Nyamar Jadi Sopir PribadiLetjen TNI (Purn) Sutiyoso saat di medan operasi. [Foto/istimewa]
Aksi heroik Letjen TNI (Purn) Sutiyoso di medan operasi tak perlu diragukan lagi. Keberanian dan kecerdasannya dalam menyusun strategi dalam menghadapi musuh membuat abituren Akademi Militer (Akmil) 1968 ini kerap mendapat misi berbahaya.
Berbagai palagan pun telah dicicipinya, mulai dari penumpasan gerilyawan PGRS/Paraku di belantara Kalimantan, Operasi Timor Timur (Timtim) sekarang bernama Timor Leste hingga operasi penumpasan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Tak heran jika Sutiyoso disebut sebagai "Jenderal Lapangan" yang kenyang dengan pengalaman tempur.
Salah satu aksi paling menegangkan dan penuh risiko adalah ketika mantan Wadanjen Kopassus ini mendapat tugas untuk menangkap petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Saat itu, Sutiyoso yang masih berpangkat Mayor mendapat misi cukup berat yakni, menangkap pucuk pimpinan GAM Hasan Tiro dan orang-orang terdekatnya. Termasuk Menteri Keuangan GAM bernama Tengku Muhammad Usman Lampoh Awe atau biasa disebut Usman.
Dikutip dari buku bigorafinya berjudul, “Sutiyoso The Field General, Totalitas Prajurit Para Komando” awalnya nama Sutiyoso tidak masuk dalam daftar pasukan yang diberangkatkan ke Aceh. Namun menjelang tengah malam, mantan Pangdam Jaya ini mendadak mendapat perintah menggantikan Mayor Yani Mulyadi untuk tugas operasi ke Aceh. Seluruh pasukan akan diberangkatkan pada pukul 05.00 WIB.
Sebagai prajurit Kopassus yang pernah ditugaskan dalam Operasi Flamboyan bersama Tim Umi di Timor-Timur sekarang Timor Leste, Sutiyoso langsung menyambut dengan sigap meskipun sempat merasa kaget. Bersama pasukannya, mantan Gubernur DKI Jakarta ini kemudian melakukan Operasi Sandi Yudha dengan sandi Nanggala 27.
Setelah menjelajahi hutan demi hutan selama tiga bulan, Sutiyoso sempat frustasi karena tidak dapat mengetahui keberadaan Hasan Tiro Cs. Namun Sutiyoso tidak menyerah, mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) ini terus menelusuri Aceh yang sedemikian luas, mulai dari Aceh Barat, Aceh Tengah dan Aceh Timur, serta Pidie. Termasuk daerah Aceh lainnya.
Kerja keras Sutiyoso akhirnya membuahkan hasil. Sutiyoso mulai mengendus keberadaan Hasan Tiro dan petinggi GAM lainnya. Awalnya, Sutiyoso mendapat informasi jika juru masak Hasan Tiro kerap mengambil beras di sebuah rumah dekat hutan. Bersama pasukannya, Sutiyoso kemudian melakukan pengepungan.
Benar saja, orang yang ditunggu pun datang dan mendekati rumah tersebut. Namun, juru masak tersebut menyadari ada yang tidak beres dan mulai curiga. Dia terlihat ragu-ragu untuk masuk ke rumah tersebut untuk mengambil logistik. Saat juru masak berbalik untuk pergi, Sutiyoso langsung memerintahkan sniper untuk melumpuhkannya. Juru masak itupun akhirnya ditangkap dan diinterogasi.
Dari mulut juru masak tersebut, Sutiyoso mendapat informasi penting terkait keberadaan Hasan Tiro Cs. Tidak mau berlama-lama, setelah tiga hari melakukan perjalanan Sutiyoso langsung melakukan penyergapan tempat persembunyian Hasan Tiro, namun upaya tersebut tidak berhasil sebab Hasan Tiro Cs telah melarikan diri.
”Ketika kami sampai ke tempat itu keadaannya masih hangat. Mereka baru saja meninggalkan tempat itu. Paling tidak saya mendapat gambaran bahwa Hasan Tiro masih tidak jauh dari tempat itu,” kenang Sutiyoso.
Sambil terus melakukan pengejaran, Sutiyoso mendapat informasi jika Hasan Tiro mengutus orang penting ke rumah seorang guru ngaji. Utusan tersebut tidak lain adalah Menteri Keuangan GAM bernama Tengku Muhammad Usman Lampoh Awe atau biasa disebut Usman. Dengan gerak cepat, Sutiyoso pun berhasil mengorek keterangan dari guru ngaji yang mengaku akan menjemput dan mengantar Usman ke rumah seseorang pengusaha di Lhokseumawe.
