Menhan Pantau Transfer Teknologi Jet Tempur Korsel-Indonesia
Miniatur pesawat KFX/IFX (CNN) ☆
Menteri Pertahanan Ryamizard Rycudu menyatakan akan terus memantau proses transfer teknologi terkait proyek pengembangan pesawat tempur Korea Fighter Xperiment/Indonesia Fighter Xperiment (KF-X/IF-X) yang kini dikerjakan Korea Selatan bersama Indonesia.
“Bulan ini saya mau cek. Saya mau tahu langsung. Transfer teknologi harus berjalan sampai Indonesia mampu membuat (pesawat tempur) sendiri,” kata Ryamizard di Jakarta.
Sementara itu, Korea Selatan dan Indonesia telah mulai menggelar pembicaraan trilateral dengan Amerika Serikat, pekan terakhir Februari, terkait transfer teknologi jet tempur dari raksasa dirgantara AS, Lockheed Martin.
Perusahaan dirgantara Korea Selatan, Korea Aerspace Industries, memiliki sejarah kerja sama dengan Lockheed Martin dalam mengembangkan pesawat buatan mereka sebelum ini, yakni jet tempur ringan T-50 Golden Eagle yang kini juga dimiliki TNI Angkatan Udara. T-50 ‘diracik’ dari teknologi F-16 Fighting Falcon milik Lockheed.
Lockheed Martin sempat menjanjikan kepada Korea Aerospace Industries untuk mentransfer sejumlah teknologi bagi KF-X/IF-X.
Janji itu bagian dari kesepakatan pembelian 40 unit pesawat tempur siluman F-35 Lighting II buatan Lockheed oleh Korea Selatan.
Namun pemerintah AS kemudian keberatan dengan langkah Lockheed hendak mentransfer teknologi inti jet tempur kepada Korea Selatan. Negosiasi pun digelar antara AS, Korea Selatan, dan Indonesia.
“Dalam pembicaraan trilateral itu, delegasi Indonesia antara lain dari Kementerian Pertahanan RI dan PT Dirgantara Indonesia,” kata Kepala Program KF-X/IF-X PTDI, Heri Yansyah, kepada CNNIndonesia.com.
Perundingan, menurut Heri, kemungkinan membutuhkan waktu lama, tak rampung dalam sekali pertemuan. Apalagi transfer teknologi tingkat tinggi tak mudah dilakukan.
Pada 7 Januari 2016, Jakarta dan Seoul sepakat memulai fase kedua pengerjaan KF-X/IF-X, yakni pembuatan prototipe pesawat. Bertempat di kantor Kementerian Pertahanan RI, pemerintah kedua negara menandatangani kesepakatan berbagi biaya untuk penggarapan fase kedua KF-X/IF-X.
Korea Aerospace Industries dan PT Dirgantara Indonesia juga meneken perjanjian pembagian kerja.
KF-X/IF-X dirancang menjadi pesawat tempur generasi 4,5 yang hanya satu tingkat di bawah jet tempur siluman generasi lima. KF-X/IF-X bakal mengadopsi teknik geometri pesawat siluman.
Nantinya pesawat tempur itu akan diproduksi massal untuk melengkapi armada udara Korea Selatan dan Indonesia.
Jet Tempur RI Buatan 'Sendiri' Mengangkasa 9 Tahun Lagi
"Tak banyak negara yang bisa membuat pesawat, dan tak lebih dari 10 negara yang bisa membuat pesawat tempur.”
Ucapan itu keluar dari mulut Wakil Ketua Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) Republik Indonesia, Eris Herryanto. Mantan penerbang TNI Angkatan Udara yang pernah menjabat Panglima Komando Pertahanan Udara Indonesia dan Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan RI itu lantas menyebutkan nama sejumlah negara.
“Amerika Serikat, Brasil, konsorsium Eropa (Jerman, Inggris, Italia, Spanyol), Perancis, Rusia, Swedia, China –bekerja sama dengan Pakistan,” kata Eris saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, Selasa (9/2).
