Bagaikan Pungguk Merindukan BulanN219 produksi PT DI [PTDI] ☆
INDONESIA sebagai sebuah negara yang luas, terletak pada posisi strategis, berpenduduk padat, berbentuk kepulauan dan banyak kawasan berpegunungan membuat perhubungan udara menjadi sebuah kebutuhan yang vital.
Tidak terlalu mengada-ada, Indonesia memang seharusnya memiliki pabrik pesawat terbang. Tidak perlu sebesar atau sekelas Airbus dan atau Boeing, akan tetapi cukuplah sebuah pabrik yang dapat menghasilkan pesawat terbang sekelas N-219.
Pesawat terbang sekelas N-219 adalah pesawat paling dibutuhkan bagi angkutan udara nusantara.
Industri Penerbangan nasional termasuk pabrik pesawat terbang menjadi faktor yang sangat amat penting memperoleh perhatian, karena kemampuannya yang ampuh dalam memutar roda ekonomi.
Walau “hanya” sekelas N-219, sebuah aircraft manufacture membutuhkan pemikiran serius dan cerdas dari orang-orang yang berkompeten dibidangnya. Memerlukan orang orang yang memiliki “integrated way of thinking”.
Tidak hanya itu, sebuah pabrik pesawat terbang memerlukan pengelolaan dan manajemen yang multi disiplin dan terpadu secara nasional untuk dapat eksis.
Harus diakui bahwa memang dunia penerbangan yang relatif masih “muda” usia belum banyak memiliki “ahli" di tingkat global, apalagi di Indonesia. Ahli di bidang penerbangan masih “langka”.
Semangat juang dan spirit tinggi dari Bung Karno, Nurtanio, Wiweko, Jum Soemarsono, dan BJ Habibie sebenarnya telah meletakkan visi kedirgantaraan yang kuat menuju kepada Indonesia sebagai negara maju dibidang industri dirgantara, khususnya mampu membuat pesawat terbang sendiri.
Sayangnya, hingga sekarang ini kita belum sanggup memadukan banyak potensi yang telah dimiliki itu untuk membangun industri penerbangan yang “world class”.
Sebenarnya, perjalanan LIPNUR, IPTN, dan PTDI untuk menuju ke sana sudah bergulir. Hanya sayangnya belum bernasib baik untuk dapat mengalir mengikuti arus perjalanan dalam mencapai sukses. Nasib yang seharusnya sangat wajar diharapkan dari peran pemerintah yang lebih besar lagi kepada Industri Penerbangan Nasional.
Sekadar contoh saja, ketika pesawat terbang CN-235 disalurkan untuk digunakan dalam salah satu skadron angkut di Angkatan Udara dan sejumlah lainnya diberdayakan penggunaannya oleh maskapai penerbangan perintis milik pemerintah, dengan serta merta telah membuka pasar internasional.
Sejumlah negara turut memesan produk Indonesia itu karena merasa “terjamin” dengan kualitas CN-235 yang diputuskan oleh pemerintah RI untuk digunakan oleh Angkatan Udaranya dan maskapai penerbangan milik pemerintah.
Ini adalah salah satu saja tentang cara bagaimana pemerintah dapat berperan serta membuka pasar bagi penjualan pesawat terbang produksi dalam negeri. Peran cerdas yang jauh sekali untuk dapat disebut sebagai metoda “injak kaki”.
Sekarang ini model seperti itu sangat layak dilakukan dalam bentuk yang sedikit berbeda yaitu mempertemukan kebutuhan Pemerintah Daerah akan pesawat terbang dengan produsen N-219 yaitu PTDI.
Selama ini kebutuhan pesawat terbang bagi angkutan udara di banyak pemerintahan daerah terpaksa dilakukan menggunakan jasa “orang lain”, karena tidak tersedia jalan untuk mempertemukan produsen (PTDI) dengan konsumen (Pemda).
CN236 Patmar TNI AL produksi PT DI [PTDI]
Sayang sekali anggaran pemda jadi terserap oleh pihak lain karena tuntutan kebutuhan angkutan udara di daerah yang tidak dapat menunggu.
