⚓️ JMMS Independence-160
Sejak Menteri Pertahanan Singapura, Dr, Ng Eng Hen berbicara tentang prospek mendapatkan apa yang disebut Joint Multi-Mission Ship (JMMS) pada akhir Juni tahun lalu, spekulasi tentang bentuk rupa kapal itu -diduga sebuah kapal induk- telah ramai dibicarakan.
Kapal Joint Multi-Mission Singapura tampaknya akan seperti kapal pengangkut helikopter yang bisa diubah untuk mengangkut jet tempur F-35.
Martin Diaz yang menulis untuk DefenceAviation mengatakan, tidak diperlukan seorang ahli untuk mengetahui kapal JMMS yang dibangun Singapura adalah kapal induk.
The International Institute of Strategic Studies (IISS) mendefinisikan sebuah kapal induk sebagai kapal “dengan dek penerbangan sepanjang dua pertiga dari panjang kapal.” Namun tidak ada definisi baku dari apa yang disebut sebuah kapal induk.
Sebagai contoh, Soviet menyebut kapal induk Kiev Class dengan Kapal penjelajah/ cruiser untuk menghindari Konvensi Montreux sehingga dapat berlayar melalui Selat Bosporus. Jepang menyebut Hyuga dan yang lebih besar Izumo class sebagai “helicopter destroyer” untuk menghindari kesalahan persepsi.
Jadi kapal JMMS Singapura termasuk “kapal induk” sejauh kriteria karakteristik fisik yang definisikan IISS.
Namun Singapura tidak memberi label JMMS sebagai kapal induk, untuk mengaburkan tujuan sebenarnya. Di luar karakteristik fisik, perlu untuk memeriksa desain yang melekat pada kapal, serta melihat sistem sistemnya, untuk mengetahui peran dan fungsi yang sebenarnya.
Pembangunan JMMS bukanlah sebuah kejutan bagi siapa pun. Galangan kapal Singapura, Singapore Technologies Marine (STM) telah siap menunjukkan kemampuannya untuk membangun kapal perang yang memiliki deck seperti desain Endurance-160 Multi-Role Support Ship yang replikanya pertama kali ditampilkan di Euronaval 2010.
Kabarnya kapal ini terinspirasi oleh San Giorgio Class Italia, Endurance-160 pada awalnya ditujukan untuk pasar ekspor, tetapi sampai saat ini tidak menemukan pembeli asing. Hal ini dapat dikaitkan dengan pasar yang kompetitif untuk Kapal Deck-Multi-Role Support. STM harus bersaing dengan banyak pesaing dari Barat dan Asia. Kini Singapura memiliki potensi untuk menjadi pelanggan pertama dari Endurance-160.
Dengan panjang 163,7 meter, dan berat 14.500 ton Kapal Endurance-160 adalah salah satu kapal yang terkecil dari jenisnya. Sebagai perbandingan, Dokdo class Korea Selatan, yang mungkin salah satu yang paling dekat dalam ukuran, yakni panjang 199 meter dan berat 18.800 ton fully-loaded. Jepang Osumi class memiliki panjang 178 meter dan bobot 14.000 ton fully-loaded.
Kapal negara Barat lebih besar. Kapal yang dibangun Spanyol Juan Carlos I class berukuran panjang 231 meter dan bobot 26.000 ton-fully-loaded. Australia memperoleh sepasang kapal tersebut, yang dinamakan Canberra class. Mistral class buatan Perancis panjang 199 meter dan bobot 21.300 ton fully loaded.
Ukuran fisik tidak penting. Secara teori, semakin besar lambung kapal, semakin besar kapasitas angkut, jangkauan lebih jauh, daya tahan dan kemampuan mengarungi laut juga semakin besar. Namun desain yang melekat pada kapal, menjadi faktor yang lebih penting dalam menentukan peran yang sebenarnya dan misi yang ditujukan untuk kapal tersebut. ⚓️ JMMS Endurance-160
Sebenarnya tidak ada kepura-puraan tentang JMMS dirancang untuk apa. Ini adalah kapal multi-peran dikonfigurasi untuk beberapa misi yang berbeda : serangan amfibi, bantuan kemanusiaan dan bantuan bencana (HA / DR), pengisian/suplai, kapal rumah sakit, komando dan pusat kontrol, dan sebagainya. Dek penerbangan yang penuh di sepanjang permukaan kapal bertujuan untuk mendukung kapasitas dan penerbangan yang lebih besar.
