Liputan Khusus Ilustrasi. (ANTARA/Regina Safri)☆
Semua bermula dari Korea Selatan, negeri yang memendam konflik 'abadi' dengan saudaranya, Korea Utara.
“Sepuluh tahun dari sekarang, Korea Selatan akan menjadi satu dari produsen senjata dan kedirgantaraan dunia bersama Amerika Serikat, Rusia, dan China.”
Perkataan yang menggambarkan ambisi dan tekad Korea Selatan menggarap proyek pesawat tempur itu diucapkan oleh seorang pejabat lembaga pengadaan pertahanan Korsel, Defence Acquisition Program Administration (DAPA), pada 2014.
Niat Korea Selatan mengembangkan jet tempur kelas berat yang kini dikenal dengan sebutan Korea Fighter Xperiment/Indonesia Fighter Xperiment (KF-X/IF-X), diumumkan pertama kali Maret 2001 oleh Presiden Korea Selatan Kim Dae-jung pada wisuda Akademi Angkatan Udara negeri itu.
Melalui proyek tersebut, Korea Selatan hendak menciptakan pesawat tempur multiperan canggih untuk menggantikan armada McDonell Douglas F-4 Phantom II dan Northrop F-5F Tiger II milik Angkatan Udara mereka yang kian usang.
KF-X bukan proyek pesawat tempur pertama Korea Selatan. Sebelumnya, Negeri Ginseng telah sukses membuat pesawat latih dasar KT-1 Woongbi yang 100 persen buatan mereka sendiri, juga jet tempur ringan T-50 Golden Eagle hasil pengembangan Korea Aerospace Industries dengan raksasa dirgantara AS Lockheed Martin.
Pengalaman membuat T-50 Golden Eagle membuat Korea Selatan percaya diri memulai proyek KF-X yang lebih sulit. Pun, negara yang kerap berseteru dengan Korea Utara itu memiliki sekitar 63 persen teknologi yang diperlukan untuk memproduksi pesawat tempur multiperan.
Meski demikian, 63 persen penguasaan teknologi tak menjamin KF-X bakal sukses. Korea Selatan lantas mencari mitra. Korsel berharap menemukan mitra asing yang dapat mendanai 40 persen dari total biaya pengembangan KF-X, sementara pendanaan mayoritas sebanyak 60 persen mereka tanggung.
Korea Selatan mengincar beberapa perusahaan sebagai calon mitra, mulai PT Dirgantara Indonesia (PTDI), Turkish Aerospace Industries, perusahaan pertahanan dan dirgantara Swedia Saab, pabrik pesawat AS Boeing, sampai Lockheed Martin AS.
Keputusan Korea Selatan memasukkan Indonesia sebagai mitra, menurut Kepala Program KF-X/IF-X PTDI Heri Yansyah, bukan tanpa alasan dan tak terjadi dengan tiba-tiba. Saling percaya antardua negara terentang sejak tahun 2006.
“Tahun 2006 Presiden Indonesia dan Korea Selatan pernah menandatangani Deklarasi Bersama mengenai Kemitraan Strategis untuk Mempromosikan Persahabatan dan Kerja Sama antara Republik Indonesia dan Republik Korea,” kata Heri dalam wawancaranya dengan CNNIndonesia.com, Jumat (19/2).
Penandatanganan tersebut berlangsung saat Presiden Korea Selatan Roh Moo-hyun berkunjung ke Indonesia pada 4 Desember 2006. Deklarasi yang diteken Roh dan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono itu mengatur bahwa kedua negara akan saling melengkapi satu sama lain.
Tahun 2008, Korea Selatan menawarkan kerja sama ke Indonesia untuk mengembangkan jet tempur. Tahun berikutnya, 2009, kedua negara meneken Letter of Intent.
“Korea saat itu sudah melakukan feasibility study (studi kelayakan), dan mencoba mengajak Indonesia dan Turki karena mengembangkan pesawat tempur kan mahal,” ujar Heri yang ikut ke Korea Selatan pada 2011-2012 untuk mengerjakan fase pengembangan konsep KF-X/IF-X.
Pun mengembangkan pesawat tempur berisiko tinggi. “Selain biaya pengembangan mahal, setelah jadi pasarnya susah. Tapi kalau kerja sama antarnegara, minimal pangsa pasarnya sudah ada,” kata Heri.
Tahun 2010, Indonesia melakukan studi kelayakan dan audit atas tawaran kerja sama Korea Selatan mengembangkan jet tempur.
