawan lebih banyak mencurahkan waktunya untuk menyambangi orang-orang yang pernah bersinggungan dengan dirinya sejak masa perang kemerdekaan, dan berbaur dengan warga sekitar Cipanas.

Untuk mengenang peristiwa Rawa Gede, hampir setiap tahun, Lukas bersama rekan-rekannya menjenguk serta menyantuni para keluarga korban pembantaian di Rawa Gede. “Kami juga membikin monumen di Rawa Gede, agar sejarahnya tidak dilupakan generasi muda,” ujar Lukas.

Tak aneh kalau pada era 1980-an hingga 1990-an, rumahnya selalu didatangi para veteran, mantan jawara, mantan rampok, aktivis pemuda, peneliti, hingga mahasiswa skripsi. “Bapak rajin ke Bekasi, Karawang, Cikampek. Termasuk ke Rawa Gede dan Batalion 202/Tajimalela di Bekasi,” kata putra kedua Lukas, Bambang Rilaksana Susetia.

Jenderal “kelotokan” dan “begundal” Karawang-Bekasi itu wafat di Cianjur dalam usia 77 tahun pada 8 Januari 1997. Ribuan orang dari berbagai kelompok dan kelas yang melayat, menangisinya. Warga Cianjur yang mengenalnya sebagai jenderal yang ramah dan bersahaja itu, mengikhlaskan jalan-jalan utama mereka macet total. Para pedagang, rela menutup tokonya seharian.

Saking mengagumi dan menghormati keteguhan Lukas, sampai-sampai mereka menyiapkan tiga liang lahat, yakni di Taman Makam Pahlawan Kali Bata Jakarta, Gunung Kasur Cianjur, dan Taman Makam Pahlawan Kusuma Bangsa Cianjur di Cipanas.

Akhirnya, keluarga memutuskan memakamkannya di Taman Makam Pahlawan Kusuma Bangsa yang terletak di belakang Istana Negara Cipanas. Sehari setelah mendengar kabar Pengadilan Den Haag, Belanda, memenangkan para janda korban pembantaian Rawa Gede, keluarga berziarah ke makam Lukas. “Pak, berhasil sudah perjuangan Bapak,” ujar Lusiati.

 ● Ali Anwar  

2 komentar:

  1. Seorang pejuang yg sangat dibutuhkan oleh indonesia saat ini, selain berani dan cerdik juga bisa menyatukan semua elemen masyarakat dari yg hitam dan putih. Cerita yg sangat menyentuh.

    BalasHapus
  2. Kenaglah pahlawan2 dihati orang indonesia demi negri ini mereka rela mati

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...