⚓️ Harus Diganti! Konsep Arrowhead 140 Frigate, menunggu pengadaan alutsista baru TNI [Babcock] ⚓️
Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto menyatakan secara tegas bahwa alat utama sistem persenjataan (alutsista) milik Indonesia sudah tua. Oleh karena itu, ia berharap alat-alat tersebut segera diganti.
Hal itu diungkapkan Prabowo saat menanggapi soal rencana peraturan presiden (Perpres) tentang pemenuhan kebutuhan alat peralatan pertahanan dan keamanan (alpalhankam).
"Sebagaimana diketahui banyak alut kita sudah tua, sudah saatnya memang mendesak harus diganti," kata Prabowo usai hadiri rapat bersama Komisi I DPR, kompleks parlemen, Jakarta, Rabu (2/6/2021).
Ketua umum DPP Partai Gerindra itu tak menampik di dalam rapat tertutup bersama Komisi I DPR, dirinya menjelaskan tentang konsep rencana induk pertahanan ke depan.
"Rencana ini masih kita godok bersama Bappenas, bersama Kemenkeu, dan pemangku-pemangku kepentingan lainnya," ujar dia. (qlh)
Tak Perlu Tunggu Pandemi Covid-19 Berlalu
Modernisasi alat utama sistem persenjataan (alutsista) dinilai wajib dilakukan negara mana pun, termasuk Indonesia dalam menjaga kedaulatan.
Oleh karena itu, investasi di sektor pertahanan dan keamanan (Hankam) dianggap sebagai keharusan. Tidak boleh terhenti sekalipun kondisi negara sedang terpuruk seperti saat ini yang dilanda Pandemi Covid-19.
"Yang namanya ancaman terhadap kedaulatan bangsa, ancamannya, kan, enggak bisa menunggu sampai Covid-19 selesai dan (modernisasi alutsista) itu juga tidak bisa terputus. Artinya satu program dalam modernisasi Alutsista, harus tetap dilakukan, tetap dipenuhi karena suatu kesinambungan," tutur Direktur Eksekutif Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (Lesperssi), Rizal Darmaputra, Rabu (2/6/2021).
"Kesinambungan itu yang harus kita jalankan, karena itu satu proses yang panjang, dari pemerintah sebelumnya dan dari menteri sebelumnya, menteri sekarang, dan mungkin menteri yang akan datang," sambungnya.
Dia menjelaskan, Indonesia telah merancang strategi modernisasi alutsista dan tertuang dalam Kekuatan Pokok Minimum (Minimum Essential Force/MEF). Disusun sejak 2007 lalu dan dibagi menjadi tiga rencana strategis (Renstra) hingga 2024. "Sekarang kita lagi pemenuhan ke MEF III. Tentu itu harus kita jalani karena itu sudah blue print," ungkapnya.
Dia menjelaskan, penyusunan MEF yang juga meliputi pembangunan industri pertahanan, penelitian dan pengembangan (Litbang), alih teknologi (transfer of technology/ToT), dan program nasional, ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sebab, dirancang berdasarkan estimasi terhadap ancaman keamanan nasional hingga respons terhadapnya.
Kemudian, kata dia, membangun kekuatan sistem pertahanan menjadi salah satu respons negara atas ancaman yang akan terjadi. Pelaksanaannya melalui modernisasi alutsista, yang termasuk proses jangka panjang. "Apa yang jadi prioritas, apa yang kiranya harus dilakukan investasi dalam modernisasi sistem pertahanan? Apakah industri dalam negeri, apakah impor, atau apakah dalam impor lalu kita melakukan alih teknologi?" katanya.
Menurut dia, alih teknologi ini soal bagaimana bekerjasama dengan industri pertahanan nasional. "Itu proses yang panjang. Jadi, tidak bisa karena ada Covid-19, ada persoalan seperti ini, lantas kita setop. Nanti untuk memulainya lagi berat. Memang sekarang dalam kondisi yang berat, tapi harus tetap dilalui," tuturnya.
Adapun mengenai skala prioritas, kata Rizal, berdasarkan ancaman aktual dan tidak aktual yang dihadapi. Dia menilai potensi meluasnya eskalasi konflik di Laut China Selatan (LCS) antara Amerika Serikat (AS) dan sekutunya dengan China merupakan salah satu ancaman aktual bagi Indonesia meskipun hanya Zona Ekonomi Eksekutif (ZEE) yang diklaim Negeri Tirai Bambu.
"Namun, kita juga harus siap seandainya terjadi perluasan dari konflik, mau tidak mau kita pasti akan terseret. Apakah kita mau terseret (langsung) dalam konflik atau apakah kita mau tetap netral bila terjadi konflik bersenjata, kita harus tetap memiliki kekuatan bersenjata," tuturnya.