“Jepang, sebentar lagi,” imbuh Eris. Baru 28 Januari lalu Negeri Sakura memamerkan perdana pesawat tempur siluman X-2 karya mereka sendiri yang diuji terbang bulan Februari dan diuji lanjutan pada Maret.
Kini Indonesia hendak masuk deretan negara elite pembuat pesawat tempur tersebut. Tak tanggung-tanggung, Indonesia bekerja sama dengan Korea Selatan akan menciptakan jet tempur generasi 4,5 dengan kemampuan hampir setara dengan pesawat tempur siluman (stealth fighter) generasi 5.
Korea Fighter Xperiment/Indonesia Fighter Xperiment (KF-X/IF-X) direncanakan bakal menandingi kehebatan Dassault Rafale produksi Perancis, Eurofighter Typhoon buatan konsorsium Eropa, F/A-18 Super Hornet dan F-16 Fighting Falcon asal AS, serta Sukhoi Su-30 buatan Rusia.
Jakarta dan Seoul menandatangani kontrak cost share agreement atau kesepakatan berbagi biaya untuk mewujudkan KF-X/IF-X yang ditargetkan mengudara sembilan tahun lagi.
Kolaborasi antarpemerintah kedua negara diperkuat dengan kerja sama konkret melalui skema business to business antara PT Dirgantara Indonesia (PTDI) dengan Korea Aerospace Industries (KAI) yang menyertakan kesepakatan transfer teknologi.
“Mulai tahun ini sampai 2019, kami buat prototipe bersama Korea. Lalu akan kami uji terbang di Korea dan Indonesia karena kedua negara punya kondisi alam dan geografis yang berbeda. Tahun 2020 mulai produksi, tahun 2025 pesawat beroperasi,” kata Direktur Utama PTDI Budi Santoso di markas PTDI, Bandung, Jawa Barat.
Dalam pembuatan prototipe pesawat tempur multiperan itu, menurut Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertahanan Anne Kusmayati, PTDI akan membuat sayap, penguat di bagian bawah sayap, dan ekor.
Nantinya untuk tiap pesawat tempur K-FX/I-FX yang diproduksi, PTDI akan tetap membuat komponen-komponen tersebut. Itu sebabnya untuk menunjang penggarapan, PTDI membuat hanggar composing.
Untuk merealisasikan pesawat tempur idaman kedua negara, Indonesia menyumbang 20 persen pembiayaan, sedangkan 80 persen anggaran berasal dari Korea Selatan. Format international joint development ini dipilih untuk mengurangi risiko finansial maupun pengembangan proyek.
Pengerjaan jet tempur KF-X/IF-X akan dipusatkan di Sacheon, Provinsi Gyeongsang Selatan, Korea Selatan –kota yang menjadi lokasi markas dan pabrik utama Korea Aerospace Industries.
Sebanyak 200 insinyur Indonesia secara bertahap berangkat ke Sacheon selama satu-dua tahun ini. Mula-mula mereka akan merancang desain pesawat. Para insinyur itu juga akan ikut mendesain seluruh komponen pesawat.
Dari total pekerja kedua negara yang terlibat pembuatan KF-X/IF-X, 30 persen lebih berasal dari Indonesia dan mayoritas sisanya dari Korea Selatan. Ini pula alasan pembuatan pesawat dipusatkan di Sacheon, bukan di Indonesia.
Proporsi 30 persen lebih insinyur Indonesia yang terlibat pengerjaan KF-X/IF-X itu sesungguhnya bertambah dari jumlah semula sebanyak 20 persen. Penambahan pekerja Indonesia itu terjadi seiring berjalannya waktu penggarapan.
“Itu menandakan insinyur Indonesia diperhitungkan Korea. Bahkan ada paket pekerjaan yang satu teknologinya hanya dimiliki orang Indonesia. Dia doktor dari ITB (Institut Teknologi Bandung), satu-satunya yang memiliki kemampuan inlight design. Jadi Korea tak memandang enteng Indonesia,” kata Anne.