Ini adalah salah satu saja dari sekian banyak cara dan atau metoda, bahwa peran pemerintah pusat dapat menggulirkan jalan mulus menuju suksesnya sebuah aircraft manufacture nasional, dan sekaligus melancarkan lajunya pembangunan daerah sebagai bagian utuh dari pembangunan nasional.
Sekali lagi metoda atau cara seperti ini sangat jauh dari sebuah metoda yang dapat disebut sebagai cara “injak kaki”. Sebuah metoda yang tidak masuk dalam kategori “mengemis dana” dari pemerintah pusat.
Negara maju sekalipun, yang memiliki pabrik pesawat terbang kelas dunia, pada dasarnya menggunakan terlebih dahulu hasil produksi pabrik pesawat terbangnya, dalam upaya membantu usaha membuka pasar global sebagai salah satu langkah promosi.
Masih banyak lagi yang dapat dilakukan oleh pemerintah dalam upaya mewujudkan pabrik pesawat terbang “made in Indonesia”, karena pesawat terbang dapat membuka lapangan usaha lainnya seperti kegiatan pemeliharaan, pabrik pembuat komponen pesawat dan lain lain.
Tentu saja dalam hal ini mekanisme sertifikasi akan menjadi bagian yang tidak dapat dihindarkan karena produk atau hasil dari rekayasa teknologi akan menuntut tanggung jawab dalam penggunaannya. Ini yang membedakan dengan produk barang yang “sederhana” seperti pabrik sandal jepit misalnya.
Peluang lainnya adalah pada proses pembelian pesawat terbang dalam jumlah yang banyak, seperti telah berlangsung selama ini. Pada proses itu ada sejumlah peluang besar yang dapat dan tidak dimanfaatkan dunia industri penerbangan dalam negeri.
Dalam hal ini adalah peluang memperoleh “counter trade” bagi pengembangan pabrik komponen pesawat terbang dalam negeri. Ada ketentuan atau regulasi internasional dan juga nasional yang mengatur tentang hal tersebut.
Persoalannya adalah tanpa campur tangan dari peran pemerintah untuk malaksanakannya, peluang tersebut dipastikan menjadi hilang tidak tentu rimbanya. Sekali lagi peran pemerintah memang cukup signifikan dalam upaya besar membangun dan membangkitkan industri penerbangan di Indonesia.
Potensi pengembangan industri penerbangan terutama dalam cita-cita untuk memiliki pabrik pesawat terbang dalam negeri berkelas global sungguh sangat banyak. Sebagian sudah dibuktikan antara lain dalam ukiran sejarah LIPNUR, IPTN dan PTDI.
Namun mengapa hingga sekarang belum juga terwujud kejayaan industri penerbangan nasional? jawabannya antara lain adalah kita memang belum memiliki rencana induk dan road map industri penerbangan dalam tataran strategis.
Kita belum memiliki "think tank" dari para ahli kedirgantaraan yang berada dalam satu wadah ditingkat nasional. Kita belum memberikan perhatian yang cukup pada bidang kedirgantaraan. Kita belum memiliki sebuah pola standar dalam pengembangan SDM di bidang penerbangan. Kita belum cukup memiliki institusi penelitian dan pengembangan.
Terakhir adalah kita belum memiliki sebuah badan yang dapat dan harus berperan dalam mensinkronisasikan sejumlah potensi yang tercecer di tanah air untuk mengerucutkannya hingga dapat mengantar Indonesia sebagai sebuah negara yang memiliki industri penerbangan sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
PTDI telah membuktikan dirinya sebagai pabrik pesawat terbang. Akan tetapi, terlihat PTDI "tidak mampu” memasarkan atau menjual hasil produksinya.
Dari uraian di atas kiranya sangat jelas bahwa berharap PTDI dapat “sukses” dalam jualan pesawat adalah bagaikan “pungguk merindukan bulan”.
Dengan demikian, berharap komunitas penerbangan Indonesia untuk berbisnis sendiri, dalam konteks pengembangan Industri penerbangan, khususnya pabrik pesawat terbang adalah sesuatu yang sangat amat mustahil.