Berbekal informasi tersebut, Sutiyoso langsung mengatur strategi bagaimana caranya supaya bisa mengadakan pertemuan dengan pengusaha tersebut di sebuah restoran. Keduanya, akhirnya bisa bertemu dan melakukan pembicaraan bisnis di restoran. Kala itu, Sutiyoso menyamar sebagai seorang pebisnis. Dalam pertemuan itu, Sutiyoso mampu menyakinkan pengusaha tersebut untuk menggelar pertemuan lanjutan di kediamannya di mess LNG dengan alasan situasinya lebih tenang.
Tanpa rasa curiga pengusaha tersebut memenuhi permintaan Sutiyoso. Pada hari yang ditetapkan, pengusaha bersama sekretarisnya seorang pria akhirnya datang ke kediaman Sutiyoso. Saat pertemuan baru dimulai, Sutiyoso yang didampingi Kapten Lintang Waluyo seorang perwira intel Kodam Iskandar Muda langsung menodongkan pistol kepada pengusaha tersebut. Sutiyoso kemudian mengorek keterangan mengenai keberadaan Hasan Tiro Cs.
Mendapat ancaman tersebut, pengusaha yang ketakutan kemudian membeberkan jika dirinya ditugaskan mengumpulkan dana untuk biaya Usman pergi ke Badan Keamanan PBB di New York, Amerika Serikat. Sementara Usman sendiri sudah berada di rumah kakaknya di Medan.
Tak ingin buruannya lepas, Sutiyoso bersama pengusaha dan sekretarisnya kemudian menyewa pesawat khusus yang langsung pergi ke Medan. Masalah kemudian muncul karena Medan bukan bagian dari Kodam Iskandar Muda tempat Sutiyoso menggelar operasi.
Setibanya di Polonia, Medan, Sutiyoso langsung menuju Guest House Kodam Iskandar Muda dan selanjutnya bergerak ke Kodam II/Bukit Barisan. Kepada Asisten Intelijen, Sutiyoso mengaku sebagai perwira menengah pasukan Komando Sandiyudha dan memohon agar mendapat bantuan satu detasemen intelijen.
Namun permohonan Sutiyoso tidak mendapat respons karena Asisten Intelijen tersebut juga ingin menangkap sendiri petinggi GAM. Akhirnya Sutiyoso keluar dengan tangan hampa.
Sambil memutar otak, Sutiyoso akhirnya memutuskan untuk menangkap petinggi GAM itu sendirian. Dalam benaknya, Sutiyoso hanya membutuhkan dua mobil untuk menjalankan tugas operasinya tersebut. Sutiyoso akhirnya mendapatkan mobil Toyota Hardtop dari LNG Lhokseumawe dan mobil sedan dari kenalannya di Medan. Selanjutnya, Sutiyoso kembali ke Guest House Iskandar Muda menemui pengusaha tersebut.
Sutiyoso kemudian membeberkan strategi yang akan dijalankannya. Sutiyoso meminta agar pengusaha tersebut menjadikan dirinya sebagai sopir pribadi yang baru dari Makassar dan belum menguasai bahasa Aceh. Bahkan, Sutiyoso berpesan agar pengusaha tersebut benar-benar memperlakukannya sebagai sopir pribadi agar orang yang diburunya tidak curiga.
Dengan mengendarai dua mobil yang dipinjamnya, Sutiyoso didampingi tiga anggotanya bergerak menuju rumah kakak Usman. Dalam perjalanan, Sutiyoso kembali menekankan pengusaha dan sekretarisnya untuk tidak macam-macam.
”Kamu bilang saja duitnya sudah ada, tapi di hotel harus ambil sendiri karena takut membawanya. Jangan coba-coba melarikan diri, kamu berdua bisa mati sebab rumah tersebut sudah dikepung pasukan saya,” gertak Sutiyoso.
Setelah disepakati, Sutiyoso kemudian menjadi sopir pribadi si pengusaha bergerak menuju kediaman kakak Usman. Pengusaha duduk di sebelah kirinya, sedangkan sekretarisnya duduk di jok belakang mobil Toyota Hardtop. Sementara Lintang, Darno dan seorang polisi penerjemah membuntutinya dengan mobil sedan dari belakang.