Harus berhasil
Pemerintah Indonesia dan Korea Selatan sama-sama bertekad menyukseskan program pembuatan jet tempur KF-X/IF-X ini. Masing-masing negara punya kepentingan atas proyek yang diinisasi oleh Korea Selatan itu.
“Indonesia memang harus buat pesawat tempur karena Indonesia ini negara besar, nomor tiga terbesar di dunia dengan daratan dan lautan begitu luasnya. Tentu harus punya kemampuan laut dan udara yang andal. Harus,” kata Menteri Pertahanan RI Ryamizard Ryacudu saat menghadiri penandatanganan kontrak kerja sama Indonesia-Korea Selatan di kantor Kementerian Pertahanan, Jakarta, 7 Januari.
“Kalau tak dimulai dari sekarang, kapan lagi Indonesia bisa membuat (pesawat tempur). Kalau membeli, semua bisa. Kalau membuat kan tidak semua bisa,” ujar Ryamizard yang bulan Maret dijadwalkan ke Rusia untuk menandatangani kontrak pembelian Sukhoi Su-35 sebagai bagian dari modernisasi armada Angkatan Udara RI.
Ryamizard menargetkan memiliki sedikitnya dua skuadron KF-X/IF-X untuk memenuhi kebutuhan TNI AU. Satu skuadron bisa terdiri dari 12 sampai 24 pesawat. Total sekitar 50 unit pesawat yang diincar Indonesia.
“Pesawat kesatu dan kedua dibuat di Korea Selatan. Selanjutnya pembuatan pesawat ketiga akan dilakukan di Indonesia, dengan pengerjaan melibatkan 80 persen orang Indonesia,” kata Ryamizard.
Korea Selatan sebagai pihak yang menginisiasi proyek tersebut gembira dengan kerja sama antara negaranya dan Indonesia. Korsel pertama kali mengumumkan rencana mereka membuat pesawat tempur Maret 2001, saat Presiden Kim Dae-jung berpidato pada upacara kelulusan Akademi Angkatan Udara Korea.
“Ini titik awal kerja sama ilmuwan Indonesia dan Korea Selatan. Saya bertanggung jawab penuh dan optimistis proyek ini akan sukses,” kata Kepala Administrasi Program Akuisisi Pertahanan Korea Selatan, Chang Myoung-jin.
Demi keberhasilan KF-X/IF-X, Korea Selatan mengeluarkan anggaran tak sedikit, bahkan termasuk yang terbesar sepanjang sejarah Negeri Ginseng.
“Proyek ini menghabiskan biaya paling besar. Kami tak membatasi kapasitas kami demi kesuksesan KF-X/IF-X,” ujar Chang.
Dana yang digelontorkan Indonesia untuk KF-X/IF-X, Rp 18 triliun atau setara 1,65 triliun Won (US$ 1,3 miliar), ialah 20 persen dari total anggaran 8,6 triliun Won untuk pembuatan prototipe pesawat.
Sama seperti Korea Selatan, Indonesia rela merogoh kocek untuk mengegolkan KF-X/IF-X. Mengambil alokasi anggaran Kementerian Pertahanan, Indonesia menyuntikkan 20 persen dana dari total biaya yang dibutuhkan untuk tiap tahap pembuatan KF-X/IF-X.
“Untuk tahap EMD (engineering manufacturing development) saat ini dibutuhkan sedikitnya 8,3 triliun Won,” kata Anne.
Kerja sama KF-X/IF-X antara Korea Selatan dan Indonesia yang dimulai tahun 2009 pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Lee Myung-bak ini sesungguhnya sempat tertunda.
Pada September 2015, Ryamizard menyatakan menunda kerja sama pembuatan KF-X/IF-X. Wakil Presiden RI Jusuf Kalla dalam kunjungannya ke Korea Selatan juga mengatakan proyek KF-X/IF-X ditunda.
Kala itu Ryamizard berkata, KF-X/IF-X –yang sudah melewati tahap pengembangan teknologi oleh kedua negara, dengan Rp 600 miliar telah dikucurkan Indonesia untuk kepentingan riset teknologi– bukan prioritas.