“Untuk memutuskan bilang ‘iya’, kedua negara melakukan audit teknologi. Indonesia mengaudit Korea, Korea mengaudit Indonesia. Dari hasil audit itu, terlihat Korea punya kemampuan dan Indonesia juga memiliki kemampuan tapi perlu ditingkatkan. Barulah masing-masing negara saling berkomitmen,” kata Wakil Ketua Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) Republik Indonesia, Eris Herryanto.
Juli 2010, Indonesia sepakat untuk mendanai 20 persen biaya proyek KF-X dengan imbalan mendapat 50 unit pesawat tersebut setelah proyek selesai. Dua bulan kemudian, September 2010, Indonesia mengirim tim hukum dan pakar penerbangan ke Korea untuk membahas masalah hak cipta pesawat.
Di tengah proses yang berlangsung antara Korea Selatan dan Indonesia itu, pada 7 September 2010, Defence Acquisition Program Administration (DAPA) Korsel mengatakan Turki tertarik untuk bergabung.
Namun delapan hari kemudian, 15 Desember, pejabat senior Turki mengatakan negaranya membatalkan niat untuk berpartisipasi pada proyek KF-X.
Pada bulan yang sama, proyek KF-X diubah dari ‘sekadar’ pesawat tempur sekelas F-16 Fighting Falcon menjadi jet siluman (stealth fighter). Perubahan ini terkait eskalasi konflik antara Korea Selatan dengan Korea Utara.
Tahun 2010 itu, Indonesia dan Korea Selatan meneken nota kesepahaman soal KF-X.
April 2011, DAPA mengumumkan penandatanganan kesepakatan antara Korea Selatan dan Indonesia untuk bersama-sama mengembangkan pesawat tempur. Fase awal proyek KF-X/IF-X, yakni pengembangan konsep, pun dimulai.
Saling butuh, saling untung
Sejak awal menawarkan proyek jet tempur kepada Indonesia, ujar Eris, Korea Selatan mengatakan tak bisa mengembangkan KF-X sendirian. Terlebih di kemudian hari K-FX berubah menjadi proyek ambisius berupa pengembangan jet tempur generasi 4,5 dengan kemampuan siluman untuk menghilang di radar.
Pesawat generasi ini bakal lebih hebat dari Dassault Rafale asal Perancis, Eurofighter Typhoon buatan konsorsium Eropa, dan F-16 Fighting Falcon produksi AS, serta setara dengan Sukhoi Su-35 buatan Rusia.
Desain pesawat KF-X/IF-X yang tengah dikembangkan Korea Selatan dan Indonesia. (Dok. PT Dirgantara Indonesia)
“Korea butuh Indonesia. Korea memilih Indonesia karena Indonesia sudah punya kemampuan dalam membuat pesawat meski untuk jenis kecil seperti CN212, CN235, helikopter. Indonesia pun sudah memiliki fasilitas pabrik pesawat. Itu sebabnya Korea mengajak Indonesia,” kata Eris.
Indonesia dan Korea Selatan memiliki sejarah panjang kerja sama, termasuk di bidang industri pertahanan.
“Ada kerja sama soal kapal selam, propelan untuk roket, dan lain-lain. Jadi bukan pesawat tempur saja,” ujar Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertahanan Republik Indonesia, Anne Kusmayati.
Korea Selatan juga merupakan konsumen PTDI. Negeri itu bahkan membeli selusin atau 12 unit pesawat CN-235 buatan PTDI untuk berbagai keperluan, mulai digunakan sebagai alat transportasi militer, angkutan bagi very very important person (VVIP), sampai pesawat intai maritim.
Sebaliknya, Indonesia membeli pesawat-pesawat tempur buatan Korea Selatan. TNI AU memiliki armada KT-1 Woongbi dan T-50 Golden Eagle masing-masing satu skuadron.
“Ekspor pertama kedua pesawat itu ke Indonesia. Indonesia jadi pelanggan internasional pesawat Korea Selatan,” kata Direktur Teknologi dan Pengembangan PTDI, Andi Alisjahbana.
Soal kerja sama pengembangan KF-X, tak hanya Korea Selatan yang butuh Indonesia sebagai mitra. Indonesia pun mengincar transfer teknologi dari Korsel.
“Korea terbuka untuk transfer of technology. Korea juga konsisten dalam strategi pembangunan dan pengembangan industrinya. Indonesia butuh Korea, Korea butuh Indonesia. Saling menguntungkan,” kata Anne.
