Indonesia Hendak Beri Efek GentarInfografis pesawat tempur KFX/IFX (CNN)☆
The most broken up nation in the world. Itulah salah satu julukan Soekarno untuk Indonesia. Dengan 14 ribu lebih pulau berserak dan panjang garis pantai 99 ribu kilometer, Indonesia menjadi negara kepulauan terbesar di dunia yang secara maritim berbatasan dengan Singapura, Malaysia, Filipina, Palau, dan Australia.
“Indonesia merupakan negara besar dengan daratan dan lautan begitu luasnya. Tentu harus punya kemampuan laut dan udara yang andal. Harus,” kata Menteri Pertahanan RI Ryamizard Ryacudu usai menyaksikan penandatanganan kontrak kerja sama pembuatan protipe pesawat tempur Korea Fighter Xperiment/Indonesia Fighter Xperiment (KF-X/IF-X) antara Indonesia dan Korea Selatan di Jakarta, 7 Januari.
Kekuatan mumpuni di laut dan udara sebagai negara maritim itu menjadi salah satu alasan pemerintah Republik Indonesia mendukung proyek pengembangan jet tempur siluman (stealth fighter) KF-X/IF-X yang diinisiasi Korea Selatan.
Ada 1.001 alasan dukungan Indonesia atas KF-X/IF-X. Lima di antaranya untuk memenuhi kebutuhan alat utama sistem senjata (alutsista) TNI Angkatan Udara, membangun kemandirian bangsa, meningkatkan industri pertahanan, mendorong perekonomian nasional, dan memunculkan efek gentar pada kawasan.
Bukan rahasia lagi wilayah udara dan perairan Indonesia yang luas kerap diterobos oleh pesawat dan kapal asing. Maka jika Indonesia telah menguasai teknologi pengembangan dan upgrading pesawat tempur, kedaulatan RI diharapkan lebih terjaga.
“Ini (memiliki teknologi pesawat tempur) jelas detterent effect buat negara-negara tetangga Indonesia, bahwa Indonesia sudah mampu mengembangkan dan upgrading pesawat tempur yang state of the art secara teknologi. Artinya, nanti (semua pesawat tempur milik Indonesia) akan memakai teknologi yang selalu terbarukan,” kata Kepala Program KF-X/IF-X PT Dirgantara Indonesia Heri Yansyah, dalam wawancara dengan CNNIndonesia.com, Jumat (19/2).
Menguasai teknologi jet tempur, tegas Heri, tak berhubungan dengan niat menyerang. “Ini bukan soal menyerang, tapi membuat negara-negara lain berpikir kalau mau bermaksud buruk kepada Indonesia. Itu targetnya.”
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertahanan RI Anne Kusmayati menyatakan Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) telah menetapkan tujuh program nasional untuk membangun kemandirian industri pertahanan.
Ketujuh program nasional itu ialah pengembangan jet tempur KF-X/IF-X, pembangunan kapal selam, pembangunan industri propelan, pengembangan roket, pengembangan rudal, pengembangan radar, dan pengembangan tank sedang serta berat.
KKIP sendiri merupakan komite yang mewakili pemerintah RI untuk mengoordikasikan kebijakan nasional dalam perencanaan, perumusan, pelaksanaan, pengendalian, sinkronisasi, dan evaluasi industri pertahanan. KKIP diketuai langsung oleh Presiden.
KKIP dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2013 yang ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Melalui KKIP, Indonesia hendak membangun pertahanan negara yang kuat, maju, dan mandiri melalui dukungan industri pertahanan dalam negeri yang tangguh.
Kapok diembargo
Wakil Ketua KKIP Eris Herryanto mengatakan Indonesia bercita-cita dapat memenuhi alutsista secara mandiri karena, antara lain, punya pengalaman buruk diembargo 10 tahun oleh Amerika Serikat.
“Dari 1995 sampai 2005, Indonesia diembargo oleh Amerika. Sepuluh tahun diembargo, kerusakannya sangat besar terhadap kekuatan tempur Indonesia. Kesiapan Indonesia merosot tajam karena tidak boleh beli suku cadang dan segala macam,” ujar mantan penerbang TNI Angkatan Udara itu.