Kepada ketiga anggotanya, Sutiyoso memberitahu kode atau isyarat jika mobil yang dikendarainya mengedipkan lampu pendek dua kali dan lampu panjang sekali, itu artinya sasaran sudah masuk mobilnya dan memerintahkan mobil yang kendarai ketiga anggotanya untuk langsung memepet dan mereka harus segera masuk ke mobil untuk memborgol Usman.
Setibanya di rumah yang dituju, Sutiyoso parkir di seberang sementara Kapten Lintang parkir agar jauh di belakang sekitar 75 meter dan di tempat gelap. Detik demi detik yang dilalui Sutiyoso cukup menegangkan. Bahkan, Sutiyoso mengaku deg-degan mengingat kekuatan untuk menangkap petinggi GAM hanya empat orang. Sekitar 10 menit kemudian, Sutiyoso kaget karena sekretaris keluar rumah dengan tergesa-gesa. “Ada apa?” gumam Sutiyoso ke sekretaris pengusaha tersebut.
Ternyata sekretaris tersebut hanya ingin memberi tahu jika Usman ada di rumah tersebut. Sekretaris tersebut keluar dengan tergesa-gesa karena saking senangnya. “Kamu ikut bujukin dia lagi, supaya mau mengambil uangnya di hotel,” kata Sutiyoso.
Setelah menunggu sekitar setengah jam, akhirnya Usman bersama pengusaha dan sekretarisnya keluar rumah. Dari jauh Sutiyoso mengamati wajah Usman, lalu dengan senter kecil mencocokkan dengan foto yang dibawanya. Sutiyoso yakin, jika orang berambut gondrong memakai jaket dan celana jeans adalah Usman. Semakin dekat, Sutiyoso semakin yakin, jika di hadapannya adalah orang yang dikejarnya selama ini.
Usman kemudian menyeberang dan mendekati mobil Sutiyoso. Tampak sekali keraguan dari wajah Usman sebelum masuk ke dalam mobil. Penyamaran Sutiyoso pun nyaris terbongkar karena Usman tiba-tiba bertanya kepada pengusaha tersebut. “Itu Siapa?” Tanya Usman sambil menunjuk ke arah Sutiyoso. Sesuai arahan Sutiyoso, pengusaha tesebut dengan cepat menjawab pertanyaan Usman. “Sopir baru saya orang Makassar, belum tahu bahasa Aceh,” ucapnya.
Usman yang percaya kemudian masuk ke mobil Hartop Sutiyoso. Namun enggan duduk di depan dan memilih duduk di belakang bersama sekretaris pengusaha tersebut. Setelah mobil melaju sekitar 50 meter, Sutiyoso kemudian memberikan kode sandi kepada Kapten Lintang dengan mengedipkan lampu pendek dua kali dan panjang sekali.
Sesuai skenario, Kapten Lintang bersama dua orang lainnya yang sedari tadi menunggu di mobil langsung bergerak menghentikan laju kendaraan yang dikemudikan Sutiyoso. Mereka langsung masuk dan memborgol Usman.
Saat itu Usman menduga mobilnya sedang dirampok karena hendak mengambil uang. Mereka kemudian dibawa ke Guest House Hotel Iskandar Muda. Dari Usman, Sutiyoso mendapat banyak informasi soal keberadaan petinggi GAM termasuk Hasan Tiro. Mendapat informasi sangat berharga tersebut, Sutiyoso langsung menarik semua pasukannya termasuk satu kesatuan BKO baik yang di Lhokseumawe maupun Aceh Timur.
Mereka kemudian dipusatkan di wilayah Pidie. Dengan arah kompas, pasukan kemudian bergerak ke lokasi yang dituju, semua pasukan berjarak masing-masing 100 meter bergerak menyisir. Dengan cara itu, semua petinggi GAM mulai dari para menteri GAM dan Gubernur Pidie serta para stafnya ditangkap. Sebagian menyerahkan diri ke Kodam Iskandar Muda akibat operasi tersebut.
Hanya Hasan Tiro yang lolos dan melarikan diri ke Malaysia karena Hasan Tiro sudah dianggap wali oleh masyarakat Aceh. Hasan Tiro dibawa kabur lewat pantai utara yang tidak dijaga oleh aparat keamanan. Selama 10 bulan di medan operasi, tidak ada sebutir peluru pun yang diletuskan Sutiyoso untuk membunuh musuh-musuhnya.