Ada tiga fase pembuatan KF-X/IF-X, yaitu pengembangan teknologi atau pengembangan konsep (technology development), pengembangan rekayasa manufaktur atau pengembangan prototipe (engineering manufacturing development), dan terakhir proses produksi massal.
Saat Ryamizard menyampaikan penundaan kerja sama itu, proyek KF-X/IF-X telah merampungkan fase pengembangan konsep dan hendak memasuki fase pengembangan rekayasa manufaktur.
Tak pelak pengumuman penundaan proyek KF-X/IF-X mengejutkan berbagai pihak, termasuk anggota Komisi Pertahanan DPR Tantowi Yahya. Ia menyayangkan terjadi penundaan sementara Indonesia telah menanamkan investasi untuk KF-X/IF-X.
Sebulan kemudian, Oktober 2015, Presiden Korea Selatan Park Geun-hye memerintahkan lembaga pengadaan pertahanan negaranya, Defence Acquisition Program Administration (DAPA), memastikan proyek pengembangan pesawat tempur mereka terlaksana sesuai jangka waktu yang telah ditetapkan.
Yonhap News Agency, kantor berita Korea Selatan, ketika itu melaporkan proyek KF-X mengalami kemunduran karena pemerintah Amerika Serikat menolak untuk mentransfer empat dari 25 teknologi yang semula ditawarkan perusahaan raksasa pertahanan AS Lockheed Martin ke Korsel.
Penawaran Lockheed Martin itu merupakan bagian dari kesepakatan pembelian 40 unit jet tempur siluman F-35 Lightning II buatan perusahaan itu oleh Korea Selatan.
Empat teknologi inti Lockheed Martin yang dilarang ditransfer oleh AS itu ialah radar pindai elektronik aktif, pelacak dan pencari inframerah, optik elektronik targeting pod, dan penghambat frekuensi radio (jammer).
Namun kendala transfer teknologi tersebut tak menyurutkan ambisi Korea Selatan mewujudkan pesawat tempur mereka. Penasihat Keamanan Nasional Korsel Kim Kwan-jin mengatakan Negeri Ginseng dapat mengembangkan sendiri keempat teknologi inti itu. DAPA pun berencana mencari bantuan teknis dari Israel, Inggris, dan Swedia untuk mengembangkan radar.
Maka meski sempat terhambat, Seoul dan Jakarta terus mencoba mempersiapkan rincian pengerjaan proyek menuju fase kedua KF-X/IF-X, yakni pengembangan rekayasa manufaktur atau pembuatan prototipe.
Terobosan terjadi Desember 2015. Korea Aerospace Industries menandatangani kontrak dengan DAPA, dan kesepakatan penting tercapai antara AS dan Korea Selatan. AS akhirnya mengizinkan transfer teknologi untuk proyek KF-X/IF-X meski detail final belum diputuskan.
Satu demi satu pemecahan masalah tersebut akhirnya berujung pada penandatanganan cost share agreement antara Indonesia dan Korea Selatan di Jakarta pada 7 Januari. Kontrak diteken oleh Direktur Jenderal Potensi Pertahanan Kementerian Pertahanan RI Timbul Siahaan dan CEO Korea Aerospace Ha Sung-yong.
Selain cost share agreement, perjanjian penugasan pekerjaan atau work assignment agreement ditandatangani antara CEO Korea Aerospace Industries Ha Sung-yong dan Direktur Utama PT Dirgantara Indonesia Budi Santoso.
Penandatanganan kesepakatan tersebut disaksikan oleh Menteri Pertahanan RI Ryamizard Ryacudu dan Kepala Defence Acquisition Program Administration Korea Selatan Chang Myoung-jin.
KF-X/IF-X bukan proyek main-main. Kedua negara mengerahkan sumber daya dan pendanaan optimal. Ilmuwan-ilmuwan terbaik Indonesia dan Korea Selatan akan bekerja sama erat selama 10 tahun di bawah satu atap.
“Jika sudah rampung, pesawat-pesawat F-16 dan Sukhoi yang sekarang dimiliki Indonesia, nanti kalah semua oleh KF-X/IF-X,” ujar Eris.