Pada periode itu, AS tidak mau memberikan suku cadang yang diperlukan Indonesia untuk meremajakan pesawat-pesawat TNI yang dibeli dari negeri itu. AS juga menyetop penjualan senjata ke Indonesia.
AS saat itu menerapkan embargo militer dengan alasan Indonesia melakukan pelanggaran hak asasi manusia dalam kerusuhan di Dili, Timor Timur (kini Timor Leste), pada 12 November 1991 ketika sejumlah demonstran ditembaki tentara Indonesia.
“Puncak embargo 26 Desember 2004 saat tsunami menghantam Aceh. Mestinya TNI membantu masyarakat Aceh, tapi saat itu hanya ada satu pesawat Hercules yang siap. Walau ada pesawat lainnya, tapi tidak siap karena dampak dari embargo itu,” kata Eris.
Pengalaman pahit itu, menurut Eris, menjadi salah satu landasan pemikiran bahwa Indonesia di masa depan harus punya peralatan yang bisa didukung oleh negara ini sendiri, tak tergantung pada pihak asing. “Intinya, mandiri.”
Kemandirian industri pertahanan, kata Eris, juga dapat mendorong perekonomian nasional secara signifikan, sebab produksi alutsista akan menyerap tenaga kerja dan memutar roda ekonomi. Penjualan alutsista akhirnya menjadi sumber pemasukan bagi negara.
“Kalau kita lihat Amerika, 60 persen lebih ekonominya didukung oleh industri pertahanan,” ujar mantan Panglima Komando Pertahanan Nasional RI itu.
Indonesia, kata Eris, saat ini pun mulai menggerakkan industri pertahanannya. “Indonesia sudah menjual ke Filipina kapal SSV (strategic sealift vessel) yang diluncurkan 18 Januari kemarin. Kapal hasil kerja BUMN (PT PAL Indonesia) itu diekspor. Ekonomi negara jadi terbantu dari PT PAL.”
Ini kali pertama Indonesia mengekspor kapal perang. Satu unit kapal SSV buatan PT PAL dihargai US$ 45 juta. Kapal yang terdiri dari 621 kamar itu bisa melaju dengan kecepatan 16 knot, mampu berlayar tanpa mengisi bahan bakar selama tiga hari, dan dilengkapi meriam sesuai pesanan Filipina.
Berbekal visi mandiri itu, Indonesia melihat tawaran Korea Selatan untuk bersama-sama mengembangkan pesawat tempur sebagai kesempatan bagus.
“Indonesia bayar 20 persen dari total biaya yang dibutuhkan, tapi bisa dapat 90 persen teknologi,” kata Direktur Utama PTDI Budi Santoso.
Ada perbedaan misi Indonesia dan Korea Selatan mengembangkan pesawat tempur. “Korea Selatan tentu berpikir soal (konfliknya dengan) Korea Utara, Indonesia beda lagi,” kata Budi.
Tujuan utama Indonesia ialah agar dapat melakukan upgrading atau peningkatan teknologi pada seluruh pesawat yang dimiliki TNI. Dengan demikian, semua armada udara Indonesia akan selalu menggunakan teknologi terbarukan.
“Sebab meski mesin dan struktur badan pesawat bisa bertahan sampai 20-40 tahun, sistem elektroniknya mesti di-upgrade ini dan itu,” ujar Direktur Teknologi dan Pengembangan PTDI, Andi Alisjahbana.
Beda motivasi Indonesia dan Korea Selatan ditambah perbedaan kondisi lapangan kedua negara, membuat dua belah pihak perlu waktu cukup panjang untuk menyamakan persepsi hingga berujung pada penandatanganan kontrak tahap kedua proyek KF-X/IF-X, yakni pembuatan prototipe pesawat.
“Ini titik awal kerja sama ilmuwan Indonesia dan Korea Selatan. Saya bertanggung jawab penuh dan optimistis proyek ini akan sukses,” kata Kepala Administrasi Program Akuisisi Pertahanan Korea Selatan, Chang Myoung-jin, sesaat setelah meneken kontrak kerja sama dengan Indonesia di Jakarta.
