Secara formal, Jepang menyerah kepada sekutu yang diwakili Jenderal Douglas MacArthur, di atas USS Missouri. (Foto: PRX)
Tidak banyak yang mengetahui bahwa berita kekalahan Jepang diketahui pertama kali oleh pelaut-pelaut Indonesia yang bekerja untuk Jepang atau yang dididik sebagai kadet, baik di Sekolah Pelayaran Tinggi (SPT) maupun Sekolah Pelayaran Rendah (SPR).
“Pertama kali informasi kekalahan Jepang atas Sekutu itu didengar oleh para pelaut Indonesia, bukan dari kelompok-kelompok pemuda (Menteng 31 dan Prapatan 13—red),” ucap Kasubdis Sejarah Dispenal, Kolonel Laut (P) Roni E Turangan, di kantornya.
Pasalnya sampai dengan saat ini, sumbangsih mereka terhadap perjuangan menjelang kemerdekaan tidak pernah tercatat dalam buku-buku sejarah. Biasanya, yang sering tertulis dalam sejarah hanya kelompok Menteng 31 seperti Adam Malik, BM Diah, Sukarni, Chaerul Saleh, atau kelompok Sjahrir, yang pada saat itu menyegel kantor berita milik Jepang. Dari situ mereka mengetahui berita kekalahan Jepang dari siaran berita Sekutu.
Padahal sebelumnya, banyak pelaut Indonesia sudah mengetahui berita kekalahan Jepang melalui interaksinya dengan pelaut Jepang. Hal itu cukup masuk akal mengingat jalinan emosional yang kuat antara pelaut Jepang dan Indonesia yang terbangun selama masa pendudukan Jepang di Indonesia.
“Pelaut Indonesia yang dididik oleh Jepang bukan orang-orang yang tidak paham politik. Mereka sering mendapat pendidikan politik dari kaum pergerakan, seperti Soekarno, Hatta, dan Achmad Soebardjo. Jadi, ketika mereka mendapat informasi apa pun cepat mereka komunikasikan kepada kelompok-kelompok pergerakan,” kata Roni.
Lebih lanjut, Roni menambahkan, walaupun sistem pendidikan dalam Sekolah Pelayaran Jepang sangat ketat, tetapi akses hubungan dengan kaum pergerakan pemuda berjalan dengan baik, dan itu ditujukan untuk kepentingan bangsa.
Kelompok pergerakan pemuda (Menteng 31 dan Prapatan 13), bisa jadi hanya membuktikan kebenaran informasi yang mereka dapat dari para pelaut Indonesia, melalui siaran radio luar negeri. Setelah positif kebenarannya, barulah mereka datang menemui Soekarno-Hatta untuk menuntut Proklamasi.
Wajar bila sejarah hanya mencatat perjuangan kelompok ini dengan heroiknya peristiwa Rengasdengklok. Tetapi memang maksud perjuangan yang sesungguhnya adalah bukan untuk tercatat nama mereka dalam sejarah.
Roni pun juga tidak mengetahui secara pasti, siapa-siapa saja para pelaut yang punya peran besar dalam penyampaian informasi ini. Ia hanya menyebutkan beberapa nama seperti Mas Pardi, Adam, dan RE. Martadinata, yang dikemudian hari semuanya menjadi tokoh penting di TNI AL.
“Yang pasti mereka sebagai pelaut, juga memiliki fungsi intelijen dalam tujuan mencapai kemerdekaan,” papar pria yang juga menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Info Historia, Buletin Sejarah TNI AL dan Kemaritiman ini.
Tidak banyak yang mengetahui bahwa berita kekalahan Jepang diketahui pertama kali oleh pelaut-pelaut Indonesia yang bekerja untuk Jepang atau yang dididik sebagai kadet, baik di Sekolah Pelayaran Tinggi (SPT) maupun Sekolah Pelayaran Rendah (SPR).
“Pertama kali informasi kekalahan Jepang atas Sekutu itu didengar oleh para pelaut Indonesia, bukan dari kelompok-kelompok pemuda (Menteng 31 dan Prapatan 13—red),” ucap Kasubdis Sejarah Dispenal, Kolonel Laut (P) Roni E Turangan, di kantornya.
Pasalnya sampai dengan saat ini, sumbangsih mereka terhadap perjuangan menjelang kemerdekaan tidak pernah tercatat dalam buku-buku sejarah. Biasanya, yang sering tertulis dalam sejarah hanya kelompok Menteng 31 seperti Adam Malik, BM Diah, Sukarni, Chaerul Saleh, atau kelompok Sjahrir, yang pada saat itu menyegel kantor berita milik Jepang. Dari situ mereka mengetahui berita kekalahan Jepang dari siaran berita Sekutu.
Padahal sebelumnya, banyak pelaut Indonesia sudah mengetahui berita kekalahan Jepang melalui interaksinya dengan pelaut Jepang. Hal itu cukup masuk akal mengingat jalinan emosional yang kuat antara pelaut Jepang dan Indonesia yang terbangun selama masa pendudukan Jepang di Indonesia.
“Pelaut Indonesia yang dididik oleh Jepang bukan orang-orang yang tidak paham politik. Mereka sering mendapat pendidikan politik dari kaum pergerakan, seperti Soekarno, Hatta, dan Achmad Soebardjo. Jadi, ketika mereka mendapat informasi apa pun cepat mereka komunikasikan kepada kelompok-kelompok pergerakan,” kata Roni.
Lebih lanjut, Roni menambahkan, walaupun sistem pendidikan dalam Sekolah Pelayaran Jepang sangat ketat, tetapi akses hubungan dengan kaum pergerakan pemuda berjalan dengan baik, dan itu ditujukan untuk kepentingan bangsa.
Kelompok pergerakan pemuda (Menteng 31 dan Prapatan 13), bisa jadi hanya membuktikan kebenaran informasi yang mereka dapat dari para pelaut Indonesia, melalui siaran radio luar negeri. Setelah positif kebenarannya, barulah mereka datang menemui Soekarno-Hatta untuk menuntut Proklamasi.
Wajar bila sejarah hanya mencatat perjuangan kelompok ini dengan heroiknya peristiwa Rengasdengklok. Tetapi memang maksud perjuangan yang sesungguhnya adalah bukan untuk tercatat nama mereka dalam sejarah.
Roni pun juga tidak mengetahui secara pasti, siapa-siapa saja para pelaut yang punya peran besar dalam penyampaian informasi ini. Ia hanya menyebutkan beberapa nama seperti Mas Pardi, Adam, dan RE. Martadinata, yang dikemudian hari semuanya menjadi tokoh penting di TNI AL.
“Yang pasti mereka sebagai pelaut, juga memiliki fungsi intelijen dalam tujuan mencapai kemerdekaan,” papar pria yang juga menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Info Historia, Buletin Sejarah TNI AL dan Kemaritiman ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.