Kapal ini juga memiliki sepasang lift pesawat berbentuk persegi panjang, yang tampaknya dirancang untuk helikopter. Kapal ini tampaknya akan memiliki kapasitas membawa lima helikopter medium dan dua helikopter berat di dek penerbangan yang difasilitasi lima tempat pendaratan helikopter kelas medium. Di bawah Deck penerbangan dapat menyimpan kendaraan ringan.
Dilihat dari dimensi ruang, jelas bahwa Endurance-160 akan dioptimalkan lebih sekedar pembawa helikopter. Endurance-160 bisa difungsikan sebagai kapal induk, untuk jet tempur vertikal short take-off and landing (VSTOL), seperti F-35 Lightning II Joint Strike Fighter yang dikabarkan Singapur semakin dekat dengan pembeliannya.
Modifikasi yang signifikan akan diperlukan, namun yang paling mudah adalah pemasangan lapisan anti-flash khusus di dek penerbangan. Memodifikasi lift pesawat, terutama untuk pesawat sayap tetap bahkan dengan sayap dilipat, menjadi sebuah pekerjaan yang lebih menantang.
Karena ruang perawatan yang lebih besar diperlukan untuk pesawat sayap tetap, Kapal Endurance-160 akan membawa kira-kira delapan pesawat JSF- atau pesawat sejenis sebagai pengganti helikopter medium dan berat. Tidak akan ada ruang yang tersisa untuk tentara, peralatan, kargo, serta dock yang digunakan untuk pendarat pesawat kecil.
Marvin Diaz menganalisa kapal JMMS bisa berfungsi sebagai alternatif yang potensial, sebagai bandar udara lepas pantai jika Pangkalan Angkatan Udara Singapura hancur dalam serangan musuh. Dalam skenario ini, pesawat JSF yang hidup dapat menggunakan JMMS sebagai salah satu pilihan alternatif untuk melakukan tindakan balasan berikutnya.
Namun, sulit membayangkan kapal JMMS dapat memainkan peran seperti itu, mengingat isu-isu modifikasi yang diperlukan seperti yang telah diidentifikasi sebelumnya. Mungkin masih layak bagi pesawat JSF untuk mendarat di dek penerbangan untuk mengisi bahan bakar dan mempersenjatainya kembali. Mereka bisa terbang kembali dalam waktu singkat. Namun kapal tidak dapat menawarkan kapasitas yang banyak untuk serangan balasan. Selain itu, dalam situasi perang, pesawat JSF lebih mungkin dimanfaatkan untuk pertahanan udara dari pada memulai misi “serangan kedua” melawan musuh.
Bahkan jika peran “serangan kedua” dipertimbangkan, komplemen yang tersedia terlalu kecil untuk membuat perbedaan sebagai paket serangan ofensif. Kapal mungkin dapat berfungsi sebagai alternatif pusat kontrol dan komando lepas pantai untuk operasi militer secara keseluruhan, tetapi tidak akan mampu memproyeksikan kekuatan ofensif sendiri.
Jika JMMS digunakan sebagai kapal induk, tidak cukup berbicara tentang kapal itu sendiri. Sebaliknya, ia harus beroperasi sebagai inti dari gugus tugas, yaitu sebagai “sistem dari sebuah sistem.” Karena JMMS hanya bisa membawa persenjataan minimal, dan semua senjata jarak pendek ini dioptimalkan untuk titik pertahanan. Daerah pertahanan yang lebih luas akan diberikan oleh kapal pendamping.