Kisah Embargo AS dan Sukhoi Rusia di Balik Jet Tempur RI
Indonesia membeli pesawat Sukhoi buatan Rusia pada tahun kedelapan masa embargo Amerika Serikat, yakni 2013. (CNN Indonesia/Safir Makki)
“Presiden Soekarno berpesan, bangsa Indonesia harus menguasai teknologi udara dan maritim. Apalagi Indonesia bangsa yang besar. Kalau mau bertahan, jelas mesti kuat pertahanan udaranya.”
Direktur Teknologi dan Pengembangan PT Dirgantara Indonesia, Andi Alisjahbana, melontarkan hal itu dalam wawancaranya dengan CNNIndonesia.com, Jumat (19/2).
“Lalu kenapa harus mengembangkan jet tempur? Tentu karena itu salah satu alat tempur utama di udara. Yang menentukan menang-tidaknya Sekutu atau Jepang dalam Perang Dunia II adalah pertempuran maritim dan udara,” ujar Andi.
Mencapai kemandirian menjadi kata kunci. Jika hanya membeli persenjataan dari negara lain, kata Andi, sudah pasti Indonesia akan tergantung pada negara itu. Terlebih jika menyangkut alat utama sistem senjata (alutsista) berteknologi tinggi.
“Beli senjata ke Amerika, ya akan tergantung kepada Amerika. Kalau hubungan Indonesia dengan Amerika sedang baik, tak apa-apa. Tapi kalau tiba-tiba bermasalah lalu diembargo, jadi tidak ada dukungan persenjataan,” kata Andi.
Hal itu pernah terjadi pada 1995 sampai 2005 saat Indonesia diembargo militer oleh Amerika Serikat. AS menyetop penjualan senjata, termasuk tak mau memberikan suku cadang yang diperlukan Indonesia untuk meremajakan pesawat-pesawat TNI yang dibeli dari mereka.
Embargo ketika itu dijatuhkan lantaran Negeri Paman Sam menuduh Indonesia melanggar hak asasi manusia dengan menembaki demonstran di Dili, Timor Timur (kini Timor Leste), pada 12 November 1991.
Sepuluh tahun embargo AS, ujar Andi, membuat kekuatan tempur udara Republik Indonesia mengalami kemerosotan tajam. Banyak pesawat tempur TNI Angkatan Udara harus di-grounded lantaran tak punya suku cadang.
Hal itu misalnya menimpa setengah lusin F-16 Fighting Falcon, sejumlah armada F-5 Tiger, sampai pesawat angkut militer C-130 Hercules yang seluruhnya buatan AS. Lebih parah lagi, beberapa pesawat Hawk 109/209 buatan Inggris –sekutu AS– yang dimiliki TNI juga ikut terkena embargo.
Embargo membuat banyak pesawat militer RI tak bisa diterbangkan sekalipun kondisinya baik, bahkan tergolong baru. Alhasil sia-sia saja memiliki armada tempur jika banyak yang tak bisa digunakan untuk menjaga kedaulatan wilayah Indonesia.
Sistem pengaman
Indonesia lantas mencari akal. Tahun 2003, tahun kedelapan masa embargo AS, pemerintah RI membeli pesawat Sukhoi dari Rusia –negara di kubu berseberangan dengan AS. Indonesia pun kini memiliki satu skuadron lengkap Sukhoi.
“Apa yang dilakukan Indonesia ketika itu seperti membuat dua sistem: satu tergantung kepada Amerika, satu kepada Rusia. Ada Sukhoi, ada F-16 (buatan AS). Kalau Amerika mengembargo sehingga F-16 tidak bisa terbang, masih ada Sukhoi,” kata Andi.
Sesungguhnya embargo militer merugikan AS sendiri. Perusahaan-perusahaan negara adidaya itu yang bergerak di industri penerbangan jadi kehilangan salah satu pasar potensial. Mereka tak bisa menjual alutsista dan suku-suku cadang kepada Indonesia.
Embargo akhirnya dicabut tahun 2005. Namun Indonesia tetap mempertahankan dua sistem tersebut sebagai “tali pengaman.”
Target Indonesia selanjutnya adalah menjaga kesinambungan alat-alat tempur yang dimiliki dalam keadaan krisis.
“Ini yang paling utama. Indonesia berhak untuk mempertahankan diri dari ancaman luar,” ujar Andi.