Kala itu, ujar Anne, Presiden SBY melihat tawaran Korea Selatan sebagai kesempatan. “Dia melihat Korea sebagai negara yang konsisten mengembangkan industrinya.”
Dengan menerima tawaran Korea Selatan mengembangkan pesawat tempur, kata Heri, Indonesia juga jadi bisa menguasai teknologi upgrading.
“Target Indonesia ialah mencapai kemandirian. Minimal Indonesia mampu untuk melakukan upgrading, tidak hanya pada KF-X/IF-X, tapi semua jet tempur yang dimiliki TNI AU sehingga seluruh pesawat bisa menggunakan teknologi terbarukan,” kata Heri.
Direktur PTDI Budi Santoso mengamini peran Korea Selatan dan Indonesia yang saling membutuhkan. Saat ini, ujarnya, Indonesia punya kesempatan untuk belajar sekaligus bekerja bersama Korea Selatan.
“Ada bidang tertentu di mana Indonesia lebih maju dari Korea, contohnya waktu dulu kami (Indonesia dan Korsel) mengerjakan struktur aerodinamik pesawat (pada fase pertama KF-X/IF-X). Tapi soal elektronik, Korea lebih jago dari Indonesia. Mereka punya banyak perusahaan elektronik seperti Samsung, LG, dan lain-lain,” kata Budi.
Jalan bagi Korea Selatan dan Indonesia untuk mewujudkan KF-X/IF-X masih jauh dari selesai. Saat ini kedua negara baru akan memasuki fase kedua proyek KF-X/IF-X, yakni pengembangan rekayasa manufaktur atau pembuatan prototipe.
Proyek Jet Tempur KF-X/IF-X Masuki Fase Penting
Jalan bagi Korea Selatan dan Indonesia untuk mewujudkan KF-X/IF-X masih jauh dari selesai. Saat ini kedua negara baru akan memasuki fase kedua proyek KF-X/IF-X, yakni pengembangan rekayasa manufaktur atau pembuatan prototipe.
Total ada tiga fase dalam proyek KF-X/IF-X, yaitu pengembangan teknologi atau pengembangan konsep (technology development), pengembangan rekayasa manufaktur atau pengembangan prototipe (engineering manufacturing development), dan terakhir proses produksi massal.
Kesepakatan Korea Selatan dan Indonesia dibuat tidak untuk ketiga fase itu sekaligus, melainkan dipisah-pisah untuk tiap fase. “Satu fase, satu kontrak,” ujar Anne.
Fase pertama, pengembangan konsep, dimulai Agustus 2011 hingga Februari 2013. Pada fase ini, selama 18 bulan, Indonesia mengirim 52 insinyur ke Korea Selatan. Mereka berasal dari PTDI, TNI AU, Institut Teknologi Bandung, dan Kementerian Pertahanan RI.
Rampungnya fase pertama mestinya diikuti langsung oleh dimulainya fase kedua pada tahun yang sama, 2013. Namun sejumlah peristiwa membuat rencana tertunda, termasuk pemilihan presiden di Korea Selatan dan alotnya transfer teknologi inti jet tempur dari Lockheed Martin AS ke Korsel.
Baru pada 7 Januari 2016 Jakarta dan Seoul akhirnya meneken kontrak kerja sama dimulainya fase kedua proyek PF-X/IF-X, yaitu pembuatan prototipe pesawat. Total ada delapan prototipe yang akan dibuat –enam prototipe terbang, dan dua prototipe tak terbang untuk uji struktur.
Fase kedua yang dimulai tahun 2016 ini akan terentang panjang hingga 10 tahun ke depan, dan ditargetkan rampung pada 2026. Pada fase ini, 200 insinyur Indonesia dikirim ke Korea Selatan secara bergelombang.
Untuk memastikan fase kedua ini berjalan mulus, Indonesia dan Korea Selatan menggelar pertemuan trilateral dengan Amerika Serikat, termasuk Lockheed Martin sebagai pihak yang akan mentransfer teknologi inti untuk KF-X/IF-X.
Meski semula Amerika Serikat keberatan atas transfer teknologi dari Lockheed Martin tersebut, Negeri Paman Sam belakangan melunak.
