Kasal Laksamana TNI Ade Supandi
Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Ade Supandi dalam Kuliah Umum bertajuk “Budaya Maritim dari Perspektif Angkatan Laut” di Auditorium Gedung IX Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia (26/3/15) menerangkan bahwa penjajah telah banyak menghilangkan budaya maritim kita.
“Meskipun ada beberapa perbedaan tentang berapa lama waktu penjajahan, namun yang terpenting ialah karena lamanya waktu penjajahan itu telah menghilangkan budaya maritim kita,” ujar Ade.
Menurutnya, sebelum masuknya penjajah (Portugis, Spanyol, dan Belanda-red) budaya maritim bangsa nusantara berkembang pesat mulai dari zaman Sriwijaya dan Majapahit, maupun bukti-bukti lainnya.
“Kita tahu orang-orang Bugis telah mampu berlayar hingga Madagaskar, kemudian wilayah imperium Majapahit juga kita ketahui hingga Kamboja dan Filipina, namun saat ini kita tidak mengetahui dimana Gajah Mada membangun kapal sebagai lambang kejayaan maritim itu,” terangnya.
Lulusan AAL tahun 1983 ini menjelaskan bahwa kapal merupakan tools terpenting dalam mencapai kejayaan itu sekaligus tempat pembuatan kapalnya.
Sambungnya, walaupun sebenarnya masuknya penjajahan di Nusantara juga bukan dilakukan oleh negara melainkan oleh perusahaan dagang (VOC-red).
“Kita dulu dijajah belum bukan oleh bentuk negara tetapi lebih tepatnya seperti Kadin (Kamar Dagang Industri)-nya, makannya ada istilah kompeni itu kan dari kata company,” jelasnya.
Dampak dari penjajahan itu, tegas Ade, menyebabkan hilangnya budaya maritim hingga 12 generasi. Maka dari itu, menurutnya bukan hal yang mudah untuk mengembalikan karakter tersebut, melainkan memerlukan waktu yang lama.
“12 generasi kita hilang karakter kemaritimannya, contohnya saat ini hanya sekitar 1 persen atau 2.313.006 jiwa yang memiliki pekerjaan di bidang kemaritiman,” pungkasnya.Tidak Mudah Membangun Karakter Kemaritiman Laksamana TNI Ade Supandi
Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Ade Supandi dalam kuliah umum bertajuk “Budaya Maritim dari Perspektif Angkatan Laut” di Auditorium Gedung IX Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia (26/3/15) mengingatkan bahwa mudah dalam membangun karakter kemaritiman.
Hal tersebut diungkapkan karena lamanya kita dijajah dan dijauhkan dari karakter kemaritiman. Realita saat ini penduduk Indonesia hanya 1% yang memiliki aktivitas atau bekerja di kemaritiman.
“Hanya ada sekitar 1 persen atau 2.313.006 jiwa yang menjadi pegiat di bidang kemaritiman. Termasuk didalamnya 70.000 personel Angkatan Laut,” ungkap Kasal.
Kondisi itu membuktikan bahwa masyarakat Indonesia memilih untuk menghindari sesuatu yang tidak pasti. Sementara bekerja di laut saat ini masih dianggap penuh dengan ketidakpastian.
“Mereka ingin sesuatu yang instan, sedang bekerja di laut itu tidak pasti. Apalagi bekerja di laut bisa satu tahun atau minimal enam bulan berpisah dengan keluarga,” katanya.
Kendati demikian, Ade tetap optimis jiwa kemaritiman bangsa Indonesia akan berangsur-angsur pulih setelah digagasnya visi poros maritim dunia oleh presiden Joko Widodo.
“Karena dari apa yang disampaikannya mengenai visi-misi poros mariti mdunia, saya rasa itu adalah hal yang harus diimplementasikan di pemerintahan, dan yang paling bawah yaitu pembentukan karakter kemaritiman bangsa, bagi seluruh warga negara Indonesia,” terangnya.
Lebih lanjut, lulusan AAL tahun 1983 ini menjelaskan bahwa karakter kemaritiman itu selalu berorientasi pada outward looking dan kepada masa depan. Indonesia dengan Angkatan Laut-nya sejak dulu sudah mengedepankan karakter tersebut.
“Dulu tahun 1985, kita pernah mengirim armada terbesar ke Filipina dalam rangka menyelesaikan konflik Moro. Saya rasa itu bagian dalam 3 peranan Angkatan Laut yakni, Military Role, Diplomacy Role, dan Constabulary Role,” paparnya.
Di akhir penjelasannya, Ade menegaskan untuk membangun budaya maritim diperlukan tools yang memadai.
“Untuk mengembangkan budaya maritim kita membutuhkan tools, anggaran, dan perencanaan yang baik ke depan. Kita berharap ke depan pembangunan maritim semakin baik, karena satu-satunya realita yang tak bisa kita sangkal, adalah bahwa kita memang hidup di wilayah kepulauan dengan 756 suku bangsa yang ada di dalamnya, dan laut yang begitu luas yang mengelilinginya,” pungkasnya.
Acara kuliah umum ini dilanjutkan dengan penandatangan Nota Kesepakatan Bersama, antara TNI Angkatan Laut dengan Universitas Indonesia, dalam hal kemaritiman.
Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Ade Supandi dalam Kuliah Umum bertajuk “Budaya Maritim dari Perspektif Angkatan Laut” di Auditorium Gedung IX Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia (26/3/15) menerangkan bahwa penjajah telah banyak menghilangkan budaya maritim kita.
“Meskipun ada beberapa perbedaan tentang berapa lama waktu penjajahan, namun yang terpenting ialah karena lamanya waktu penjajahan itu telah menghilangkan budaya maritim kita,” ujar Ade.
Menurutnya, sebelum masuknya penjajah (Portugis, Spanyol, dan Belanda-red) budaya maritim bangsa nusantara berkembang pesat mulai dari zaman Sriwijaya dan Majapahit, maupun bukti-bukti lainnya.
“Kita tahu orang-orang Bugis telah mampu berlayar hingga Madagaskar, kemudian wilayah imperium Majapahit juga kita ketahui hingga Kamboja dan Filipina, namun saat ini kita tidak mengetahui dimana Gajah Mada membangun kapal sebagai lambang kejayaan maritim itu,” terangnya.
Lulusan AAL tahun 1983 ini menjelaskan bahwa kapal merupakan tools terpenting dalam mencapai kejayaan itu sekaligus tempat pembuatan kapalnya.
Sambungnya, walaupun sebenarnya masuknya penjajahan di Nusantara juga bukan dilakukan oleh negara melainkan oleh perusahaan dagang (VOC-red).
“Kita dulu dijajah belum bukan oleh bentuk negara tetapi lebih tepatnya seperti Kadin (Kamar Dagang Industri)-nya, makannya ada istilah kompeni itu kan dari kata company,” jelasnya.
Dampak dari penjajahan itu, tegas Ade, menyebabkan hilangnya budaya maritim hingga 12 generasi. Maka dari itu, menurutnya bukan hal yang mudah untuk mengembalikan karakter tersebut, melainkan memerlukan waktu yang lama.
“12 generasi kita hilang karakter kemaritimannya, contohnya saat ini hanya sekitar 1 persen atau 2.313.006 jiwa yang memiliki pekerjaan di bidang kemaritiman,” pungkasnya.Tidak Mudah Membangun Karakter Kemaritiman Laksamana TNI Ade Supandi
Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Ade Supandi dalam kuliah umum bertajuk “Budaya Maritim dari Perspektif Angkatan Laut” di Auditorium Gedung IX Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia (26/3/15) mengingatkan bahwa mudah dalam membangun karakter kemaritiman.
Hal tersebut diungkapkan karena lamanya kita dijajah dan dijauhkan dari karakter kemaritiman. Realita saat ini penduduk Indonesia hanya 1% yang memiliki aktivitas atau bekerja di kemaritiman.
“Hanya ada sekitar 1 persen atau 2.313.006 jiwa yang menjadi pegiat di bidang kemaritiman. Termasuk didalamnya 70.000 personel Angkatan Laut,” ungkap Kasal.
Kondisi itu membuktikan bahwa masyarakat Indonesia memilih untuk menghindari sesuatu yang tidak pasti. Sementara bekerja di laut saat ini masih dianggap penuh dengan ketidakpastian.
“Mereka ingin sesuatu yang instan, sedang bekerja di laut itu tidak pasti. Apalagi bekerja di laut bisa satu tahun atau minimal enam bulan berpisah dengan keluarga,” katanya.
Kendati demikian, Ade tetap optimis jiwa kemaritiman bangsa Indonesia akan berangsur-angsur pulih setelah digagasnya visi poros maritim dunia oleh presiden Joko Widodo.
“Karena dari apa yang disampaikannya mengenai visi-misi poros mariti mdunia, saya rasa itu adalah hal yang harus diimplementasikan di pemerintahan, dan yang paling bawah yaitu pembentukan karakter kemaritiman bangsa, bagi seluruh warga negara Indonesia,” terangnya.
Lebih lanjut, lulusan AAL tahun 1983 ini menjelaskan bahwa karakter kemaritiman itu selalu berorientasi pada outward looking dan kepada masa depan. Indonesia dengan Angkatan Laut-nya sejak dulu sudah mengedepankan karakter tersebut.
“Dulu tahun 1985, kita pernah mengirim armada terbesar ke Filipina dalam rangka menyelesaikan konflik Moro. Saya rasa itu bagian dalam 3 peranan Angkatan Laut yakni, Military Role, Diplomacy Role, dan Constabulary Role,” paparnya.
Di akhir penjelasannya, Ade menegaskan untuk membangun budaya maritim diperlukan tools yang memadai.
“Untuk mengembangkan budaya maritim kita membutuhkan tools, anggaran, dan perencanaan yang baik ke depan. Kita berharap ke depan pembangunan maritim semakin baik, karena satu-satunya realita yang tak bisa kita sangkal, adalah bahwa kita memang hidup di wilayah kepulauan dengan 756 suku bangsa yang ada di dalamnya, dan laut yang begitu luas yang mengelilinginya,” pungkasnya.
Acara kuliah umum ini dilanjutkan dengan penandatangan Nota Kesepakatan Bersama, antara TNI Angkatan Laut dengan Universitas Indonesia, dalam hal kemaritiman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.