Tahap berikutnya ialah mencapai kemandirian. “Masih panjang perjalanan Indonesia untuk mandiri. Tapi setidaknya negara ini bisa bertahan dalam keadaan krisis. Semisal ada pertempuran sampai 10 tahun, minimal pesawat Indonesia tidak kehabisan peluru dan suku cadang. Di situ letak kesinambungannya,” kata Andi.
Kesinambungan dan kemandirian tersebut terkait erat satu sama lain. Untuk mencapai kedua hal itu, Indonesia –setelah serangkaian proses– menerima tawaran Korea Selatan untuk bersama-sama mengembangkan teknologi pesawat tempur Korea Fighter Xperiment/Indonesia Fighter Xperiment (KF-X/IF-X).
"Korea antusias dan percaya dengan Indonesia," ujar Andi.
Wakil Ketua Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) Eris Herryanto mengatakan, tak mudah bagi Indonesia dan Korea Selatan untuk sampai pada tahap kerja sama seperti sekarang ini.
Perbedaan sistem, perbedaan tujuan, dan perbedaan posisi dalam mendapat teknologi, membuat Jakarta dan Seoul mesti saling berkompromi dan menyamakan persepsi.
Kesulitan juga terletak pada teknologi Amerika Serikat, yakni perusahaan dirgantara AS Lockheed Martin, yang direncanakan digunakan untuk mengembangkan jet KF-X/IF-X.
“Tingkat pertemanan Amerika dengan Indonesia mungkin berbeda dibanding Amerika dengan Korea. Perbedaan posisi itu bisa berpengaruh saat membuat perjanjian. Tapi Korea mau menyatukan sikap dengan Indonesia. Ini indikasi kerja sama berjalan baik,” kata Andi.
Kepala Program KF-X/IF-X PT Dirgantara Indonesia, Heri Yansyah, menyatakan yang terpenting dari seluruh proses dan upaya yang berlangsung saat ini ialah penguasaan atas teknologi upgrading atau pemutakhiran, sehingga semua pesawat tempur yang dimiliki Indonesia nantinya selalu dilengkapi teknologi terbarukan.
Teknologi adalah kunci menuju kesinambungan dan kemandirian, serta “tali pengaman” yang lebih sempurna. (agk/sip)
The most broken up nation in the world. Itulah salah satu julukan Soekarno untuk Indonesia. Dengan 14 ribu lebih pulau berserak dan panjang garis pantai 99 ribu kilometer, Indonesia menjadi negara kepulauan terbesar di dunia yang secara maritim berbatasan dengan Singapura, Malaysia, Filipina, Palau, dan Australia.
“Indonesia merupakan negara besar dengan daratan dan lautan begitu luasnya. Tentu harus punya kemampuan laut dan udara yang andal. Harus,” kata Menteri Pertahanan RI Ryamizard Ryacudu usai menyaksikan penandatanganan kontrak kerja sama pembuatan protipe pesawat tempur Korea Fighter Xperiment/Indonesia Fighter Xperiment (KF-X/IF-X) antara Indonesia dan Korea Selatan di Jakarta, 7 Januari.
Kekuatan mumpuni di laut dan udara sebagai negara maritim itu menjadi salah satu alasan pemerintah Republik Indonesia mendukung proyek pengembangan jet tempur siluman (stealth fighter) KF-X/IF-X yang diinisiasi Korea Selatan.
Ada 1.001 alasan dukungan Indonesia atas KF-X/IF-X. Lima di antaranya untuk memenuhi kebutuhan alat utama sistem senjata (alutsista) TNI Angkatan Udara, membangun kemandirian bangsa, meningkatkan industri pertahanan, mendorong perekonomian nasional, dan memunculkan efek gentar pada kawasan.
Bukan rahasia lagi wilayah udara dan perairan Indonesia yang luas kerap diterobos oleh pesawat dan kapal asing. Maka jika Indonesia telah menguasai teknologi pengembangan dan upgrading pesawat tempur, kedaulatan RI diharapkan lebih terjaga.
“Ini (memiliki teknologi pesawat tempur) jelas detterent effect buat negara-negara tetangga Indonesia, bahwa Indonesia sudah mampu mengembangkan dan upgrading pesawat tempur yang state of the art secara teknologi. Artinya, nanti (semua pesawat tempur milik Indonesia) akan memakai teknologi yang selalu terbarukan,” kata Kepala Program KF-X/IF-X PT Dirgantara Indonesia Heri Yansyah, dalam wawancara dengan CNNIndonesia.com, Jumat (19/2).
