Proyek KF-X/IF-X jadi debut Indonesia ikut mengembangkan jet tempur canggih. (Dok. PT Dirgantara Indonesia) ★
Salah satu pejabat Kementerian Pertahanan Republik Indonesia menyebut proyek pengembangan pesawat tempur Korea Fighter Xperiment/Indonesia Fighter Xperiment (KF-X/IF-X) antara Korea Selatan dan Indonesia sebagai tonggak baru dalam industri dirgantara nasional.
“Ini satu lompatan. Indonesia mesti memberdayakan industri pertahanannya secara maksimal,” kata Anne Kusmayati, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertahanan RI kepada CNNIndonesia.com, Selasa (16/2).
Pilihan kalimat berbeda diucapkan Eris Herryanto, Wakil Ketua Komite Kebijakan Industri Pertahanan RI. Menurut mantan penerbang TNI Angkatan Udara itu, memang sudah saatnya Indonesia sampai pada tahap pengembangan jet tempur, sebab Indonesia telah memiliki tekad membuat pesawat bahkan sebelum merdeka.
“Ini perjalanan sejarah, kesinambungan sejarah bangsa untuk menguasai teknologi di bidang kerdirgantaraan,” ujar Eris.
Dalam proses perjalanan itu, kata Eris, kabut-badai pasti ada, dan itu semua perlu dihadapi untuk mencapai kemandirian bangsa di industri dirgantara.
Indonesia bahkan telah membuat pesawat tempur secara mandiri hanya dalam kurun waktu 10 tahun setelah merdeka. Prototipe pesawat serang antigerilya Sikumbang diuji terbang pada Agustus 1954.
Sikumbang dirancang oleh Komando Depot Perawatan Teknik Angkatan Udara Republik Indonesia, Laksamana Muda Nurtanio Pringgoadisurjo –perintis industri dirgantara Indonesia yang namanya kemudian diabadikan menjadi nama perusahaan industri pesawat terbang Indonesia, PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio (selanjutnya berganti nama menjadi Industri Pesawat Terbang Nusantara, dan kini berubah jadi PT Dirgantara Indonesia setelah restrukturisasi)
Pesawat Sikumbang ketika itu bahkan diulas di majalah penerbangan Amerika Serikat, Inggris, dan Jepang.
Empat tahun setelah prototipe Sikumbang terbang, 1958, Subdepot Penyelidikan, Percobaan, dan Pembuatan AURI menerbangkan Belalang, prototipe pesawat latih dasar yang kemudian digunakan untuk mendidik calon penerbang di Akademi Angkatan Udara dan Pusat Penerbangan Angkatan Darat.
Masih pada tahun yang sama, Indonesia menerbangkan Kunang, pesawat berkursi tunggal. Seperti Sikumbang, Kunang dan Belalang pun dirancang oleh Nurtanio.
Sebelum ketiga pesawat itu, pesawat terbang bermotor WEL-X/RI-X telah lebih dulu dibuat oleh Wiweko Soepono pada 1948.
Tahun 1938 sebelum Indonesia merdeka pun, putra-putra Indonesia dipelopori Tossin membuat pesawat terbang di salah satu bengkel di Pasirkaliki, Bandung. Pesawat itu kemudian diberi nama PK.KKH.
Kepak sayap Indonesia membangun industri dirgantaranya berlanjut pada era Bacharuddin Jusuf Habibie yang pernah mengemban jabatan Presiden Direktur PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio.
“Indonesia membuat pesawat NC-212, CN-235, N-250, dan masih banyak lagi,” kata Eris.
Proses produksi pesawat CN-235 di hanggar PT Dirgantara Indonesia, Bandung, Jawa Barat. (ANTARA/Novrian Arbi)
Jadi, ujar Direktur Teknologi dan Pengembangan PTDI Andi Alisjahbana, industri dirgantara Indonesia sesungguhnya telah berkembang sejak dulu. “Hanya ini kali pertama Indonesia ikut membuat pesawat tempur secanggih ini.”
