Buat Jet TempurAS, Korea Selatan, dan Indonesia menggelar pertemuan trilateral, membahas rencana transfer teknologi untuk pesawat tempur KF-X/IF-X yang dibuat Korsel bersama RI. (Dok. PT Dirgantara Indonesia) ☆
“Pesawat tempur itu seperti ponsel. Teknologinya dalam setahun sudah berubah lebih canggih, apakah itu menyangkut sistem elektronik, sensor, atau senjata.”
Heri Yansyah, Kepala Program Korea Fighter Xperiment/Indonesia Fighter Xperiment (KF-X/IF-X) PT Dirgantara Indonesia, mengatakan hal itu saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, Jumat (19/2).
“Jadi Indonesia harus mampu melakukan upgrading teknologi yang selalu berubah ini. Kalau tidak punya kemampuan upgrade, lalu beli pesawat yang sama dengan negara-negara tetangga, maka dalam waktu dua-tiga tahun, Indonesia sudah kalah,” ujar Heri.
Meski membandingkan pesawat tempur dengan ponsel, untuk membuatnya jauh dari kata mudah. Perlu waktu 10 tahun lebih mengembangkan KF-X/IF-X yang dirancang menjadi jet tempur multiperan generasi 4,5 dengan teknologi mendekati kemampuan pesawat siluman (stealth fighter) generasi 5.
Sejak mesin jet pertama kali dikembangkan tahun 1946, pesawat tempur telah berevolusi hingga generasi kelima. Generasi termutakhir ini menggabungkan teknologi siluman untuk tak terdeteksi radar, kemampuan menjelajah supersonik, dan sensor baru yang terintegrasi.
Satu-satunya persawat tempur generasi 5 yang kini telah beroperasi ialah F-22 Raptor buatan Lockheed Martin AS. Sementara sejumlah jet lain dari generasi itu seperti F-35 Lighting II dan Sukhoi PAK FA, masih pada tahap uji coba.
Untuk membuat prototipe KF-X/IF-X, ilmuwan Indonesia dan Korea Selatan akan bekerja bahu-membahu di markas Korea Aerospace Industries di Sacheon, Provinsi Gyeongsang Selatan.
“Saat puncak pembuatan prototipe pesawat, 200 insinyur Indonesia akan terlibat,” kata Heri yang pada periode 2011-2012 ikut ke Korea Selatan selama 18 bulan untuk mengerjakan fase pertama proyek KF-X/IF-X, yakni pengembangan konsep.
Jumlah insinyur Indonesia yang berangkat ke Korea Selatan pada penggarapan fase kedua – pembuatan prototipe– mulai tahun 2016 ini jauh lebih banyak daripada fase pertama yang hanya berjumlah 52 orang.
Para ilmuwan Indonesia itu akan berdatangan ke Korea Selatan secara bertahap dalam kurun waktu 10 tahun ke depan. “Ada insinyur yang harus tinggal di sana selama 10 tahun penuh, tapi ada juga yang dirotasi,” ujar Heri.
Bangun fasilitas
Di dalam negeri, Indonesia mengebut persiapan sumber daya manusia dan teknologi, mulai dari riset soal teknologi inti mesin jet tempur, material, avionik, aeroninamika, hingga membangun laboratorium untuk menunjang riset tersebut.
Selain itu, meski penggarapan KF-X/IF-X dipusatkan di Korea Selatan, markas PT Dirgantara Indonesia di Bandung, Jawa Barat, bakal tak kalah sibuk. PTDI akan memantau seluruh pengerjaan pesawat tempur tersebut.
PTDI misalnya menyiapkan Design Center Indonesia (DCI) untuk membangun kemampuan teknologi, infrastruktur, dan simulasi. Di tempat ini, seluruh tahap pengerjaan KF-X/IF-X di Korea Selatan akan dikomunikasikan.