Dia mengungkapkan dukungannya terhadap langkah pemerintah melalui Kementerian Pertahanan (Kemenhan) menyusun rancangan strategis percepatan peremajaan Alutsista. Pangkalnya, menjadi terobosan yang tidak pernah bisa dilakukan serta akan ada kepastian investasi pertahanan selama 25 tahun.
"Saya melihat ada dua alasan yang ingin dicapai oleh pemerintah (melalui rancangan strategis percepatan peremajaan alutsista). Pertama, menjamin konsistensi pemenuhan Alpalhankam (alat peralatan pertahanan dan keamanan) TNI. Kedua, meningkatkan kesiapan alpalhankam TNI secara siginifikan dalam waktu sesingkat-singkatnya," tuturnya.
Dia sependapat dengan strategi Kemenhan mempercepat pengadaan Alutsista menjadi 2021-2024. Hal tersebut dianggapnya sebagai kebijakan yang ideal.
Dia memberikan contoh, dengan perusahaan yang memiliki sebidang tanah dengan isi tambak, kebun, dan sawah, yang berinvestasi untuk membangun pagar dan membeli alat untuk menjaga lahannya sekaligus. "Agar tidak diklaim orang, lalu perusahaan itu membayar investasinya dengan mencicil dari anggaran yang dia punya," tuturnya.
Apalagi, sambung dia, investasi secara langsung pada 2021-2024 bakal meningkatkan posisi tawar Indonesia agar mendapatkan alutsista dengan harga lebih terjangkau. "Investasi dilakukan dalam waktu relatif singkat, dapat dipastikan semua alat yang dibelanjakan bisa bekerja sama atau compatible dengan satu lainnya," Pungkasnya.
Sementara itu, Anggota Komisi I DPR Effendi Simbolon memaklumi rencana Kemenhan menyusun rencana induk pertahanan pada saat ini. Pasalnya, produsen cenderung menjual murah saat pagebluk selain Indonesia masih membutuhkannya. "Pak Menhan menyatakan, produsen di Eropa sekarang, mereka jual murah di tengah pandemi dan kita butuh. Inilah poin-poin yang jadi dasar kenapa rencana induk pertahanan disusun dan dirancang. Itu yang jadi pembahasan," katanya. (dam)
Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto menyatakan secara tegas bahwa alat utama sistem persenjataan (alutsista) milik Indonesia sudah tua. Oleh karena itu, ia berharap alat-alat tersebut segera diganti.
Hal itu diungkapkan Prabowo saat menanggapi soal rencana peraturan presiden (Perpres) tentang pemenuhan kebutuhan alat peralatan pertahanan dan keamanan (alpalhankam).
"Sebagaimana diketahui banyak alut kita sudah tua, sudah saatnya memang mendesak harus diganti," kata Prabowo usai hadiri rapat bersama Komisi I DPR, kompleks parlemen, Jakarta, Rabu (2/6/2021).
Ketua umum DPP Partai Gerindra itu tak menampik di dalam rapat tertutup bersama Komisi I DPR, dirinya menjelaskan tentang konsep rencana induk pertahanan ke depan.
"Rencana ini masih kita godok bersama Bappenas, bersama Kemenkeu, dan pemangku-pemangku kepentingan lainnya," ujar dia. (qlh)
Tak Perlu Tunggu Pandemi Covid-19 Berlalu
Modernisasi alat utama sistem persenjataan (alutsista) dinilai wajib dilakukan negara mana pun, termasuk Indonesia dalam menjaga kedaulatan.
Oleh karena itu, investasi di sektor pertahanan dan keamanan (Hankam) dianggap sebagai keharusan. Tidak boleh terhenti sekalipun kondisi negara sedang terpuruk seperti saat ini yang dilanda Pandemi Covid-19.
"Yang namanya ancaman terhadap kedaulatan bangsa, ancamannya, kan, enggak bisa menunggu sampai Covid-19 selesai dan (modernisasi alutsista) itu juga tidak bisa terputus. Artinya satu program dalam modernisasi Alutsista, harus tetap dilakukan, tetap dipenuhi karena suatu kesinambungan," tutur Direktur Eksekutif Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (Lesperssi), Rizal Darmaputra, Rabu (2/6/2021).
"Kesinambungan itu yang harus kita jalankan, karena itu satu proses yang panjang, dari pemerintah sebelumnya dan dari menteri sebelumnya, menteri sekarang, dan mungkin menteri yang akan datang," sambungnya.