Korea Selatan dan Indonesia berharap transfer teknologi inti dapat terlaksana. Seperti ucapan melegenda ilmuwan Inggris Francis Bacon: knowledge is power. (agk/sip)
Semua bermula dari Korea Selatan, negeri yang memendam konflik 'abadi' dengan saudaranya, Korea Utara.
“Sepuluh tahun dari sekarang, Korea Selatan akan menjadi satu dari produsen senjata dan kedirgantaraan dunia bersama Amerika Serikat, Rusia, dan China.”
Perkataan yang menggambarkan ambisi dan tekad Korea Selatan menggarap proyek pesawat tempur itu diucapkan oleh seorang pejabat lembaga pengadaan pertahanan Korsel, Defence Acquisition Program Administration (DAPA), pada 2014.
Niat Korea Selatan mengembangkan jet tempur kelas berat yang kini dikenal dengan sebutan Korea Fighter Xperiment/Indonesia Fighter Xperiment (KF-X/IF-X), diumumkan pertama kali Maret 2001 oleh Presiden Korea Selatan Kim Dae-jung pada wisuda Akademi Angkatan Udara negeri itu.
Melalui proyek tersebut, Korea Selatan hendak menciptakan pesawat tempur multiperan canggih untuk menggantikan armada McDonell Douglas F-4 Phantom II dan Northrop F-5F Tiger II milik Angkatan Udara mereka yang kian usang.
KF-X bukan proyek pesawat tempur pertama Korea Selatan. Sebelumnya, Negeri Ginseng telah sukses membuat pesawat latih dasar KT-1 Woongbi yang 100 persen buatan mereka sendiri, juga jet tempur ringan T-50 Golden Eagle hasil pengembangan Korea Aerospace Industries dengan raksasa dirgantara AS Lockheed Martin.
Pengalaman membuat T-50 Golden Eagle membuat Korea Selatan percaya diri memulai proyek KF-X yang lebih sulit. Pun, negara yang kerap berseteru dengan Korea Utara itu memiliki sekitar 63 persen teknologi yang diperlukan untuk memproduksi pesawat tempur multiperan.
Meski demikian, 63 persen penguasaan teknologi tak menjamin KF-X bakal sukses. Korea Selatan lantas mencari mitra. Korsel berharap menemukan mitra asing yang dapat mendanai 40 persen dari total biaya pengembangan KF-X, sementara pendanaan mayoritas sebanyak 60 persen mereka tanggung.
Korea Selatan mengincar beberapa perusahaan sebagai calon mitra, mulai PT Dirgantara Indonesia (PTDI), Turkish Aerospace Industries, perusahaan pertahanan dan dirgantara Swedia Saab, pabrik pesawat AS Boeing, sampai Lockheed Martin AS.
Keputusan Korea Selatan memasukkan Indonesia sebagai mitra, menurut Kepala Program KF-X/IF-X PTDI Heri Yansyah, bukan tanpa alasan dan tak terjadi dengan tiba-tiba. Saling percaya antardua negara terentang sejak tahun 2006.
“Tahun 2006 Presiden Indonesia dan Korea Selatan pernah menandatangani Deklarasi Bersama mengenai Kemitraan Strategis untuk Mempromosikan Persahabatan dan Kerja Sama antara Republik Indonesia dan Republik Korea,” kata Heri dalam wawancaranya dengan CNNIndonesia.com, Jumat (19/2).
Penandatanganan tersebut berlangsung saat Presiden Korea Selatan Roh Moo-hyun berkunjung ke Indonesia pada 4 Desember 2006. Deklarasi yang diteken Roh dan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono itu mengatur bahwa kedua negara akan saling melengkapi satu sama lain.
Tahun 2008, Korea Selatan menawarkan kerja sama ke Indonesia untuk mengembangkan jet tempur. Tahun berikutnya, 2009, kedua negara meneken Letter of Intent.
“Korea saat itu sudah melakukan feasibility study (studi kelayakan), dan mencoba mengajak Indonesia dan Turki karena mengembangkan pesawat tempur kan mahal,” ujar Heri yang ikut ke Korea Selatan pada 2011-2012 untuk mengerjakan fase pengembangan konsep KF-X/IF-X.
Pun mengembangkan pesawat tempur berisiko tinggi. “Selain biaya pengembangan mahal, setelah jadi pasarnya susah. Tapi kalau kerja sama antarnegara, minimal pangsa pasarnya sudah ada,” kata Heri.
Tahun 2010, Indonesia melakukan studi kelayakan dan audit atas tawaran kerja sama Korea Selatan mengembangkan jet tempur.