“Kebangkitan industri dirgantara RI misal 10 Agustus 1995, saat penerbangan pertama N-250. Indonesia sekarang bisa ikut membuat jet tempur karena, salah satunya, pernah membuat N-250,” ujar Andi.
N-250 merupakan pesawat penumpang sipil rancangan asli Indonesia. Kode N di depan angka 250 merupakan singkatan dari ‘Nusantara’ –menunjukkan bahwa desain dan produksi pesawat sepenuhnya dikerjakan di Indonesia. N juga kependekan dari ‘Nurtanio’, perintis industri penerbangan Indonesia.
Terakhir, 10 Desember 2015, PTDI meresmikan pesawat perintis N-219 yang seluruhnya murni buatan Indonesia. Seperti N-250, N-219 dirancang sendiri oleh PTDI dan dibuat untuk melayani daerah-daerah terpencil, termasuk di dataran tinggi dan wilayah dengan landasan pacu pendek.
Masuk rantai pasokan global
Ada syarat penting agar industri dirgantara suatu negara berkembang dan diakui dunia: memiliki produk utama, dan harus eksis dengan menjadi bagian dari rantai pasokan global produk-produk dunia.
Soal produk utama, PTDI sudah memiliki CN-235, NC-212, dan sebentar lagi N-219.
Sementara untuk masuk ke rantai pasokan global, perusahaan mesti bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan yang sudah mapan. PTDI misalnya dengan pabrikan pesawat Airbus asal Eropa yang menerima banyak pesanan pesawat dari berbagai penjuru dunia.
Airbus, berdasarkan data yang dilansir perusahaan itu pada laman resmi mereka di airbus.com, per Januari 2016 telah menerima total pesanan 16.360 pesawat. Dari jumlah itu, 9.542 unit telah dirampungkan dan diserahkan kepada pemesan, sedangkan 6.818 unit lainnya belum rampung.
“Lion Air saja pesan ke Airbus sampai sekian ratus. Itu baru satu pemesan. Padahal maskapai penerbangan di dunia ini banyak. Mungkin baru dalam beberapa tahun semua pesanan itu bisa dipenuhi Airbus. Artinya Airbus pasti overload dan perlu bantuan. Itulah kesempatan yang bisa diambil (PTDI) misal dengan membuat sayap pesawat. Suplai komponen-komponen untuk Airbus,” ujar Eris.
Untuk bisa membuat komponen-komponen tersebut untuk Airbus, PTDI bersaing lebih dulu dengan perusahaan-perusahaan lain melalui tender.
“Di situ ada kompetisi soal kualitas dan harga. Kalau bisa bersaing, akan langsung dipakai (Airbus). Akhirnya kita masuk global supply chain. PTDI sudah melakukan itu,” kata Eris.
Seluruh Eurocopter E725 Caracal atau Super Couger keluaran Airbus Helicopters misal, tail boom-nya dibuat dibuat oleh PTDI.
Helikopter Super Cougar di hanggar perakitan PT Dirgantara Indonesia, Bandung, Jawa Barat. (CNN Indonesia/Iwan Hermawan)
“Jadi Airbus tidak membuat sendiri seluruh komponen pesawatnya. PTDI membuatkan sejumlah komponen untuk Airbus, dan dengan demikian menjadi bagian dari global supply chain industri penerbangan. Ini bisa menghidupi dan membuat perusahaan diakui dunia selain punya produk utama buatan sendiri untuk dijual,” papar Eris.
Dua lagi hal penting yang mesti dimiliki industri pertahanan, menurut Anne, ialah kemampuan diversifikasi dan menghasilkan produk komersial.
Pada akhirnya, ujar Andi, Indonesia mutlak memerlukan kemampuan penguasaan teknologi dirgantara. Dengan jumlah penduduk besar –lebih dari 240 juta jiwa– dan wilayah kepulauan amat luas, Indonesia setidaknya membutuhkan sekitar 4.000 pesawat untuk sarana transportasi.