Menteri Pertahanan Ryamizard Rycudu menyatakan akan terus memantau proses transfer teknologi terkait proyek pengembangan pesawat tempur Korea Fighter Xperiment/Indonesia Fighter Xperiment (KF-X/IF-X) yang kini dikerjakan Korea Selatan bersama Indonesia.
“Bulan ini saya mau cek. Saya mau tahu langsung. Transfer teknologi harus berjalan sampai Indonesia mampu membuat (pesawat tempur) sendiri,” kata Ryamizard di Jakarta.
Sementara itu, Korea Selatan dan Indonesia telah mulai menggelar pembicaraan trilateral dengan Amerika Serikat, pekan terakhir Februari, terkait transfer teknologi jet tempur dari raksasa dirgantara AS, Lockheed Martin.
Perusahaan dirgantara Korea Selatan, Korea Aerspace Industries, memiliki sejarah kerja sama dengan Lockheed Martin dalam mengembangkan pesawat buatan mereka sebelum ini, yakni jet tempur ringan T-50 Golden Eagle yang kini juga dimiliki TNI Angkatan Udara. T-50 ‘diracik’ dari teknologi F-16 Fighting Falcon milik Lockheed.
Lockheed Martin sempat menjanjikan kepada Korea Aerospace Industries untuk mentransfer sejumlah teknologi bagi KF-X/IF-X.
Janji itu bagian dari kesepakatan pembelian 40 unit pesawat tempur siluman F-35 Lighting II buatan Lockheed oleh Korea Selatan.
Namun pemerintah AS kemudian keberatan dengan langkah Lockheed hendak mentransfer teknologi inti jet tempur kepada Korea Selatan. Negosiasi pun digelar antara AS, Korea Selatan, dan Indonesia.
“Dalam pembicaraan trilateral itu, delegasi Indonesia antara lain dari Kementerian Pertahanan RI dan PT Dirgantara Indonesia,” kata Kepala Program KF-X/IF-X PTDI, Heri Yansyah, kepada CNNIndonesia.com.
Perundingan, menurut Heri, kemungkinan membutuhkan waktu lama, tak rampung dalam sekali pertemuan. Apalagi transfer teknologi tingkat tinggi tak mudah dilakukan.
Pada 7 Januari 2016, Jakarta dan Seoul sepakat memulai fase kedua pengerjaan KF-X/IF-X, yakni pembuatan prototipe pesawat. Bertempat di kantor Kementerian Pertahanan RI, pemerintah kedua negara menandatangani kesepakatan berbagi biaya untuk penggarapan fase kedua KF-X/IF-X.
Korea Aerospace Industries dan PT Dirgantara Indonesia juga meneken perjanjian pembagian kerja.
KF-X/IF-X dirancang menjadi pesawat tempur generasi 4,5 yang hanya satu tingkat di bawah jet tempur siluman generasi lima. KF-X/IF-X bakal mengadopsi teknik geometri pesawat siluman.
Nantinya pesawat tempur itu akan diproduksi massal untuk melengkapi armada udara Korea Selatan dan Indonesia.
Jet Tempur RI Buatan 'Sendiri' Mengangkasa 9 Tahun Lagi
"Tak banyak negara yang bisa membuat pesawat, dan tak lebih dari 10 negara yang bisa membuat pesawat tempur.”
Ucapan itu keluar dari mulut Wakil Ketua Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) Republik Indonesia, Eris Herryanto. Mantan penerbang TNI Angkatan Udara yang pernah menjabat Panglima Komando Pertahanan Udara Indonesia dan Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan RI itu lantas menyebutkan nama sejumlah negara.
“Amerika Serikat, Brasil, konsorsium Eropa (Jerman, Inggris, Italia, Spanyol), Perancis, Rusia, Swedia, China –bekerja sama dengan Pakistan,” kata Eris saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, Selasa (9/2).