Hanya satu peluru yang ditembakkan oleh anggotanya untuk melumpuhkan juru masak. Keberhasilan Sutiyoso pun mendapat apresiasi salah satunya dari Pangdam Iskandar Muda Brigjen TNI RA Saleh. (cip)
Aksi heroik Letjen TNI (Purn) Sutiyoso di medan operasi tak perlu diragukan lagi. Keberanian dan kecerdasannya dalam menyusun strategi dalam menghadapi musuh membuat abituren Akademi Militer (Akmil) 1968 ini kerap mendapat misi berbahaya.
Berbagai palagan pun telah dicicipinya, mulai dari penumpasan gerilyawan PGRS/Paraku di belantara Kalimantan, Operasi Timor Timur (Timtim) sekarang bernama Timor Leste hingga operasi penumpasan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Tak heran jika Sutiyoso disebut sebagai "Jenderal Lapangan" yang kenyang dengan pengalaman tempur.
Salah satu aksi paling menegangkan dan penuh risiko adalah ketika mantan Wadanjen Kopassus ini mendapat tugas untuk menangkap petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Saat itu, Sutiyoso yang masih berpangkat Mayor mendapat misi cukup berat yakni, menangkap pucuk pimpinan GAM Hasan Tiro dan orang-orang terdekatnya. Termasuk Menteri Keuangan GAM bernama Tengku Muhammad Usman Lampoh Awe atau biasa disebut Usman.
Dikutip dari buku bigorafinya berjudul, “Sutiyoso The Field General, Totalitas Prajurit Para Komando” awalnya nama Sutiyoso tidak masuk dalam daftar pasukan yang diberangkatkan ke Aceh. Namun menjelang tengah malam, mantan Pangdam Jaya ini mendadak mendapat perintah menggantikan Mayor Yani Mulyadi untuk tugas operasi ke Aceh. Seluruh pasukan akan diberangkatkan pada pukul 05.00 WIB.
Sebagai prajurit Kopassus yang pernah ditugaskan dalam Operasi Flamboyan bersama Tim Umi di Timor-Timur sekarang Timor Leste, Sutiyoso langsung menyambut dengan sigap meskipun sempat merasa kaget. Bersama pasukannya, mantan Gubernur DKI Jakarta ini kemudian melakukan Operasi Sandi Yudha dengan sandi Nanggala 27.
Setelah menjelajahi hutan demi hutan selama tiga bulan, Sutiyoso sempat frustasi karena tidak dapat mengetahui keberadaan Hasan Tiro Cs. Namun Sutiyoso tidak menyerah, mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) ini terus menelusuri Aceh yang sedemikian luas, mulai dari Aceh Barat, Aceh Tengah dan Aceh Timur, serta Pidie. Termasuk daerah Aceh lainnya.
Kerja keras Sutiyoso akhirnya membuahkan hasil. Sutiyoso mulai mengendus keberadaan Hasan Tiro dan petinggi GAM lainnya. Awalnya, Sutiyoso mendapat informasi jika juru masak Hasan Tiro kerap mengambil beras di sebuah rumah dekat hutan. Bersama pasukannya, Sutiyoso kemudian melakukan pengepungan.
Benar saja, orang yang ditunggu pun datang dan mendekati rumah tersebut. Namun, juru masak tersebut menyadari ada yang tidak beres dan mulai curiga. Dia terlihat ragu-ragu untuk masuk ke rumah tersebut untuk mengambil logistik. Saat juru masak berbalik untuk pergi, Sutiyoso langsung memerintahkan sniper untuk melumpuhkannya. Juru masak itupun akhirnya ditangkap dan diinterogasi.
Dari mulut juru masak tersebut, Sutiyoso mendapat informasi penting terkait keberadaan Hasan Tiro Cs. Tidak mau berlama-lama, setelah tiga hari melakukan perjalanan Sutiyoso langsung melakukan penyergapan tempat persembunyian Hasan Tiro, namun upaya tersebut tidak berhasil sebab Hasan Tiro Cs telah melarikan diri.
”Ketika kami sampai ke tempat itu keadaannya masih hangat. Mereka baru saja meninggalkan tempat itu. Paling tidak saya mendapat gambaran bahwa Hasan Tiro masih tidak jauh dari tempat itu,” kenang Sutiyoso.
Sambil terus melakukan pengejaran, Sutiyoso mendapat informasi jika Hasan Tiro mengutus orang penting ke rumah seorang guru ngaji. Utusan tersebut tidak lain adalah Menteri Keuangan GAM bernama Tengku Muhammad Usman Lampoh Awe atau biasa disebut Usman. Dengan gerak cepat, Sutiyoso pun berhasil mengorek keterangan dari guru ngaji yang mengaku akan menjemput dan mengantar Usman ke rumah seseorang pengusaha di Lhokseumawe.