INDONESIA sebagai sebuah negara yang luas, terletak pada posisi strategis, berpenduduk padat, berbentuk kepulauan dan banyak kawasan berpegunungan membuat perhubungan udara menjadi sebuah kebutuhan yang vital.
Tidak terlalu mengada-ada, Indonesia memang seharusnya memiliki pabrik pesawat terbang. Tidak perlu sebesar atau sekelas Airbus dan atau Boeing, akan tetapi cukuplah sebuah pabrik yang dapat menghasilkan pesawat terbang sekelas N-219.
Pesawat terbang sekelas N-219 adalah pesawat paling dibutuhkan bagi angkutan udara nusantara.
Industri Penerbangan nasional termasuk pabrik pesawat terbang menjadi faktor yang sangat amat penting memperoleh perhatian, karena kemampuannya yang ampuh dalam memutar roda ekonomi.
Walau “hanya” sekelas N-219, sebuah aircraft manufacture membutuhkan pemikiran serius dan cerdas dari orang-orang yang berkompeten dibidangnya. Memerlukan orang orang yang memiliki “integrated way of thinking”.
Tidak hanya itu, sebuah pabrik pesawat terbang memerlukan pengelolaan dan manajemen yang multi disiplin dan terpadu secara nasional untuk dapat eksis.
Harus diakui bahwa memang dunia penerbangan yang relatif masih “muda” usia belum banyak memiliki “ahli" di tingkat global, apalagi di Indonesia. Ahli di bidang penerbangan masih “langka”.
Semangat juang dan spirit tinggi dari Bung Karno, Nurtanio, Wiweko, Jum Soemarsono, dan BJ Habibie sebenarnya telah meletakkan visi kedirgantaraan yang kuat menuju kepada Indonesia sebagai negara maju dibidang industri dirgantara, khususnya mampu membuat pesawat terbang sendiri.
Sayangnya, hingga sekarang ini kita belum sanggup memadukan banyak potensi yang telah dimiliki itu untuk membangun industri penerbangan yang “world class”.
Sebenarnya, perjalanan LIPNUR, IPTN, dan PTDI untuk menuju ke sana sudah bergulir. Hanya sayangnya belum bernasib baik untuk dapat mengalir mengikuti arus perjalanan dalam mencapai sukses. Nasib yang seharusnya sangat wajar diharapkan dari peran pemerintah yang lebih besar lagi kepada Industri Penerbangan Nasional.
Sekadar contoh saja, ketika pesawat terbang CN-235 disalurkan untuk digunakan dalam salah satu skadron angkut di Angkatan Udara dan sejumlah lainnya diberdayakan penggunaannya oleh maskapai penerbangan perintis milik pemerintah, dengan serta merta telah membuka pasar internasional.
Sejumlah negara turut memesan produk Indonesia itu karena merasa “terjamin” dengan kualitas CN-235 yang diputuskan oleh pemerintah RI untuk digunakan oleh Angkatan Udaranya dan maskapai penerbangan milik pemerintah.
Ini adalah salah satu saja tentang cara bagaimana pemerintah dapat berperan serta membuka pasar bagi penjualan pesawat terbang produksi dalam negeri. Peran cerdas yang jauh sekali untuk dapat disebut sebagai metoda “injak kaki”.
Sekarang ini model seperti itu sangat layak dilakukan dalam bentuk yang sedikit berbeda yaitu mempertemukan kebutuhan Pemerintah Daerah akan pesawat terbang dengan produsen N-219 yaitu PTDI.
Selama ini kebutuhan pesawat terbang bagi angkutan udara di banyak pemerintahan daerah terpaksa dilakukan menggunakan jasa “orang lain”, karena tidak tersedia jalan untuk mempertemukan produsen (PTDI) dengan konsumen (Pemda).
CN236 Patmar TNI AL produksi PT DI [PTDI]
Sayang sekali anggaran pemda jadi terserap oleh pihak lain karena tuntutan kebutuhan angkutan udara di daerah yang tidak dapat menunggu.