“Lima puluh pesawat tempur tambahan tak akan cukup untuk menjaga seluruh wilayah Indonesia. Butuh lebih banyak. Indonesia juga perlu memperbaiki sistem pertahanannya karena lawan pun makin canggih,” kata Andi. (agk/sip)
Salah satu pejabat Kementerian Pertahanan Republik Indonesia menyebut proyek pengembangan pesawat tempur Korea Fighter Xperiment/Indonesia Fighter Xperiment (KF-X/IF-X) antara Korea Selatan dan Indonesia sebagai tonggak baru dalam industri dirgantara nasional.
“Ini satu lompatan. Indonesia mesti memberdayakan industri pertahanannya secara maksimal,” kata Anne Kusmayati, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertahanan RI kepada CNNIndonesia.com, Selasa (16/2).
Pilihan kalimat berbeda diucapkan Eris Herryanto, Wakil Ketua Komite Kebijakan Industri Pertahanan RI. Menurut mantan penerbang TNI Angkatan Udara itu, memang sudah saatnya Indonesia sampai pada tahap pengembangan jet tempur, sebab Indonesia telah memiliki tekad membuat pesawat bahkan sebelum merdeka.
“Ini perjalanan sejarah, kesinambungan sejarah bangsa untuk menguasai teknologi di bidang kerdirgantaraan,” ujar Eris.
Dalam proses perjalanan itu, kata Eris, kabut-badai pasti ada, dan itu semua perlu dihadapi untuk mencapai kemandirian bangsa di industri dirgantara.
Indonesia bahkan telah membuat pesawat tempur secara mandiri hanya dalam kurun waktu 10 tahun setelah merdeka. Prototipe pesawat serang antigerilya Sikumbang diuji terbang pada Agustus 1954.
Sikumbang dirancang oleh Komando Depot Perawatan Teknik Angkatan Udara Republik Indonesia, Laksamana Muda Nurtanio Pringgoadisurjo –perintis industri dirgantara Indonesia yang namanya kemudian diabadikan menjadi nama perusahaan industri pesawat terbang Indonesia, PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio (selanjutnya berganti nama menjadi Industri Pesawat Terbang Nusantara, dan kini berubah jadi PT Dirgantara Indonesia setelah restrukturisasi)
Pesawat Sikumbang ketika itu bahkan diulas di majalah penerbangan Amerika Serikat, Inggris, dan Jepang.
Empat tahun setelah prototipe Sikumbang terbang, 1958, Subdepot Penyelidikan, Percobaan, dan Pembuatan AURI menerbangkan Belalang, prototipe pesawat latih dasar yang kemudian digunakan untuk mendidik calon penerbang di Akademi Angkatan Udara dan Pusat Penerbangan Angkatan Darat.
Masih pada tahun yang sama, Indonesia menerbangkan Kunang, pesawat berkursi tunggal. Seperti Sikumbang, Kunang dan Belalang pun dirancang oleh Nurtanio.
Sebelum ketiga pesawat itu, pesawat terbang bermotor WEL-X/RI-X telah lebih dulu dibuat oleh Wiweko Soepono pada 1948.
Tahun 1938 sebelum Indonesia merdeka pun, putra-putra Indonesia dipelopori Tossin membuat pesawat terbang di salah satu bengkel di Pasirkaliki, Bandung. Pesawat itu kemudian diberi nama PK.KKH.
Kepak sayap Indonesia membangun industri dirgantaranya berlanjut pada era Bacharuddin Jusuf Habibie yang pernah mengemban jabatan Presiden Direktur PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio.
“Indonesia membuat pesawat NC-212, CN-235, N-250, dan masih banyak lagi,” kata Eris.
Proses produksi pesawat CN-235 di hanggar PT Dirgantara Indonesia, Bandung, Jawa Barat. (ANTARA/Novrian Arbi)
Jadi, ujar Direktur Teknologi dan Pengembangan PTDI Andi Alisjahbana, industri dirgantara Indonesia sesungguhnya telah berkembang sejak dulu. “Hanya ini kali pertama Indonesia ikut membuat pesawat tempur secanggih ini.”
“Kebangkitan industri dirgantara RI misal 10 Agustus 1995, saat penerbangan pertama N-250. Indonesia sekarang bisa ikut membuat jet tempur karena, salah satunya, pernah membuat N-250,” ujar Andi.