Berbekal informasi tersebut, Sutiyoso langsung mengatur strategi bagaimana caranya supaya bisa mengadakan pertemuan dengan pengusaha tersebut di sebuah restoran. Keduanya, akhirnya bisa bertemu dan melakukan pembicaraan bisnis di restoran. Kala itu, Sutiyoso menyamar sebagai seorang pebisnis. Dalam pertemuan itu, Sutiyoso mampu menyakinkan pengusaha tersebut untuk menggelar pertemuan lanjutan di kediamannya di mess LNG dengan alasan situasinya lebih tenang.
Tanpa rasa curiga pengusaha tersebut memenuhi permintaan Sutiyoso. Pada hari yang ditetapkan, pengusaha bersama sekretarisnya seorang pria akhirnya datang ke kediaman Sutiyoso. Saat pertemuan baru dimulai, Sutiyoso yang didampingi Kapten Lintang Waluyo seorang perwira intel Kodam Iskandar Muda langsung menodongkan pistol kepada pengusaha tersebut. Sutiyoso kemudian mengorek keterangan mengenai keberadaan Hasan Tiro Cs.
Mendapat ancaman tersebut, pengusaha yang ketakutan kemudian membeberkan jika dirinya ditugaskan mengumpulkan dana untuk biaya Usman pergi ke Badan Keamanan PBB di New York, Amerika Serikat. Sementara Usman sendiri sudah berada di rumah kakaknya di Medan.
Tak ingin buruannya lepas, Sutiyoso bersama pengusaha dan sekretarisnya kemudian menyewa pesawat khusus yang langsung pergi ke Medan. Masalah kemudian muncul karena Medan bukan bagian dari Kodam Iskandar Muda tempat Sutiyoso menggelar operasi.
Setibanya di Polonia, Medan, Sutiyoso langsung menuju Guest House Kodam Iskandar Muda dan selanjutnya bergerak ke Kodam II/Bukit Barisan. Kepada Asisten Intelijen, Sutiyoso mengaku sebagai perwira menengah pasukan Komando Sandiyudha dan memohon agar mendapat bantuan satu detasemen intelijen.
Namun permohonan Sutiyoso tidak mendapat respons karena Asisten Intelijen tersebut juga ingin menangkap sendiri petinggi GAM. Akhirnya Sutiyoso keluar dengan tangan hampa.
Sambil memutar otak, Sutiyoso akhirnya memutuskan untuk menangkap petinggi GAM itu sendirian. Dalam benaknya, Sutiyoso hanya membutuhkan dua mobil untuk menjalankan tugas operasinya tersebut. Sutiyoso akhirnya mendapatkan mobil Toyota Hardtop dari LNG Lhokseumawe dan mobil sedan dari kenalannya di Medan. Selanjutnya, Sutiyoso kembali ke Guest House Iskandar Muda menemui pengusaha tersebut.
Sutiyoso kemudian membeberkan strategi yang akan dijalankannya. Sutiyoso meminta agar pengusaha tersebut menjadikan dirinya sebagai sopir pribadi yang baru dari Makassar dan belum menguasai bahasa Aceh. Bahkan, Sutiyoso berpesan agar pengusaha tersebut benar-benar memperlakukannya sebagai sopir pribadi agar orang yang diburunya tidak curiga.
Dengan mengendarai dua mobil yang dipinjamnya, Sutiyoso didampingi tiga anggotanya bergerak menuju rumah kakak Usman. Dalam perjalanan, Sutiyoso kembali menekankan pengusaha dan sekretarisnya untuk tidak macam-macam.
”Kamu bilang saja duitnya sudah ada, tapi di hotel harus ambil sendiri karena takut membawanya. Jangan coba-coba melarikan diri, kamu berdua bisa mati sebab rumah tersebut sudah dikepung pasukan saya,” gertak Sutiyoso.
Setelah disepakati, Sutiyoso kemudian menjadi sopir pribadi si pengusaha bergerak menuju kediaman kakak Usman. Pengusaha duduk di sebelah kirinya, sedangkan sekretarisnya duduk di jok belakang mobil Toyota Hardtop. Sementara Lintang, Darno dan seorang polisi penerjemah membuntutinya dengan mobil sedan dari belakang.