“Untuk memutuskan bilang ‘iya’, kedua negara melakukan audit teknologi. Indonesia mengaudit Korea, Korea mengaudit Indonesia. Dari hasil audit itu, terlihat Korea punya kemampuan dan Indonesia juga memiliki kemampuan tapi perlu ditingkatkan. Barulah masing-masing negara saling berkomitmen,” kata Wakil Ketua Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) Republik Indonesia, Eris Herryanto.
Juli 2010, Indonesia sepakat untuk mendanai 20 persen biaya proyek KF-X dengan imbalan mendapat 50 unit pesawat tersebut setelah proyek selesai. Dua bulan kemudian, September 2010, Indonesia mengirim tim hukum dan pakar penerbangan ke Korea untuk membahas masalah hak cipta pesawat.
Di tengah proses yang berlangsung antara Korea Selatan dan Indonesia itu, pada 7 September 2010, Defence Acquisition Program Administration (DAPA) Korsel mengatakan Turki tertarik untuk bergabung.
Namun delapan hari kemudian, 15 Desember, pejabat senior Turki mengatakan negaranya membatalkan niat untuk berpartisipasi pada proyek KF-X.
Pada bulan yang sama, proyek KF-X diubah dari ‘sekadar’ pesawat tempur sekelas F-16 Fighting Falcon menjadi jet siluman (stealth fighter). Perubahan ini terkait eskalasi konflik antara Korea Selatan dengan Korea Utara.
Tahun 2010 itu, Indonesia dan Korea Selatan meneken nota kesepahaman soal KF-X.
April 2011, DAPA mengumumkan penandatanganan kesepakatan antara Korea Selatan dan Indonesia untuk bersama-sama mengembangkan pesawat tempur. Fase awal proyek KF-X/IF-X, yakni pengembangan konsep, pun dimulai.
Saling butuh, saling untung
Sejak awal menawarkan proyek jet tempur kepada Indonesia, ujar Eris, Korea Selatan mengatakan tak bisa mengembangkan KF-X sendirian. Terlebih di kemudian hari K-FX berubah menjadi proyek ambisius berupa pengembangan jet tempur generasi 4,5 dengan kemampuan siluman untuk menghilang di radar.
Pesawat generasi ini bakal lebih hebat dari Dassault Rafale asal Perancis, Eurofighter Typhoon buatan konsorsium Eropa, dan F-16 Fighting Falcon produksi AS, serta setara dengan Sukhoi Su-35 buatan Rusia.
Desain pesawat KF-X/IF-X yang tengah dikembangkan Korea Selatan dan Indonesia. (Dok. PT Dirgantara Indonesia)
“Korea butuh Indonesia. Korea memilih Indonesia karena Indonesia sudah punya kemampuan dalam membuat pesawat meski untuk jenis kecil seperti CN212, CN235, helikopter. Indonesia pun sudah memiliki fasilitas pabrik pesawat. Itu sebabnya Korea mengajak Indonesia,” kata Eris.
Indonesia dan Korea Selatan memiliki sejarah panjang kerja sama, termasuk di bidang industri pertahanan.
“Ada kerja sama soal kapal selam, propelan untuk roket, dan lain-lain. Jadi bukan pesawat tempur saja,” ujar Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertahanan Republik Indonesia, Anne Kusmayati.
Korea Selatan juga merupakan konsumen PTDI. Negeri itu bahkan membeli selusin atau 12 unit pesawat CN-235 buatan PTDI untuk berbagai keperluan, mulai digunakan sebagai alat transportasi militer, angkutan bagi very very important person (VVIP), sampai pesawat intai maritim.
Sebaliknya, Indonesia membeli pesawat-pesawat tempur buatan Korea Selatan. TNI AU memiliki armada KT-1 Woongbi dan T-50 Golden Eagle masing-masing satu skuadron.
“Ekspor pertama kedua pesawat itu ke Indonesia. Indonesia jadi pelanggan internasional pesawat Korea Selatan,” kata Direktur Teknologi dan Pengembangan PTDI, Andi Alisjahbana.
Soal kerja sama pengembangan KF-X, tak hanya Korea Selatan yang butuh Indonesia sebagai mitra. Indonesia pun mengincar transfer teknologi dari Korsel.
“Korea terbuka untuk transfer of technology. Korea juga konsisten dalam strategi pembangunan dan pengembangan industrinya. Indonesia butuh Korea, Korea butuh Indonesia. Saling menguntungkan,” kata Anne.