Ini adalah salah satu saja dari sekian banyak cara dan atau metoda, bahwa peran pemerintah pusat dapat menggulirkan jalan mulus menuju suksesnya sebuah aircraft manufacture nasional, dan sekaligus melancarkan lajunya pembangunan daerah sebagai bagian utuh dari pembangunan nasional.
Sekali lagi metoda atau cara seperti ini sangat jauh dari sebuah metoda yang dapat disebut sebagai cara “injak kaki”. Sebuah metoda yang tidak masuk dalam kategori “mengemis dana” dari pemerintah pusat.
Negara maju sekalipun, yang memiliki pabrik pesawat terbang kelas dunia, pada dasarnya menggunakan terlebih dahulu hasil produksi pabrik pesawat terbangnya, dalam upaya membantu usaha membuka pasar global sebagai salah satu langkah promosi.
Masih banyak lagi yang dapat dilakukan oleh pemerintah dalam upaya mewujudkan pabrik pesawat terbang “made in Indonesia”, karena pesawat terbang dapat membuka lapangan usaha lainnya seperti kegiatan pemeliharaan, pabrik pembuat komponen pesawat dan lain lain.
Tentu saja dalam hal ini mekanisme sertifikasi akan menjadi bagian yang tidak dapat dihindarkan karena produk atau hasil dari rekayasa teknologi akan menuntut tanggung jawab dalam penggunaannya. Ini yang membedakan dengan produk barang yang “sederhana” seperti pabrik sandal jepit misalnya.
Peluang lainnya adalah pada proses pembelian pesawat terbang dalam jumlah yang banyak, seperti telah berlangsung selama ini. Pada proses itu ada sejumlah peluang besar yang dapat dan tidak dimanfaatkan dunia industri penerbangan dalam negeri.
Dalam hal ini adalah peluang memperoleh “counter trade” bagi pengembangan pabrik komponen pesawat terbang dalam negeri. Ada ketentuan atau regulasi internasional dan juga nasional yang mengatur tentang hal tersebut.
Persoalannya adalah tanpa campur tangan dari peran pemerintah untuk malaksanakannya, peluang tersebut dipastikan menjadi hilang tidak tentu rimbanya. Sekali lagi peran pemerintah memang cukup signifikan dalam upaya besar membangun dan membangkitkan industri penerbangan di Indonesia.
Potensi pengembangan industri penerbangan terutama dalam cita-cita untuk memiliki pabrik pesawat terbang dalam negeri berkelas global sungguh sangat banyak. Sebagian sudah dibuktikan antara lain dalam ukiran sejarah LIPNUR, IPTN dan PTDI.
Namun mengapa hingga sekarang belum juga terwujud kejayaan industri penerbangan nasional? jawabannya antara lain adalah kita memang belum memiliki rencana induk dan road map industri penerbangan dalam tataran strategis.
Kita belum memiliki "think tank" dari para ahli kedirgantaraan yang berada dalam satu wadah ditingkat nasional. Kita belum memberikan perhatian yang cukup pada bidang kedirgantaraan. Kita belum memiliki sebuah pola standar dalam pengembangan SDM di bidang penerbangan. Kita belum cukup memiliki institusi penelitian dan pengembangan.
Terakhir adalah kita belum memiliki sebuah badan yang dapat dan harus berperan dalam mensinkronisasikan sejumlah potensi yang tercecer di tanah air untuk mengerucutkannya hingga dapat mengantar Indonesia sebagai sebuah negara yang memiliki industri penerbangan sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
PTDI telah membuktikan dirinya sebagai pabrik pesawat terbang. Akan tetapi, terlihat PTDI "tidak mampu” memasarkan atau menjual hasil produksinya.
Dari uraian di atas kiranya sangat jelas bahwa berharap PTDI dapat “sukses” dalam jualan pesawat adalah bagaikan “pungguk merindukan bulan”.
Dengan demikian, berharap komunitas penerbangan Indonesia untuk berbisnis sendiri, dalam konteks pengembangan Industri penerbangan, khususnya pabrik pesawat terbang adalah sesuatu yang sangat amat mustahil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.