Aset yang tersedia untuk layanan ini adalah enam frigat siluman Formidable Class dari Angkatan Laut Singapura. Setiap kapal dirancang untuk pertahanan udara, anti kapal permukaan dan anti-kapal selam. Dalam peran anti-udara, kapal ini memiliki 32 sistem peluncuran vertikal.
Namun, mengingat bahwa rudal anti-udara yang diperlukan bukan hanya untuk wilyah pertahanan kapal lainnya, terutama yang JMMS, tetapi juga membela diri sendiri, patut dipertanyakan apakah 32 rudal per fregat akan cukup dalam skenario di mana musuh dapat meluncurkan serangan saturasi/ salvo menggunakan udara, permukaan, sub-permukaan dan kekuatan berbasis pantai.
Selain itu, rudal jelajah jarak jauh modern anti-kapal saat ini diperoleh dengan biaya yang relatif rendah. Dengan demikian, mereka dapat digunakan dalam jumlah yang banyak. Untuk menghadapi skenario seperti itu, Singapura mungkin harus mempertimbangkan kapal perang permukaan baru yang dilengkapi dengan muatan yang lebih besar untuk melengkapi atau bahkan menggantikan frigat mereka.
Sangat mungkin bahwa kapal JMMS, memiliki potensi untuk dimodifikasi bagi pesawat sayap tetap dan karena itu berfungsi sebagai kapal induk, yang juga digunakan untuk bantuan kemanusiaan dan bantuan bencana (HA / DR) masa damai.
Pengalaman HA / DR bencana Topan Haiyan yang menyebabkan kerusakan besar di Filipina pada November 2013 menunjukkan kekurangan kapasitas angkatan laut Asia Tenggara dalam menanggapi bencana besar. Tak satu pun dari angkatan laut wilayah ASEAN memiliki kemampuan HA / DR. “kapal induk” Ise-class Jepang secara tepat menunjukkan bagaimana sebuah kapal dengan kapasitas yang lebih besar dapat berguna untuk melakukan HA / DR.
Pemerintah di Asia Tenggara tidak boleh melewatkan pelajaran ini. Jika kemampuan merespon di masa depan harus ditingkatkan, seseorang harus mengambil langkah untuk memimpin. Apa Singapura lakukan dengan JMMS adalah meningkatkan kemampuan daerah untuk menghadapi tantangan keamanan bersama seperti bencana alam. Tampaknya tidak kebetulan bahwa pengumuman dibangunnya JMMS datang sekitar setengah tahun setelah topan Haiyan, saat Menteri Pertahanan Singapura Ng berbicara tentang perlunya mengganti Kapal landing platform dock Endurance-140 yang memiliki kemampuan yang terbatas.
Selain itu, penekanan pada misi HA / DR ini sejalan dengan pernyataan misi Angkatan Bersenjata Singapura, untuk meningkatkan “perdamaian dan keamanan Singapura melalui pencegahan dan diplomasi.” Hal fundamental untuk itu adalah kesediaan yang lebih besar dari Angkatan Bersenjata Singapura untuk berpartisipasi lebih jauh dalam berbagai operasi non-perang seperti misi kontra-pembajakan di Teluk Aden, dan operasi bantuan bencana di Asia Tenggara dan sekitarnya. (nationalinterest.org)
Sejak Menteri Pertahanan Singapura, Dr, Ng Eng Hen berbicara tentang prospek mendapatkan apa yang disebut Joint Multi-Mission Ship (JMMS) pada akhir Juni tahun lalu, spekulasi tentang bentuk rupa kapal itu -diduga sebuah kapal induk- telah ramai dibicarakan.
Kapal Joint Multi-Mission Singapura tampaknya akan seperti kapal pengangkut helikopter yang bisa diubah untuk mengangkut jet tempur F-35.
Martin Diaz yang menulis untuk DefenceAviation mengatakan, tidak diperlukan seorang ahli untuk mengetahui kapal JMMS yang dibangun Singapura adalah kapal induk.