Kala itu, ujar Anne, Presiden SBY melihat tawaran Korea Selatan sebagai kesempatan. “Dia melihat Korea sebagai negara yang konsisten mengembangkan industrinya.”
Dengan menerima tawaran Korea Selatan mengembangkan pesawat tempur, kata Heri, Indonesia juga jadi bisa menguasai teknologi upgrading.
“Target Indonesia ialah mencapai kemandirian. Minimal Indonesia mampu untuk melakukan upgrading, tidak hanya pada KF-X/IF-X, tapi semua jet tempur yang dimiliki TNI AU sehingga seluruh pesawat bisa menggunakan teknologi terbarukan,” kata Heri.
Direktur PTDI Budi Santoso mengamini peran Korea Selatan dan Indonesia yang saling membutuhkan. Saat ini, ujarnya, Indonesia punya kesempatan untuk belajar sekaligus bekerja bersama Korea Selatan.
“Ada bidang tertentu di mana Indonesia lebih maju dari Korea, contohnya waktu dulu kami (Indonesia dan Korsel) mengerjakan struktur aerodinamik pesawat (pada fase pertama KF-X/IF-X). Tapi soal elektronik, Korea lebih jago dari Indonesia. Mereka punya banyak perusahaan elektronik seperti Samsung, LG, dan lain-lain,” kata Budi.
Jalan bagi Korea Selatan dan Indonesia untuk mewujudkan KF-X/IF-X masih jauh dari selesai. Saat ini kedua negara baru akan memasuki fase kedua proyek KF-X/IF-X, yakni pengembangan rekayasa manufaktur atau pembuatan prototipe.
Proyek Jet Tempur KF-X/IF-X Masuki Fase Penting
Jalan bagi Korea Selatan dan Indonesia untuk mewujudkan KF-X/IF-X masih jauh dari selesai. Saat ini kedua negara baru akan memasuki fase kedua proyek KF-X/IF-X, yakni pengembangan rekayasa manufaktur atau pembuatan prototipe.
Total ada tiga fase dalam proyek KF-X/IF-X, yaitu pengembangan teknologi atau pengembangan konsep (technology development), pengembangan rekayasa manufaktur atau pengembangan prototipe (engineering manufacturing development), dan terakhir proses produksi massal.
Kesepakatan Korea Selatan dan Indonesia dibuat tidak untuk ketiga fase itu sekaligus, melainkan dipisah-pisah untuk tiap fase. “Satu fase, satu kontrak,” ujar Anne.
Fase pertama, pengembangan konsep, dimulai Agustus 2011 hingga Februari 2013. Pada fase ini, selama 18 bulan, Indonesia mengirim 52 insinyur ke Korea Selatan. Mereka berasal dari PTDI, TNI AU, Institut Teknologi Bandung, dan Kementerian Pertahanan RI.
Rampungnya fase pertama mestinya diikuti langsung oleh dimulainya fase kedua pada tahun yang sama, 2013. Namun sejumlah peristiwa membuat rencana tertunda, termasuk pemilihan presiden di Korea Selatan dan alotnya transfer teknologi inti jet tempur dari Lockheed Martin AS ke Korsel.
Baru pada 7 Januari 2016 Jakarta dan Seoul akhirnya meneken kontrak kerja sama dimulainya fase kedua proyek PF-X/IF-X, yaitu pembuatan prototipe pesawat. Total ada delapan prototipe yang akan dibuat –enam prototipe terbang, dan dua prototipe tak terbang untuk uji struktur.
Fase kedua yang dimulai tahun 2016 ini akan terentang panjang hingga 10 tahun ke depan, dan ditargetkan rampung pada 2026. Pada fase ini, 200 insinyur Indonesia dikirim ke Korea Selatan secara bergelombang.
Untuk memastikan fase kedua ini berjalan mulus, Indonesia dan Korea Selatan menggelar pertemuan trilateral dengan Amerika Serikat, termasuk Lockheed Martin sebagai pihak yang akan mentransfer teknologi inti untuk KF-X/IF-X.
Meski semula Amerika Serikat keberatan atas transfer teknologi dari Lockheed Martin tersebut, Negeri Paman Sam belakangan melunak.
Korea Selatan dan Indonesia berharap transfer teknologi inti dapat terlaksana. Seperti ucapan melegenda ilmuwan Inggris Francis Bacon: knowledge is power. (agk/sip)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.