Mematikan AIS dan mengoperasikan sensor bawah airIlustrasi. Bakamla mencurigai kapal survei China yang dicegat di perairan Selat Sunda sempat menyalakan sensor bawah air. (Foto: Dok.Bakamla) ★ ☆
Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla) Laksdya TNI Aan Kurnia mencurigai kapal survei milik China Xiang Yang Hong 03 yang dicegat perairan Selat Sunda pada Rabu (13/1) lalu sempat mengoperasikan peralatan sensor bawah air.
Aan mengungkapkan kecurigaan berawal dari penurunan kecepatan ideal kapal dari 10-11 knot menjadi 6-8 knot.
Hal ini diungkap Aan saat melakukan Rapat Kerja dengan Komisi I DPR RI di gedung DPR, Selasa (2/2).
"Jadi kalau kecepatan 6 sampai 8 (knot) itu adalah optimum sonar speed, kecepatan yang ideal untuk mengoperasikan peralatan sensor bawah air. Ini bisa saja ketika dia mematikan AIS, mengoperasikan ini (sensor bawah air)," kata Aan.
AIS adalah Automatic Identication System (AIS) atau sistem pelacakan otomatis di kapal.
Menurut Aan, kapal tersebut sempat mematikan sistem AIS kurang lebih sebanyak tiga kali. Ia menduga kapal survei tersebut memiliki niat negatif ketika memasuki perairan Indonesia.
"Karena mematikan AIS, yang jelas dia ada niat dalam tanda kutip negatif," kata dia.
Dalam kesempatan itu, Aan juga menyinggung perihal sanksi dan penegakan hukum di laut, terutama bagi kapal-kapal asing yang mematikan AIS di perairan Indonesia.
Aturannya, kapal yang mematikan AIS hanya diberi sanksi administrasi. Padahal mematikan AIS di wilayah perairan negara lain tentu berpotensi melakukan pelanggaran atau berniat melakukan hal-hal negatif.
Oleh karena itu, kata Aan, pemberian sanksi administrasi pada kapal yang mematikan AIS dinilai sangat ringan dan berimbas pada banyaknya pelanggaran serupa tanpa ada efek jera.
"Biar tahu, karena memang di aturan kita tidak menyalakan AIS hukumannya administratif, sangat-sangat ringan. Ini yang mungkin perlu ditinjau kembali di sini," kata Aan.
Aan juga menjelaskan, Bakamla memang tak memiliki kewenangan apapun berkaitan dengan sanksi berat untuk kapal-kapal asing yang kedapatan mematikan AIS di perairan Indonesia.
Padahal jika Bakamla atau pihak berwenang lain bisa memberi saksi berat yang menyebabkan efek jera dinilai tak akan banyak persoalan kedaulatan laut di Indonesia.
"Sebagai masukan kepada bapak pimpinan (DPR) dan para anggota di sini bisa menjadi pertimbangan kalau memang masalah AIS ini sama-sama komit untuk lebih mem-push atau memberi efek jera harusnya ditingkatkan di sini," kata dia. (tst/psp)
Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla) Laksdya TNI Aan Kurnia mencurigai kapal survei milik China Xiang Yang Hong 03 yang dicegat perairan Selat Sunda pada Rabu (13/1) lalu sempat mengoperasikan peralatan sensor bawah air.
Aan mengungkapkan kecurigaan berawal dari penurunan kecepatan ideal kapal dari 10-11 knot menjadi 6-8 knot.
Hal ini diungkap Aan saat melakukan Rapat Kerja dengan Komisi I DPR RI di gedung DPR, Selasa (2/2).
"Jadi kalau kecepatan 6 sampai 8 (knot) itu adalah optimum sonar speed, kecepatan yang ideal untuk mengoperasikan peralatan sensor bawah air. Ini bisa saja ketika dia mematikan AIS, mengoperasikan ini (sensor bawah air)," kata Aan.
AIS adalah Automatic Identication System (AIS) atau sistem pelacakan otomatis di kapal.
Menurut Aan, kapal tersebut sempat mematikan sistem AIS kurang lebih sebanyak tiga kali. Ia menduga kapal survei tersebut memiliki niat negatif ketika memasuki perairan Indonesia.
"Karena mematikan AIS, yang jelas dia ada niat dalam tanda kutip negatif," kata dia.
Dalam kesempatan itu, Aan juga menyinggung perihal sanksi dan penegakan hukum di laut, terutama bagi kapal-kapal asing yang mematikan AIS di perairan Indonesia.
Aturannya, kapal yang mematikan AIS hanya diberi sanksi administrasi. Padahal mematikan AIS di wilayah perairan negara lain tentu berpotensi melakukan pelanggaran atau berniat melakukan hal-hal negatif.
Oleh karena itu, kata Aan, pemberian sanksi administrasi pada kapal yang mematikan AIS dinilai sangat ringan dan berimbas pada banyaknya pelanggaran serupa tanpa ada efek jera.
"Biar tahu, karena memang di aturan kita tidak menyalakan AIS hukumannya administratif, sangat-sangat ringan. Ini yang mungkin perlu ditinjau kembali di sini," kata Aan.
Aan juga menjelaskan, Bakamla memang tak memiliki kewenangan apapun berkaitan dengan sanksi berat untuk kapal-kapal asing yang kedapatan mematikan AIS di perairan Indonesia.
Padahal jika Bakamla atau pihak berwenang lain bisa memberi saksi berat yang menyebabkan efek jera dinilai tak akan banyak persoalan kedaulatan laut di Indonesia.
"Sebagai masukan kepada bapak pimpinan (DPR) dan para anggota di sini bisa menjadi pertimbangan kalau memang masalah AIS ini sama-sama komit untuk lebih mem-push atau memberi efek jera harusnya ditingkatkan di sini," kata dia. (tst/psp)
☠ CNN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.