“Jepang, sebentar lagi,” imbuh Eris. Baru 28 Januari lalu Negeri Sakura memamerkan perdana pesawat tempur siluman X-2 karya mereka sendiri yang diuji terbang bulan Februari dan diuji lanjutan pada Maret.
Kini Indonesia hendak masuk deretan negara elite pembuat pesawat tempur tersebut. Tak tanggung-tanggung, Indonesia bekerja sama dengan Korea Selatan akan menciptakan jet tempur generasi 4,5 dengan kemampuan hampir setara dengan pesawat tempur siluman (stealth fighter) generasi 5.
Korea Fighter Xperiment/Indonesia Fighter Xperiment (KF-X/IF-X) direncanakan bakal menandingi kehebatan Dassault Rafale produksi Perancis, Eurofighter Typhoon buatan konsorsium Eropa, F/A-18 Super Hornet dan F-16 Fighting Falcon asal AS, serta Sukhoi Su-30 buatan Rusia.
Jakarta dan Seoul menandatangani kontrak cost share agreement atau kesepakatan berbagi biaya untuk mewujudkan KF-X/IF-X yang ditargetkan mengudara sembilan tahun lagi.
Kolaborasi antarpemerintah kedua negara diperkuat dengan kerja sama konkret melalui skema business to business antara PT Dirgantara Indonesia (PTDI) dengan Korea Aerospace Industries (KAI) yang menyertakan kesepakatan transfer teknologi.
“Mulai tahun ini sampai 2019, kami buat prototipe bersama Korea. Lalu akan kami uji terbang di Korea dan Indonesia karena kedua negara punya kondisi alam dan geografis yang berbeda. Tahun 2020 mulai produksi, tahun 2025 pesawat beroperasi,” kata Direktur Utama PTDI Budi Santoso di markas PTDI, Bandung, Jawa Barat.
Dalam pembuatan prototipe pesawat tempur multiperan itu, menurut Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertahanan Anne Kusmayati, PTDI akan membuat sayap, penguat di bagian bawah sayap, dan ekor.
Nantinya untuk tiap pesawat tempur K-FX/I-FX yang diproduksi, PTDI akan tetap membuat komponen-komponen tersebut. Itu sebabnya untuk menunjang penggarapan, PTDI membuat hanggar composing.
Untuk merealisasikan pesawat tempur idaman kedua negara, Indonesia menyumbang 20 persen pembiayaan, sedangkan 80 persen anggaran berasal dari Korea Selatan. Format international joint development ini dipilih untuk mengurangi risiko finansial maupun pengembangan proyek.
Pengerjaan jet tempur KF-X/IF-X akan dipusatkan di Sacheon, Provinsi Gyeongsang Selatan, Korea Selatan –kota yang menjadi lokasi markas dan pabrik utama Korea Aerospace Industries.
Sebanyak 200 insinyur Indonesia secara bertahap berangkat ke Sacheon selama satu-dua tahun ini. Mula-mula mereka akan merancang desain pesawat. Para insinyur itu juga akan ikut mendesain seluruh komponen pesawat.
Dari total pekerja kedua negara yang terlibat pembuatan KF-X/IF-X, 30 persen lebih berasal dari Indonesia dan mayoritas sisanya dari Korea Selatan. Ini pula alasan pembuatan pesawat dipusatkan di Sacheon, bukan di Indonesia.
Proporsi 30 persen lebih insinyur Indonesia yang terlibat pengerjaan KF-X/IF-X itu sesungguhnya bertambah dari jumlah semula sebanyak 20 persen. Penambahan pekerja Indonesia itu terjadi seiring berjalannya waktu penggarapan.
“Itu menandakan insinyur Indonesia diperhitungkan Korea. Bahkan ada paket pekerjaan yang satu teknologinya hanya dimiliki orang Indonesia. Dia doktor dari ITB (Institut Teknologi Bandung), satu-satunya yang memiliki kemampuan inlight design. Jadi Korea tak memandang enteng Indonesia,” kata Anne.
Harus berhasil
Pemerintah Indonesia dan Korea Selatan sama-sama bertekad menyukseskan program pembuatan jet tempur KF-X/IF-X ini. Masing-masing negara punya kepentingan atas proyek yang diinisasi oleh Korea Selatan itu.
