Pengamat hukum internasional, Wilhelmus Wetan Songa, mengatakan, Indonesia harus memastikan batas wilayah perairan lautnya dengan 10 negara tetangga sebelum memberangus kapal-kapal asing atas tuduhan mencuri ikan di perairan nusantara.
Di Kupang, Rabu, dosen hukum laut dari Universitas Nusa Cendana Kupang, itu mengatakan, ada sejumlah batas wilayah perairan Indonesia dengan negara tetangga, sampai saat ini belum ditetapkan secara permanen.
Indonesia memiliki batas laut permanen dengan 10 negara, yaitu India, Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina, Australia, Papua Niujini, negara Timor Timur, Viet Nahm, dan Kepulauan Palau.
Ia kemudian mencontohkan batas wilayah perairan laut antara Indonesia dengan Australia dan batas wilayah perairan laut antara Indonesia dengan negara Timor Timur.
"Setelah Timor Timur berdiri menjadi negara merdeka dan berdaulat, batas wilayah perairan antara ketiga negara harus dirundingkan kembali dengan mengacu pada UNCLOS 1982 tentang garis tengah," katanya.
Demikian pun halnya dengan batas ZEE dengan Malaysia di Selat Malaka dan batas laut perairan Kalimantan Timur pasca keputusan Mahkamah Internasional yang mengabulkan tuntutan Malaysia atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan.
Ia mengatakan permasalahan batas laut dengan 10 negara tetangga ini masih dalam taraf perundingan sehingga belum bisa dijadikan sebagai dokumen negara yang sifatnya permanen.
Menyangkut batas laut Indonesia-negara Timor Timur, Songa mengatakan belum masuk dalam agenda perundingan, karena belum ditetapkan batas darat secara permanen antara kedua negara, meski sudah 15 tahun berjalan.
Dalam kurun waktu itu (1999-2015), tambahnya, baru pada 14 September 2000 di Denpasar Bali, tercapai suatu kesepakatan pengaturan perbatasan yang penuh saling pengertian antara kedua negara yang dituangkan dalam Arrangement on Establishment of a Joint Border Committee.
Kesepakatan ini kemudian melahirkan suatu kerja sama perbatasan dengan membentuk Join Border Committee (JBC). Dalam pertemuan selama beberapa kali dengan forum JBC, disepakati untuk pembentukan sub-sub komite teknik.
Khusus di bidang survai dan demarkasi batas, Departemen Pertahanan (era presiden sebelum Jokowi) bekerja sama dengan Bakosurtanal telah berhasil membangun 50 tugu dari target 300 tugu batas sepanjang garis perbatasan Indonesia-negara Timor Timur.
Lebih dari itu pada dasarnya disepakati bahwa garis batas darat Indonesia-negara Timor Timur berupa garis batas alamiah dengan mengacu pada punggung gunung yang mengikuti garis bentang perairan (watershed) maupun penarikan garis di tengah aliran sungai sebagai median line sesuai dengan isi perjanjian Treaty 1904 dan PCA-1914.
Tapi, katanya, upaya teknis ini terbentur hal-hal non teknis, seperti mengabaikan pendekatan sosial budaya, sehingga target pematokan tugu batas tidak tercapai. "Tanpa ada kepastian untuk menegakkan tapal batas wilayah perairan dengan negara tetangga, maka upaya dan tindakan menghentikan aksi pencurian kekayaan laut Indonesia, butuh waktu yang panjang dan melelahkan," ujarnya.
Di Kupang, Rabu, dosen hukum laut dari Universitas Nusa Cendana Kupang, itu mengatakan, ada sejumlah batas wilayah perairan Indonesia dengan negara tetangga, sampai saat ini belum ditetapkan secara permanen.
Indonesia memiliki batas laut permanen dengan 10 negara, yaitu India, Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina, Australia, Papua Niujini, negara Timor Timur, Viet Nahm, dan Kepulauan Palau.
Ia kemudian mencontohkan batas wilayah perairan laut antara Indonesia dengan Australia dan batas wilayah perairan laut antara Indonesia dengan negara Timor Timur.
"Setelah Timor Timur berdiri menjadi negara merdeka dan berdaulat, batas wilayah perairan antara ketiga negara harus dirundingkan kembali dengan mengacu pada UNCLOS 1982 tentang garis tengah," katanya.
Demikian pun halnya dengan batas ZEE dengan Malaysia di Selat Malaka dan batas laut perairan Kalimantan Timur pasca keputusan Mahkamah Internasional yang mengabulkan tuntutan Malaysia atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan.
Ia mengatakan permasalahan batas laut dengan 10 negara tetangga ini masih dalam taraf perundingan sehingga belum bisa dijadikan sebagai dokumen negara yang sifatnya permanen.
Menyangkut batas laut Indonesia-negara Timor Timur, Songa mengatakan belum masuk dalam agenda perundingan, karena belum ditetapkan batas darat secara permanen antara kedua negara, meski sudah 15 tahun berjalan.
Dalam kurun waktu itu (1999-2015), tambahnya, baru pada 14 September 2000 di Denpasar Bali, tercapai suatu kesepakatan pengaturan perbatasan yang penuh saling pengertian antara kedua negara yang dituangkan dalam Arrangement on Establishment of a Joint Border Committee.
Kesepakatan ini kemudian melahirkan suatu kerja sama perbatasan dengan membentuk Join Border Committee (JBC). Dalam pertemuan selama beberapa kali dengan forum JBC, disepakati untuk pembentukan sub-sub komite teknik.
Khusus di bidang survai dan demarkasi batas, Departemen Pertahanan (era presiden sebelum Jokowi) bekerja sama dengan Bakosurtanal telah berhasil membangun 50 tugu dari target 300 tugu batas sepanjang garis perbatasan Indonesia-negara Timor Timur.
Lebih dari itu pada dasarnya disepakati bahwa garis batas darat Indonesia-negara Timor Timur berupa garis batas alamiah dengan mengacu pada punggung gunung yang mengikuti garis bentang perairan (watershed) maupun penarikan garis di tengah aliran sungai sebagai median line sesuai dengan isi perjanjian Treaty 1904 dan PCA-1914.
Tapi, katanya, upaya teknis ini terbentur hal-hal non teknis, seperti mengabaikan pendekatan sosial budaya, sehingga target pematokan tugu batas tidak tercapai. "Tanpa ada kepastian untuk menegakkan tapal batas wilayah perairan dengan negara tetangga, maka upaya dan tindakan menghentikan aksi pencurian kekayaan laut Indonesia, butuh waktu yang panjang dan melelahkan," ujarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.