Ilustrasi rudal balistik Antarbenua [ist] ★
Arab Saudi disebut mengembangkan rudal balistik setelah membeli teknologi dari China. Demikian laporan media Amerika Serikat (AS).
Kisah yang dipublikasikan oleh CNN Rabu (5/6/2019) itu menyatakan, AS telah mendapatkan laporan intelijen terkait transfer teknologi rudal dari Saudi ke China.
Namun sebagaimana diberitakan Al Jazeera Kamis (6/6/2019), intelijen AS diduga tidak memberikan informasi sepenting itu kepada beberapa anggota kunci Kongres.
Jeff Stacey, konsultan keamanan nasional Kementerian Luar Negeri di era Presiden Barack Obama menuturkan, laporan itu "mengejutkan sekaligus mengkhawatirkan".
Menurut Stacey, pertanyaan kuncinya adalah apakah pemerintahan AS saat ini adalah tidak saja sekadar tahu. Namun juga berkolusi terkait pembelian teknologi itu.
"Apakah mereka ikut serta dalam hal ini? Berapa banyak informasi yang sebenarnya sudah diberikan Saudi? Berapa lama sebelum mereka memutuskan melakukannya?" tanya Stacey.
Kabar CNN itu muncul di tengah kerenggangan antara Kongres dengan Gedung Putih terkait relasi dengan Saudi. Terutama berkaitan dengan penjualan senjata.
Sebelumnya, sekelompok senator mencoba menghalangi penjualan senjata tak hanya kepada Riyadh. Namun juga kepada Uni Emirat Arab serta Yordania.
Upaya itu menyusul kasus pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi yang diduga dilakukan Saudi pada Oktober 2018, serta keterlibatan mereka dalam perang di Yaman.
Apalagi, Presiden Donald Trump Mei lalu memutuskan melewati Kongres dan menyetujui 8 miliar dollar AS, sekitar Rp 113,9 triliun, dengan alasan darurat karena faktor Iran.
Kementerian Luar Negeri China dalam keterangan resmi menuturkan mereka dan Saudi adalah "mitra strategis komprehensif" dan bekerja sama di segala bidang, utamanya senjata.
"Kerja sama itu bukanlah sebuah pelanggaran hukum internasional. Juga tak melibatkan proliferali senjata pemusnah massal," demikian keterangan Kemenlu China.
Sementara pejabat Kemenlu AS menyatakan Washington tetap pada pendirian mereka bahwa Timur Tengah harus bebas dari sistem pemgiriman senjata pemusnah massal.
Merujuk kepada Aturan Pembatasan Teknologi Rudal Rezim 1987 yang disepakati oleh 35 negara, Saudi dilarang membeli rudal dari AS maupun negara lain. Tetapi China bukan negara penandatangan.
Organisasi Nuclear Threat Initiative membeberkan, Saudi sudah membeli rudal China selama bertahun-tahun.
Namun tak dijelaskan apakah mereka mampu membuat sendiri ataukah sekadar menempatkan rudal yang sudah dibeli.
Citra satelit yang awalnya dibeberkan Washington Post Januari lalu menunjukkan pabrik rudal balistik di Al Dawadmi. Analis berujar gambar itu mirip dengan teknologi China.
Citra satelit baru yang dipaparkan CNN juga memuat "aktivitas yang sama" pada situs tersebut Mei lalu, berdasarkan penuturan dua sumber internal.
Sumber itu menerangkan, meski Komite Intelijen Senat diberikan akses ke intelijen Saudi, mereka tidak mendapat pemaparan mengenai informasi tersebut.
Arab Saudi disebut mengembangkan rudal balistik setelah membeli teknologi dari China. Demikian laporan media Amerika Serikat (AS).
Kisah yang dipublikasikan oleh CNN Rabu (5/6/2019) itu menyatakan, AS telah mendapatkan laporan intelijen terkait transfer teknologi rudal dari Saudi ke China.
Namun sebagaimana diberitakan Al Jazeera Kamis (6/6/2019), intelijen AS diduga tidak memberikan informasi sepenting itu kepada beberapa anggota kunci Kongres.
Jeff Stacey, konsultan keamanan nasional Kementerian Luar Negeri di era Presiden Barack Obama menuturkan, laporan itu "mengejutkan sekaligus mengkhawatirkan".
Menurut Stacey, pertanyaan kuncinya adalah apakah pemerintahan AS saat ini adalah tidak saja sekadar tahu. Namun juga berkolusi terkait pembelian teknologi itu.
"Apakah mereka ikut serta dalam hal ini? Berapa banyak informasi yang sebenarnya sudah diberikan Saudi? Berapa lama sebelum mereka memutuskan melakukannya?" tanya Stacey.
Kabar CNN itu muncul di tengah kerenggangan antara Kongres dengan Gedung Putih terkait relasi dengan Saudi. Terutama berkaitan dengan penjualan senjata.
Sebelumnya, sekelompok senator mencoba menghalangi penjualan senjata tak hanya kepada Riyadh. Namun juga kepada Uni Emirat Arab serta Yordania.
Upaya itu menyusul kasus pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi yang diduga dilakukan Saudi pada Oktober 2018, serta keterlibatan mereka dalam perang di Yaman.
Apalagi, Presiden Donald Trump Mei lalu memutuskan melewati Kongres dan menyetujui 8 miliar dollar AS, sekitar Rp 113,9 triliun, dengan alasan darurat karena faktor Iran.
Kementerian Luar Negeri China dalam keterangan resmi menuturkan mereka dan Saudi adalah "mitra strategis komprehensif" dan bekerja sama di segala bidang, utamanya senjata.
"Kerja sama itu bukanlah sebuah pelanggaran hukum internasional. Juga tak melibatkan proliferali senjata pemusnah massal," demikian keterangan Kemenlu China.
Sementara pejabat Kemenlu AS menyatakan Washington tetap pada pendirian mereka bahwa Timur Tengah harus bebas dari sistem pemgiriman senjata pemusnah massal.
Merujuk kepada Aturan Pembatasan Teknologi Rudal Rezim 1987 yang disepakati oleh 35 negara, Saudi dilarang membeli rudal dari AS maupun negara lain. Tetapi China bukan negara penandatangan.
Organisasi Nuclear Threat Initiative membeberkan, Saudi sudah membeli rudal China selama bertahun-tahun.
Namun tak dijelaskan apakah mereka mampu membuat sendiri ataukah sekadar menempatkan rudal yang sudah dibeli.
Citra satelit yang awalnya dibeberkan Washington Post Januari lalu menunjukkan pabrik rudal balistik di Al Dawadmi. Analis berujar gambar itu mirip dengan teknologi China.
Citra satelit baru yang dipaparkan CNN juga memuat "aktivitas yang sama" pada situs tersebut Mei lalu, berdasarkan penuturan dua sumber internal.
Sumber itu menerangkan, meski Komite Intelijen Senat diberikan akses ke intelijen Saudi, mereka tidak mendapat pemaparan mengenai informasi tersebut.
➶ Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.