“Indonesia memang harus buat pesawat tempur karena Indonesia ini negara besar, nomor tiga terbesar di dunia dengan daratan dan lautan begitu luasnya. Tentu harus punya kemampuan laut dan udara yang andal. Harus,” kata Menteri Pertahanan RI Ryamizard Ryacudu saat menghadiri penandatanganan kontrak kerja sama Indonesia-Korea Selatan di kantor Kementerian Pertahanan, Jakarta, 7 Januari.
“Kalau tak dimulai dari sekarang, kapan lagi Indonesia bisa membuat (pesawat tempur). Kalau membeli, semua bisa. Kalau membuat kan tidak semua bisa,” ujar Ryamizard yang bulan Maret dijadwalkan ke Rusia untuk menandatangani kontrak pembelian Sukhoi Su-35 sebagai bagian dari modernisasi armada Angkatan Udara RI.
Ryamizard menargetkan memiliki sedikitnya dua skuadron KF-X/IF-X untuk memenuhi kebutuhan TNI AU. Satu skuadron bisa terdiri dari 12 sampai 24 pesawat. Total sekitar 50 unit pesawat yang diincar Indonesia.
“Pesawat kesatu dan kedua dibuat di Korea Selatan. Selanjutnya pembuatan pesawat ketiga akan dilakukan di Indonesia, dengan pengerjaan melibatkan 80 persen orang Indonesia,” kata Ryamizard.
Korea Selatan sebagai pihak yang menginisiasi proyek tersebut gembira dengan kerja sama antara negaranya dan Indonesia. Korsel pertama kali mengumumkan rencana mereka membuat pesawat tempur Maret 2001, saat Presiden Kim Dae-jung berpidato pada upacara kelulusan Akademi Angkatan Udara Korea.
“Ini titik awal kerja sama ilmuwan Indonesia dan Korea Selatan. Saya bertanggung jawab penuh dan optimistis proyek ini akan sukses,” kata Kepala Administrasi Program Akuisisi Pertahanan Korea Selatan, Chang Myoung-jin.
Demi keberhasilan KF-X/IF-X, Korea Selatan mengeluarkan anggaran tak sedikit, bahkan termasuk yang terbesar sepanjang sejarah Negeri Ginseng.
“Proyek ini menghabiskan biaya paling besar. Kami tak membatasi kapasitas kami demi kesuksesan KF-X/IF-X,” ujar Chang.
Dana yang digelontorkan Indonesia untuk KF-X/IF-X, Rp 18 triliun atau setara 1,65 triliun Won (US$ 1,3 miliar), ialah 20 persen dari total anggaran 8,6 triliun Won untuk pembuatan prototipe pesawat.
Sama seperti Korea Selatan, Indonesia rela merogoh kocek untuk mengegolkan KF-X/IF-X. Mengambil alokasi anggaran Kementerian Pertahanan, Indonesia menyuntikkan 20 persen dana dari total biaya yang dibutuhkan untuk tiap tahap pembuatan KF-X/IF-X.
“Untuk tahap EMD (engineering manufacturing development) saat ini dibutuhkan sedikitnya 8,3 triliun Won,” kata Anne.
Kerja sama KF-X/IF-X antara Korea Selatan dan Indonesia yang dimulai tahun 2009 pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Lee Myung-bak ini sesungguhnya sempat tertunda.
Pada September 2015, Ryamizard menyatakan menunda kerja sama pembuatan KF-X/IF-X. Wakil Presiden RI Jusuf Kalla dalam kunjungannya ke Korea Selatan juga mengatakan proyek KF-X/IF-X ditunda.
Kala itu Ryamizard berkata, KF-X/IF-X –yang sudah melewati tahap pengembangan teknologi oleh kedua negara, dengan Rp 600 miliar telah dikucurkan Indonesia untuk kepentingan riset teknologi– bukan prioritas.