Kepada ketiga anggotanya, Sutiyoso memberitahu kode atau isyarat jika mobil yang dikendarainya mengedipkan lampu pendek dua kali dan lampu panjang sekali, itu artinya sasaran sudah masuk mobilnya dan memerintahkan mobil yang kendarai ketiga anggotanya untuk langsung memepet dan mereka harus segera masuk ke mobil untuk memborgol Usman.
Setibanya di rumah yang dituju, Sutiyoso parkir di seberang sementara Kapten Lintang parkir agar jauh di belakang sekitar 75 meter dan di tempat gelap. Detik demi detik yang dilalui Sutiyoso cukup menegangkan. Bahkan, Sutiyoso mengaku deg-degan mengingat kekuatan untuk menangkap petinggi GAM hanya empat orang. Sekitar 10 menit kemudian, Sutiyoso kaget karena sekretaris keluar rumah dengan tergesa-gesa. “Ada apa?” gumam Sutiyoso ke sekretaris pengusaha tersebut.
Ternyata sekretaris tersebut hanya ingin memberi tahu jika Usman ada di rumah tersebut. Sekretaris tersebut keluar dengan tergesa-gesa karena saking senangnya. “Kamu ikut bujukin dia lagi, supaya mau mengambil uangnya di hotel,” kata Sutiyoso.
Setelah menunggu sekitar setengah jam, akhirnya Usman bersama pengusaha dan sekretarisnya keluar rumah. Dari jauh Sutiyoso mengamati wajah Usman, lalu dengan senter kecil mencocokkan dengan foto yang dibawanya. Sutiyoso yakin, jika orang berambut gondrong memakai jaket dan celana jeans adalah Usman. Semakin dekat, Sutiyoso semakin yakin, jika di hadapannya adalah orang yang dikejarnya selama ini.
Usman kemudian menyeberang dan mendekati mobil Sutiyoso. Tampak sekali keraguan dari wajah Usman sebelum masuk ke dalam mobil. Penyamaran Sutiyoso pun nyaris terbongkar karena Usman tiba-tiba bertanya kepada pengusaha tersebut. “Itu Siapa?” Tanya Usman sambil menunjuk ke arah Sutiyoso. Sesuai arahan Sutiyoso, pengusaha tesebut dengan cepat menjawab pertanyaan Usman. “Sopir baru saya orang Makassar, belum tahu bahasa Aceh,” ucapnya.
Usman yang percaya kemudian masuk ke mobil Hartop Sutiyoso. Namun enggan duduk di depan dan memilih duduk di belakang bersama sekretaris pengusaha tersebut. Setelah mobil melaju sekitar 50 meter, Sutiyoso kemudian memberikan kode sandi kepada Kapten Lintang dengan mengedipkan lampu pendek dua kali dan panjang sekali.
Sesuai skenario, Kapten Lintang bersama dua orang lainnya yang sedari tadi menunggu di mobil langsung bergerak menghentikan laju kendaraan yang dikemudikan Sutiyoso. Mereka langsung masuk dan memborgol Usman.
Saat itu Usman menduga mobilnya sedang dirampok karena hendak mengambil uang. Mereka kemudian dibawa ke Guest House Hotel Iskandar Muda. Dari Usman, Sutiyoso mendapat banyak informasi soal keberadaan petinggi GAM termasuk Hasan Tiro. Mendapat informasi sangat berharga tersebut, Sutiyoso langsung menarik semua pasukannya termasuk satu kesatuan BKO baik yang di Lhokseumawe maupun Aceh Timur.
Mereka kemudian dipusatkan di wilayah Pidie. Dengan arah kompas, pasukan kemudian bergerak ke lokasi yang dituju, semua pasukan berjarak masing-masing 100 meter bergerak menyisir. Dengan cara itu, semua petinggi GAM mulai dari para menteri GAM dan Gubernur Pidie serta para stafnya ditangkap. Sebagian menyerahkan diri ke Kodam Iskandar Muda akibat operasi tersebut.
Hanya Hasan Tiro yang lolos dan melarikan diri ke Malaysia karena Hasan Tiro sudah dianggap wali oleh masyarakat Aceh. Hasan Tiro dibawa kabur lewat pantai utara yang tidak dijaga oleh aparat keamanan. Selama 10 bulan di medan operasi, tidak ada sebutir peluru pun yang diletuskan Sutiyoso untuk membunuh musuh-musuhnya.
Hanya satu peluru yang ditembakkan oleh anggotanya untuk melumpuhkan juru masak. Keberhasilan Sutiyoso pun mendapat apresiasi salah satunya dari Pangdam Iskandar Muda Brigjen TNI RA Saleh. (cip)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.