Menguasai teknologi jet tempur, tegas Heri, tak berhubungan dengan niat menyerang. “Ini bukan soal menyerang, tapi membuat negara-negara lain berpikir kalau mau bermaksud buruk kepada Indonesia. Itu targetnya.”
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertahanan RI Anne Kusmayati menyatakan Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) telah menetapkan tujuh program nasional untuk membangun kemandirian industri pertahanan.
Ketujuh program nasional itu ialah pengembangan jet tempur KF-X/IF-X, pembangunan kapal selam, pembangunan industri propelan, pengembangan roket, pengembangan rudal, pengembangan radar, dan pengembangan tank sedang serta berat.
KKIP sendiri merupakan komite yang mewakili pemerintah RI untuk mengoordikasikan kebijakan nasional dalam perencanaan, perumusan, pelaksanaan, pengendalian, sinkronisasi, dan evaluasi industri pertahanan. KKIP diketuai langsung oleh Presiden.
KKIP dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2013 yang ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Melalui KKIP, Indonesia hendak membangun pertahanan negara yang kuat, maju, dan mandiri melalui dukungan industri pertahanan dalam negeri yang tangguh.
Kapok diembargo
Wakil Ketua KKIP Eris Herryanto mengatakan Indonesia bercita-cita dapat memenuhi alutsista secara mandiri karena, antara lain, punya pengalaman buruk diembargo 10 tahun oleh Amerika Serikat.
“Dari 1995 sampai 2005, Indonesia diembargo oleh Amerika. Sepuluh tahun diembargo, kerusakannya sangat besar terhadap kekuatan tempur Indonesia. Kesiapan Indonesia merosot tajam karena tidak boleh beli suku cadang dan segala macam,” ujar mantan penerbang TNI Angkatan Udara itu.
Pada periode itu, AS tidak mau memberikan suku cadang yang diperlukan Indonesia untuk meremajakan pesawat-pesawat TNI yang dibeli dari negeri itu. AS juga menyetop penjualan senjata ke Indonesia.
AS saat itu menerapkan embargo militer dengan alasan Indonesia melakukan pelanggaran hak asasi manusia dalam kerusuhan di Dili, Timor Timur (kini Timor Leste), pada 12 November 1991 ketika sejumlah demonstran ditembaki tentara Indonesia.
“Puncak embargo 26 Desember 2004 saat tsunami menghantam Aceh. Mestinya TNI membantu masyarakat Aceh, tapi saat itu hanya ada satu pesawat Hercules yang siap. Walau ada pesawat lainnya, tapi tidak siap karena dampak dari embargo itu,” kata Eris.
Pengalaman pahit itu, menurut Eris, menjadi salah satu landasan pemikiran bahwa Indonesia di masa depan harus punya peralatan yang bisa didukung oleh negara ini sendiri, tak tergantung pada pihak asing. “Intinya, mandiri.”
Kemandirian industri pertahanan, kata Eris, juga dapat mendorong perekonomian nasional secara signifikan, sebab produksi alutsista akan menyerap tenaga kerja dan memutar roda ekonomi. Penjualan alutsista akhirnya menjadi sumber pemasukan bagi negara.
“Kalau kita lihat Amerika, 60 persen lebih ekonominya didukung oleh industri pertahanan,” ujar mantan Panglima Komando Pertahanan Nasional RI itu.
Indonesia, kata Eris, saat ini pun mulai menggerakkan industri pertahanannya. “Indonesia sudah menjual ke Filipina kapal SSV (strategic sealift vessel) yang diluncurkan 18 Januari kemarin. Kapal hasil kerja BUMN (PT PAL Indonesia) itu diekspor. Ekonomi negara jadi terbantu dari PT PAL.”
Ini kali pertama Indonesia mengekspor kapal perang. Satu unit kapal SSV buatan PT PAL dihargai US$ 45 juta. Kapal yang terdiri dari 621 kamar itu bisa melaju dengan kecepatan 16 knot, mampu berlayar tanpa mengisi bahan bakar selama tiga hari, dan dilengkapi meriam sesuai pesanan Filipina.