The International Institute of Strategic Studies (IISS) mendefinisikan sebuah kapal induk sebagai kapal “dengan dek penerbangan sepanjang dua pertiga dari panjang kapal.” Namun tidak ada definisi baku dari apa yang disebut sebuah kapal induk.
Sebagai contoh, Soviet menyebut kapal induk Kiev Class dengan Kapal penjelajah/ cruiser untuk menghindari Konvensi Montreux sehingga dapat berlayar melalui Selat Bosporus. Jepang menyebut Hyuga dan yang lebih besar Izumo class sebagai “helicopter destroyer” untuk menghindari kesalahan persepsi.
Jadi kapal JMMS Singapura termasuk “kapal induk” sejauh kriteria karakteristik fisik yang definisikan IISS.
Namun Singapura tidak memberi label JMMS sebagai kapal induk, untuk mengaburkan tujuan sebenarnya. Di luar karakteristik fisik, perlu untuk memeriksa desain yang melekat pada kapal, serta melihat sistem sistemnya, untuk mengetahui peran dan fungsi yang sebenarnya.
Pembangunan JMMS bukanlah sebuah kejutan bagi siapa pun. Galangan kapal Singapura, Singapore Technologies Marine (STM) telah siap menunjukkan kemampuannya untuk membangun kapal perang yang memiliki deck seperti desain Endurance-160 Multi-Role Support Ship yang replikanya pertama kali ditampilkan di Euronaval 2010.
Kabarnya kapal ini terinspirasi oleh San Giorgio Class Italia, Endurance-160 pada awalnya ditujukan untuk pasar ekspor, tetapi sampai saat ini tidak menemukan pembeli asing. Hal ini dapat dikaitkan dengan pasar yang kompetitif untuk Kapal Deck-Multi-Role Support. STM harus bersaing dengan banyak pesaing dari Barat dan Asia. Kini Singapura memiliki potensi untuk menjadi pelanggan pertama dari Endurance-160.
Dengan panjang 163,7 meter, dan berat 14.500 ton Kapal Endurance-160 adalah salah satu kapal yang terkecil dari jenisnya. Sebagai perbandingan, Dokdo class Korea Selatan, yang mungkin salah satu yang paling dekat dalam ukuran, yakni panjang 199 meter dan berat 18.800 ton fully-loaded. Jepang Osumi class memiliki panjang 178 meter dan bobot 14.000 ton fully-loaded.
Kapal negara Barat lebih besar. Kapal yang dibangun Spanyol Juan Carlos I class berukuran panjang 231 meter dan bobot 26.000 ton-fully-loaded. Australia memperoleh sepasang kapal tersebut, yang dinamakan Canberra class. Mistral class buatan Perancis panjang 199 meter dan bobot 21.300 ton fully loaded.
Ukuran fisik tidak penting. Secara teori, semakin besar lambung kapal, semakin besar kapasitas angkut, jangkauan lebih jauh, daya tahan dan kemampuan mengarungi laut juga semakin besar. Namun desain yang melekat pada kapal, menjadi faktor yang lebih penting dalam menentukan peran yang sebenarnya dan misi yang ditujukan untuk kapal tersebut. ⚓️ JMMS Endurance-160
Sebenarnya tidak ada kepura-puraan tentang JMMS dirancang untuk apa. Ini adalah kapal multi-peran dikonfigurasi untuk beberapa misi yang berbeda : serangan amfibi, bantuan kemanusiaan dan bantuan bencana (HA / DR), pengisian/suplai, kapal rumah sakit, komando dan pusat kontrol, dan sebagainya. Dek penerbangan yang penuh di sepanjang permukaan kapal bertujuan untuk mendukung kapasitas dan penerbangan yang lebih besar.
Kapal ini juga memiliki sepasang lift pesawat berbentuk persegi panjang, yang tampaknya dirancang untuk helikopter. Kapal ini tampaknya akan memiliki kapasitas membawa lima helikopter medium dan dua helikopter berat di dek penerbangan yang difasilitasi lima tempat pendaratan helikopter kelas medium. Di bawah Deck penerbangan dapat menyimpan kendaraan ringan.