Dia menjelaskan, Indonesia telah merancang strategi modernisasi alutsista dan tertuang dalam Kekuatan Pokok Minimum (Minimum Essential Force/MEF). Disusun sejak 2007 lalu dan dibagi menjadi tiga rencana strategis (Renstra) hingga 2024. "Sekarang kita lagi pemenuhan ke MEF III. Tentu itu harus kita jalani karena itu sudah blue print," ungkapnya.
Dia menjelaskan, penyusunan MEF yang juga meliputi pembangunan industri pertahanan, penelitian dan pengembangan (Litbang), alih teknologi (transfer of technology/ToT), dan program nasional, ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sebab, dirancang berdasarkan estimasi terhadap ancaman keamanan nasional hingga respons terhadapnya.
Kemudian, kata dia, membangun kekuatan sistem pertahanan menjadi salah satu respons negara atas ancaman yang akan terjadi. Pelaksanaannya melalui modernisasi alutsista, yang termasuk proses jangka panjang. "Apa yang jadi prioritas, apa yang kiranya harus dilakukan investasi dalam modernisasi sistem pertahanan? Apakah industri dalam negeri, apakah impor, atau apakah dalam impor lalu kita melakukan alih teknologi?" katanya.
Menurut dia, alih teknologi ini soal bagaimana bekerjasama dengan industri pertahanan nasional. "Itu proses yang panjang. Jadi, tidak bisa karena ada Covid-19, ada persoalan seperti ini, lantas kita setop. Nanti untuk memulainya lagi berat. Memang sekarang dalam kondisi yang berat, tapi harus tetap dilalui," tuturnya.
Adapun mengenai skala prioritas, kata Rizal, berdasarkan ancaman aktual dan tidak aktual yang dihadapi. Dia menilai potensi meluasnya eskalasi konflik di Laut China Selatan (LCS) antara Amerika Serikat (AS) dan sekutunya dengan China merupakan salah satu ancaman aktual bagi Indonesia meskipun hanya Zona Ekonomi Eksekutif (ZEE) yang diklaim Negeri Tirai Bambu.
"Namun, kita juga harus siap seandainya terjadi perluasan dari konflik, mau tidak mau kita pasti akan terseret. Apakah kita mau terseret (langsung) dalam konflik atau apakah kita mau tetap netral bila terjadi konflik bersenjata, kita harus tetap memiliki kekuatan bersenjata," tuturnya.
Dia mengungkapkan dukungannya terhadap langkah pemerintah melalui Kementerian Pertahanan (Kemenhan) menyusun rancangan strategis percepatan peremajaan Alutsista. Pangkalnya, menjadi terobosan yang tidak pernah bisa dilakukan serta akan ada kepastian investasi pertahanan selama 25 tahun.
"Saya melihat ada dua alasan yang ingin dicapai oleh pemerintah (melalui rancangan strategis percepatan peremajaan alutsista). Pertama, menjamin konsistensi pemenuhan Alpalhankam (alat peralatan pertahanan dan keamanan) TNI. Kedua, meningkatkan kesiapan alpalhankam TNI secara siginifikan dalam waktu sesingkat-singkatnya," tuturnya.
Dia sependapat dengan strategi Kemenhan mempercepat pengadaan Alutsista menjadi 2021-2024. Hal tersebut dianggapnya sebagai kebijakan yang ideal.
Dia memberikan contoh, dengan perusahaan yang memiliki sebidang tanah dengan isi tambak, kebun, dan sawah, yang berinvestasi untuk membangun pagar dan membeli alat untuk menjaga lahannya sekaligus. "Agar tidak diklaim orang, lalu perusahaan itu membayar investasinya dengan mencicil dari anggaran yang dia punya," tuturnya.
Apalagi, sambung dia, investasi secara langsung pada 2021-2024 bakal meningkatkan posisi tawar Indonesia agar mendapatkan alutsista dengan harga lebih terjangkau. "Investasi dilakukan dalam waktu relatif singkat, dapat dipastikan semua alat yang dibelanjakan bisa bekerja sama atau compatible dengan satu lainnya," Pungkasnya.
Sementara itu, Anggota Komisi I DPR Effendi Simbolon memaklumi rencana Kemenhan menyusun rencana induk pertahanan pada saat ini. Pasalnya, produsen cenderung menjual murah saat pagebluk selain Indonesia masih membutuhkannya. "Pak Menhan menyatakan, produsen di Eropa sekarang, mereka jual murah di tengah pandemi dan kita butuh. Inilah poin-poin yang jadi dasar kenapa rencana induk pertahanan disusun dan dirancang. Itu yang jadi pembahasan," katanya. (dam)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.