Berbekal visi mandiri itu, Indonesia melihat tawaran Korea Selatan untuk bersama-sama mengembangkan pesawat tempur sebagai kesempatan bagus.
“Indonesia bayar 20 persen dari total biaya yang dibutuhkan, tapi bisa dapat 90 persen teknologi,” kata Direktur Utama PTDI Budi Santoso.
Ada perbedaan misi Indonesia dan Korea Selatan mengembangkan pesawat tempur. “Korea Selatan tentu berpikir soal (konfliknya dengan) Korea Utara, Indonesia beda lagi,” kata Budi.
Tujuan utama Indonesia ialah agar dapat melakukan upgrading atau peningkatan teknologi pada seluruh pesawat yang dimiliki TNI. Dengan demikian, semua armada udara Indonesia akan selalu menggunakan teknologi terbarukan.
“Sebab meski mesin dan struktur badan pesawat bisa bertahan sampai 20-40 tahun, sistem elektroniknya mesti di-upgrade ini dan itu,” ujar Direktur Teknologi dan Pengembangan PTDI, Andi Alisjahbana.
Beda motivasi Indonesia dan Korea Selatan ditambah perbedaan kondisi lapangan kedua negara, membuat dua belah pihak perlu waktu cukup panjang untuk menyamakan persepsi hingga berujung pada penandatanganan kontrak tahap kedua proyek KF-X/IF-X, yakni pembuatan prototipe pesawat.
“Ini titik awal kerja sama ilmuwan Indonesia dan Korea Selatan. Saya bertanggung jawab penuh dan optimistis proyek ini akan sukses,” kata Kepala Administrasi Program Akuisisi Pertahanan Korea Selatan, Chang Myoung-jin, sesaat setelah meneken kontrak kerja sama dengan Indonesia di Jakarta.
Kisah Embargo AS dan Sukhoi Rusia di Balik Jet Tempur RI
Indonesia membeli pesawat Sukhoi buatan Rusia pada tahun kedelapan masa embargo Amerika Serikat, yakni 2013. (CNN Indonesia/Safir Makki)
“Presiden Soekarno berpesan, bangsa Indonesia harus menguasai teknologi udara dan maritim. Apalagi Indonesia bangsa yang besar. Kalau mau bertahan, jelas mesti kuat pertahanan udaranya.”
Direktur Teknologi dan Pengembangan PT Dirgantara Indonesia, Andi Alisjahbana, melontarkan hal itu dalam wawancaranya dengan CNNIndonesia.com, Jumat (19/2).
“Lalu kenapa harus mengembangkan jet tempur? Tentu karena itu salah satu alat tempur utama di udara. Yang menentukan menang-tidaknya Sekutu atau Jepang dalam Perang Dunia II adalah pertempuran maritim dan udara,” ujar Andi.
Mencapai kemandirian menjadi kata kunci. Jika hanya membeli persenjataan dari negara lain, kata Andi, sudah pasti Indonesia akan tergantung pada negara itu. Terlebih jika menyangkut alat utama sistem senjata (alutsista) berteknologi tinggi.
“Beli senjata ke Amerika, ya akan tergantung kepada Amerika. Kalau hubungan Indonesia dengan Amerika sedang baik, tak apa-apa. Tapi kalau tiba-tiba bermasalah lalu diembargo, jadi tidak ada dukungan persenjataan,” kata Andi.
Hal itu pernah terjadi pada 1995 sampai 2005 saat Indonesia diembargo militer oleh Amerika Serikat. AS menyetop penjualan senjata, termasuk tak mau memberikan suku cadang yang diperlukan Indonesia untuk meremajakan pesawat-pesawat TNI yang dibeli dari mereka.
Embargo ketika itu dijatuhkan lantaran Negeri Paman Sam menuduh Indonesia melanggar hak asasi manusia dengan menembaki demonstran di Dili, Timor Timur (kini Timor Leste), pada 12 November 1991.
Sepuluh tahun embargo AS, ujar Andi, membuat kekuatan tempur udara Republik Indonesia mengalami kemerosotan tajam. Banyak pesawat tempur TNI Angkatan Udara harus di-grounded lantaran tak punya suku cadang.