DCI merupakan mirroring dari gedung Design Center yang juga dibangun di Sacheon, Korea Selatan. Design Center di Sacheon semacam bangunan yang tertutup rapat dan steril. Orang-orang yang memasukinya dilarang membawa flashdisk dan komputer. Di sana ilmuwan Indonesia dan Korsel akan kerja bersama.
Indonesia juga kebagian tugas membuat komponen pesawat bagian sayap dan ekor kanan, serta penguat di bawah sayap.
Pun, Indonesia mendapat jatah untuk membuat prototipe pesawat. Total ada delapan prototipe yang akan dibuat –enam prototipe terbang, dan dua prototipe tak terbang untuk uji struktur.
“Prototipe kelima akan dibuat di sini,” ujar Heri. “Kenapa mesti yang kelima? Karena Indonesia baru pertama kali ini mengembangkan pesawat tempur. Untuk prototipe pertama dan kedua, Indonesia belum siap,” imbuh pakar aerodinamika PTDI itu.
Oleh sebab itu PTDI juga menyiapkan fasilitas hanggar composing, hanggar titanium, hanggar produksi, dan hanggar perakitan akhir pesawat tempur.
Tak kalah penting, Indonesia bersiap untuk membangun kemampuan persenjataan secara bertahap.
Sementara dari segi sumber daya manusia, ilmuwan-ilmuwan Indonesia akan mendapat pelatihan untuk mempertajam kemampuan, termasuk dengan disekolahkan lagi di dalam dan luar negeri.
Untuk di dalam negeri, Institut Teknologi Bandung digandeng. “Ada 25 orang kandidat S2 dan enam orang kandidat S3 di ITB. Semua sudah dites,” kata Heri.
Sebagian ilmuwan lainnya disekolahkan ke Inggris. Negeri di barat laut benua Eropa itu dipilih karena karena masa kuliah di sana relatif singkat. Dengan demikian, para ilmuwan Indonesia diharapkan cepat merampungkan kuliah dan langsung mempraktikkan pengetahuan barunya di Indonesia.
Teknologi, seperti diucapkan Heri, berubah cepat. Indonesia mesti berpacu, bersiap dengan cepat jika tak mau tertinggal. (agk/sip)
“Pesawat tempur itu seperti ponsel. Teknologinya dalam setahun sudah berubah lebih canggih, apakah itu menyangkut sistem elektronik, sensor, atau senjata.”
Heri Yansyah, Kepala Program Korea Fighter Xperiment/Indonesia Fighter Xperiment (KF-X/IF-X) PT Dirgantara Indonesia, mengatakan hal itu saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, Jumat (19/2).
“Jadi Indonesia harus mampu melakukan upgrading teknologi yang selalu berubah ini. Kalau tidak punya kemampuan upgrade, lalu beli pesawat yang sama dengan negara-negara tetangga, maka dalam waktu dua-tiga tahun, Indonesia sudah kalah,” ujar Heri.
Meski membandingkan pesawat tempur dengan ponsel, untuk membuatnya jauh dari kata mudah. Perlu waktu 10 tahun lebih mengembangkan KF-X/IF-X yang dirancang menjadi jet tempur multiperan generasi 4,5 dengan teknologi mendekati kemampuan pesawat siluman (stealth fighter) generasi 5.
Sejak mesin jet pertama kali dikembangkan tahun 1946, pesawat tempur telah berevolusi hingga generasi kelima. Generasi termutakhir ini menggabungkan teknologi siluman untuk tak terdeteksi radar, kemampuan menjelajah supersonik, dan sensor baru yang terintegrasi.
Satu-satunya persawat tempur generasi 5 yang kini telah beroperasi ialah F-22 Raptor buatan Lockheed Martin AS. Sementara sejumlah jet lain dari generasi itu seperti F-35 Lighting II dan Sukhoi PAK FA, masih pada tahap uji coba.
Untuk membuat prototipe KF-X/IF-X, ilmuwan Indonesia dan Korea Selatan akan bekerja bahu-membahu di markas Korea Aerospace Industries di Sacheon, Provinsi Gyeongsang Selatan.