Ada tiga fase pembuatan KF-X/IF-X, yaitu pengembangan teknologi atau pengembangan konsep (technology development), pengembangan rekayasa manufaktur atau pengembangan prototipe (engineering manufacturing development), dan terakhir proses produksi massal.
Saat Ryamizard menyampaikan penundaan kerja sama itu, proyek KF-X/IF-X telah merampungkan fase pengembangan konsep dan hendak memasuki fase pengembangan rekayasa manufaktur.
Tak pelak pengumuman penundaan proyek KF-X/IF-X mengejutkan berbagai pihak, termasuk anggota Komisi Pertahanan DPR Tantowi Yahya. Ia menyayangkan terjadi penundaan sementara Indonesia telah menanamkan investasi untuk KF-X/IF-X.
Sebulan kemudian, Oktober 2015, Presiden Korea Selatan Park Geun-hye memerintahkan lembaga pengadaan pertahanan negaranya, Defence Acquisition Program Administration (DAPA), memastikan proyek pengembangan pesawat tempur mereka terlaksana sesuai jangka waktu yang telah ditetapkan.
Yonhap News Agency, kantor berita Korea Selatan, ketika itu melaporkan proyek KF-X mengalami kemunduran karena pemerintah Amerika Serikat menolak untuk mentransfer empat dari 25 teknologi yang semula ditawarkan perusahaan raksasa pertahanan AS Lockheed Martin ke Korsel.
Penawaran Lockheed Martin itu merupakan bagian dari kesepakatan pembelian 40 unit jet tempur siluman F-35 Lightning II buatan perusahaan itu oleh Korea Selatan.
Empat teknologi inti Lockheed Martin yang dilarang ditransfer oleh AS itu ialah radar pindai elektronik aktif, pelacak dan pencari inframerah, optik elektronik targeting pod, dan penghambat frekuensi radio (jammer).
Namun kendala transfer teknologi tersebut tak menyurutkan ambisi Korea Selatan mewujudkan pesawat tempur mereka. Penasihat Keamanan Nasional Korsel Kim Kwan-jin mengatakan Negeri Ginseng dapat mengembangkan sendiri keempat teknologi inti itu. DAPA pun berencana mencari bantuan teknis dari Israel, Inggris, dan Swedia untuk mengembangkan radar.
Maka meski sempat terhambat, Seoul dan Jakarta terus mencoba mempersiapkan rincian pengerjaan proyek menuju fase kedua KF-X/IF-X, yakni pengembangan rekayasa manufaktur atau pembuatan prototipe.
Terobosan terjadi Desember 2015. Korea Aerospace Industries menandatangani kontrak dengan DAPA, dan kesepakatan penting tercapai antara AS dan Korea Selatan. AS akhirnya mengizinkan transfer teknologi untuk proyek KF-X/IF-X meski detail final belum diputuskan.
Satu demi satu pemecahan masalah tersebut akhirnya berujung pada penandatanganan cost share agreement antara Indonesia dan Korea Selatan di Jakarta pada 7 Januari. Kontrak diteken oleh Direktur Jenderal Potensi Pertahanan Kementerian Pertahanan RI Timbul Siahaan dan CEO Korea Aerospace Ha Sung-yong.
Selain cost share agreement, perjanjian penugasan pekerjaan atau work assignment agreement ditandatangani antara CEO Korea Aerospace Industries Ha Sung-yong dan Direktur Utama PT Dirgantara Indonesia Budi Santoso.
Penandatanganan kesepakatan tersebut disaksikan oleh Menteri Pertahanan RI Ryamizard Ryacudu dan Kepala Defence Acquisition Program Administration Korea Selatan Chang Myoung-jin.
KF-X/IF-X bukan proyek main-main. Kedua negara mengerahkan sumber daya dan pendanaan optimal. Ilmuwan-ilmuwan terbaik Indonesia dan Korea Selatan akan bekerja sama erat selama 10 tahun di bawah satu atap.
“Jika sudah rampung, pesawat-pesawat F-16 dan Sukhoi yang sekarang dimiliki Indonesia, nanti kalah semua oleh KF-X/IF-X,” ujar Eris.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.