Hal itu misalnya menimpa setengah lusin F-16 Fighting Falcon, sejumlah armada F-5 Tiger, sampai pesawat angkut militer C-130 Hercules yang seluruhnya buatan AS. Lebih parah lagi, beberapa pesawat Hawk 109/209 buatan Inggris –sekutu AS– yang dimiliki TNI juga ikut terkena embargo.
Embargo membuat banyak pesawat militer RI tak bisa diterbangkan sekalipun kondisinya baik, bahkan tergolong baru. Alhasil sia-sia saja memiliki armada tempur jika banyak yang tak bisa digunakan untuk menjaga kedaulatan wilayah Indonesia.
Sistem pengaman
Indonesia lantas mencari akal. Tahun 2003, tahun kedelapan masa embargo AS, pemerintah RI membeli pesawat Sukhoi dari Rusia –negara di kubu berseberangan dengan AS. Indonesia pun kini memiliki satu skuadron lengkap Sukhoi.
“Apa yang dilakukan Indonesia ketika itu seperti membuat dua sistem: satu tergantung kepada Amerika, satu kepada Rusia. Ada Sukhoi, ada F-16 (buatan AS). Kalau Amerika mengembargo sehingga F-16 tidak bisa terbang, masih ada Sukhoi,” kata Andi.
Sesungguhnya embargo militer merugikan AS sendiri. Perusahaan-perusahaan negara adidaya itu yang bergerak di industri penerbangan jadi kehilangan salah satu pasar potensial. Mereka tak bisa menjual alutsista dan suku-suku cadang kepada Indonesia.
Embargo akhirnya dicabut tahun 2005. Namun Indonesia tetap mempertahankan dua sistem tersebut sebagai “tali pengaman.”
Target Indonesia selanjutnya adalah menjaga kesinambungan alat-alat tempur yang dimiliki dalam keadaan krisis.
“Ini yang paling utama. Indonesia berhak untuk mempertahankan diri dari ancaman luar,” ujar Andi.
Tahap berikutnya ialah mencapai kemandirian. “Masih panjang perjalanan Indonesia untuk mandiri. Tapi setidaknya negara ini bisa bertahan dalam keadaan krisis. Semisal ada pertempuran sampai 10 tahun, minimal pesawat Indonesia tidak kehabisan peluru dan suku cadang. Di situ letak kesinambungannya,” kata Andi.
Kesinambungan dan kemandirian tersebut terkait erat satu sama lain. Untuk mencapai kedua hal itu, Indonesia –setelah serangkaian proses– menerima tawaran Korea Selatan untuk bersama-sama mengembangkan teknologi pesawat tempur Korea Fighter Xperiment/Indonesia Fighter Xperiment (KF-X/IF-X).
"Korea antusias dan percaya dengan Indonesia," ujar Andi.
Wakil Ketua Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) Eris Herryanto mengatakan, tak mudah bagi Indonesia dan Korea Selatan untuk sampai pada tahap kerja sama seperti sekarang ini.
Perbedaan sistem, perbedaan tujuan, dan perbedaan posisi dalam mendapat teknologi, membuat Jakarta dan Seoul mesti saling berkompromi dan menyamakan persepsi.
Kesulitan juga terletak pada teknologi Amerika Serikat, yakni perusahaan dirgantara AS Lockheed Martin, yang direncanakan digunakan untuk mengembangkan jet KF-X/IF-X.
“Tingkat pertemanan Amerika dengan Indonesia mungkin berbeda dibanding Amerika dengan Korea. Perbedaan posisi itu bisa berpengaruh saat membuat perjanjian. Tapi Korea mau menyatukan sikap dengan Indonesia. Ini indikasi kerja sama berjalan baik,” kata Andi.
Kepala Program KF-X/IF-X PT Dirgantara Indonesia, Heri Yansyah, menyatakan yang terpenting dari seluruh proses dan upaya yang berlangsung saat ini ialah penguasaan atas teknologi upgrading atau pemutakhiran, sehingga semua pesawat tempur yang dimiliki Indonesia nantinya selalu dilengkapi teknologi terbarukan.
Teknologi adalah kunci menuju kesinambungan dan kemandirian, serta “tali pengaman” yang lebih sempurna. (agk/sip)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.