“Saat puncak pembuatan prototipe pesawat, 200 insinyur Indonesia akan terlibat,” kata Heri yang pada periode 2011-2012 ikut ke Korea Selatan selama 18 bulan untuk mengerjakan fase pertama proyek KF-X/IF-X, yakni pengembangan konsep.
Jumlah insinyur Indonesia yang berangkat ke Korea Selatan pada penggarapan fase kedua – pembuatan prototipe– mulai tahun 2016 ini jauh lebih banyak daripada fase pertama yang hanya berjumlah 52 orang.
Para ilmuwan Indonesia itu akan berdatangan ke Korea Selatan secara bertahap dalam kurun waktu 10 tahun ke depan. “Ada insinyur yang harus tinggal di sana selama 10 tahun penuh, tapi ada juga yang dirotasi,” ujar Heri.
Bangun fasilitas
Di dalam negeri, Indonesia mengebut persiapan sumber daya manusia dan teknologi, mulai dari riset soal teknologi inti mesin jet tempur, material, avionik, aeroninamika, hingga membangun laboratorium untuk menunjang riset tersebut.
Selain itu, meski penggarapan KF-X/IF-X dipusatkan di Korea Selatan, markas PT Dirgantara Indonesia di Bandung, Jawa Barat, bakal tak kalah sibuk. PTDI akan memantau seluruh pengerjaan pesawat tempur tersebut.
PTDI misalnya menyiapkan Design Center Indonesia (DCI) untuk membangun kemampuan teknologi, infrastruktur, dan simulasi. Di tempat ini, seluruh tahap pengerjaan KF-X/IF-X di Korea Selatan akan dikomunikasikan.
DCI merupakan mirroring dari gedung Design Center yang juga dibangun di Sacheon, Korea Selatan. Design Center di Sacheon semacam bangunan yang tertutup rapat dan steril. Orang-orang yang memasukinya dilarang membawa flashdisk dan komputer. Di sana ilmuwan Indonesia dan Korsel akan kerja bersama.
Indonesia juga kebagian tugas membuat komponen pesawat bagian sayap dan ekor kanan, serta penguat di bawah sayap.
Pun, Indonesia mendapat jatah untuk membuat prototipe pesawat. Total ada delapan prototipe yang akan dibuat –enam prototipe terbang, dan dua prototipe tak terbang untuk uji struktur.
“Prototipe kelima akan dibuat di sini,” ujar Heri. “Kenapa mesti yang kelima? Karena Indonesia baru pertama kali ini mengembangkan pesawat tempur. Untuk prototipe pertama dan kedua, Indonesia belum siap,” imbuh pakar aerodinamika PTDI itu.
Oleh sebab itu PTDI juga menyiapkan fasilitas hanggar composing, hanggar titanium, hanggar produksi, dan hanggar perakitan akhir pesawat tempur.
Tak kalah penting, Indonesia bersiap untuk membangun kemampuan persenjataan secara bertahap.
Sementara dari segi sumber daya manusia, ilmuwan-ilmuwan Indonesia akan mendapat pelatihan untuk mempertajam kemampuan, termasuk dengan disekolahkan lagi di dalam dan luar negeri.
Untuk di dalam negeri, Institut Teknologi Bandung digandeng. “Ada 25 orang kandidat S2 dan enam orang kandidat S3 di ITB. Semua sudah dites,” kata Heri.
Sebagian ilmuwan lainnya disekolahkan ke Inggris. Negeri di barat laut benua Eropa itu dipilih karena karena masa kuliah di sana relatif singkat. Dengan demikian, para ilmuwan Indonesia diharapkan cepat merampungkan kuliah dan langsung mempraktikkan pengetahuan barunya di Indonesia.
Teknologi, seperti diucapkan Heri, berubah cepat. Indonesia mesti berpacu, bersiap dengan cepat jika tak mau tertinggal. (agk/sip)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.