N-250 merupakan pesawat penumpang sipil rancangan asli Indonesia. Kode N di depan angka 250 merupakan singkatan dari ‘Nusantara’ –menunjukkan bahwa desain dan produksi pesawat sepenuhnya dikerjakan di Indonesia. N juga kependekan dari ‘Nurtanio’, perintis industri penerbangan Indonesia.
Terakhir, 10 Desember 2015, PTDI meresmikan pesawat perintis N-219 yang seluruhnya murni buatan Indonesia. Seperti N-250, N-219 dirancang sendiri oleh PTDI dan dibuat untuk melayani daerah-daerah terpencil, termasuk di dataran tinggi dan wilayah dengan landasan pacu pendek.
Masuk rantai pasokan global
Ada syarat penting agar industri dirgantara suatu negara berkembang dan diakui dunia: memiliki produk utama, dan harus eksis dengan menjadi bagian dari rantai pasokan global produk-produk dunia.
Soal produk utama, PTDI sudah memiliki CN-235, NC-212, dan sebentar lagi N-219.
Sementara untuk masuk ke rantai pasokan global, perusahaan mesti bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan yang sudah mapan. PTDI misalnya dengan pabrikan pesawat Airbus asal Eropa yang menerima banyak pesanan pesawat dari berbagai penjuru dunia.
Airbus, berdasarkan data yang dilansir perusahaan itu pada laman resmi mereka di airbus.com, per Januari 2016 telah menerima total pesanan 16.360 pesawat. Dari jumlah itu, 9.542 unit telah dirampungkan dan diserahkan kepada pemesan, sedangkan 6.818 unit lainnya belum rampung.
“Lion Air saja pesan ke Airbus sampai sekian ratus. Itu baru satu pemesan. Padahal maskapai penerbangan di dunia ini banyak. Mungkin baru dalam beberapa tahun semua pesanan itu bisa dipenuhi Airbus. Artinya Airbus pasti overload dan perlu bantuan. Itulah kesempatan yang bisa diambil (PTDI) misal dengan membuat sayap pesawat. Suplai komponen-komponen untuk Airbus,” ujar Eris.
Untuk bisa membuat komponen-komponen tersebut untuk Airbus, PTDI bersaing lebih dulu dengan perusahaan-perusahaan lain melalui tender.
“Di situ ada kompetisi soal kualitas dan harga. Kalau bisa bersaing, akan langsung dipakai (Airbus). Akhirnya kita masuk global supply chain. PTDI sudah melakukan itu,” kata Eris.
Seluruh Eurocopter E725 Caracal atau Super Couger keluaran Airbus Helicopters misal, tail boom-nya dibuat dibuat oleh PTDI.
Helikopter Super Cougar di hanggar perakitan PT Dirgantara Indonesia, Bandung, Jawa Barat. (CNN Indonesia/Iwan Hermawan)
“Jadi Airbus tidak membuat sendiri seluruh komponen pesawatnya. PTDI membuatkan sejumlah komponen untuk Airbus, dan dengan demikian menjadi bagian dari global supply chain industri penerbangan. Ini bisa menghidupi dan membuat perusahaan diakui dunia selain punya produk utama buatan sendiri untuk dijual,” papar Eris.
Dua lagi hal penting yang mesti dimiliki industri pertahanan, menurut Anne, ialah kemampuan diversifikasi dan menghasilkan produk komersial.
Pada akhirnya, ujar Andi, Indonesia mutlak memerlukan kemampuan penguasaan teknologi dirgantara. Dengan jumlah penduduk besar –lebih dari 240 juta jiwa– dan wilayah kepulauan amat luas, Indonesia setidaknya membutuhkan sekitar 4.000 pesawat untuk sarana transportasi.
“Lima puluh pesawat tempur tambahan tak akan cukup untuk menjaga seluruh wilayah Indonesia. Butuh lebih banyak. Indonesia juga perlu memperbaiki sistem pertahanannya karena lawan pun makin canggih,” kata Andi. (agk/sip)
★ CNN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.