Dilihat dari dimensi ruang, jelas bahwa Endurance-160 akan dioptimalkan lebih sekedar pembawa helikopter. Endurance-160 bisa difungsikan sebagai kapal induk, untuk jet tempur vertikal short take-off and landing (VSTOL), seperti F-35 Lightning II Joint Strike Fighter yang dikabarkan Singapur semakin dekat dengan pembeliannya.
Modifikasi yang signifikan akan diperlukan, namun yang paling mudah adalah pemasangan lapisan anti-flash khusus di dek penerbangan. Memodifikasi lift pesawat, terutama untuk pesawat sayap tetap bahkan dengan sayap dilipat, menjadi sebuah pekerjaan yang lebih menantang.
Karena ruang perawatan yang lebih besar diperlukan untuk pesawat sayap tetap, Kapal Endurance-160 akan membawa kira-kira delapan pesawat JSF- atau pesawat sejenis sebagai pengganti helikopter medium dan berat. Tidak akan ada ruang yang tersisa untuk tentara, peralatan, kargo, serta dock yang digunakan untuk pendarat pesawat kecil.
Marvin Diaz menganalisa kapal JMMS bisa berfungsi sebagai alternatif yang potensial, sebagai bandar udara lepas pantai jika Pangkalan Angkatan Udara Singapura hancur dalam serangan musuh. Dalam skenario ini, pesawat JSF yang hidup dapat menggunakan JMMS sebagai salah satu pilihan alternatif untuk melakukan tindakan balasan berikutnya.
Namun, sulit membayangkan kapal JMMS dapat memainkan peran seperti itu, mengingat isu-isu modifikasi yang diperlukan seperti yang telah diidentifikasi sebelumnya. Mungkin masih layak bagi pesawat JSF untuk mendarat di dek penerbangan untuk mengisi bahan bakar dan mempersenjatainya kembali. Mereka bisa terbang kembali dalam waktu singkat. Namun kapal tidak dapat menawarkan kapasitas yang banyak untuk serangan balasan. Selain itu, dalam situasi perang, pesawat JSF lebih mungkin dimanfaatkan untuk pertahanan udara dari pada memulai misi “serangan kedua” melawan musuh.
Bahkan jika peran “serangan kedua” dipertimbangkan, komplemen yang tersedia terlalu kecil untuk membuat perbedaan sebagai paket serangan ofensif. Kapal mungkin dapat berfungsi sebagai alternatif pusat kontrol dan komando lepas pantai untuk operasi militer secara keseluruhan, tetapi tidak akan mampu memproyeksikan kekuatan ofensif sendiri.
Jika JMMS digunakan sebagai kapal induk, tidak cukup berbicara tentang kapal itu sendiri. Sebaliknya, ia harus beroperasi sebagai inti dari gugus tugas, yaitu sebagai “sistem dari sebuah sistem.” Karena JMMS hanya bisa membawa persenjataan minimal, dan semua senjata jarak pendek ini dioptimalkan untuk titik pertahanan. Daerah pertahanan yang lebih luas akan diberikan oleh kapal pendamping.
Aset yang tersedia untuk layanan ini adalah enam frigat siluman Formidable Class dari Angkatan Laut Singapura. Setiap kapal dirancang untuk pertahanan udara, anti kapal permukaan dan anti-kapal selam. Dalam peran anti-udara, kapal ini memiliki 32 sistem peluncuran vertikal.
Namun, mengingat bahwa rudal anti-udara yang diperlukan bukan hanya untuk wilyah pertahanan kapal lainnya, terutama yang JMMS, tetapi juga membela diri sendiri, patut dipertanyakan apakah 32 rudal per fregat akan cukup dalam skenario di mana musuh dapat meluncurkan serangan saturasi/ salvo menggunakan udara, permukaan, sub-permukaan dan kekuatan berbasis pantai.
Selain itu, rudal jelajah jarak jauh modern anti-kapal saat ini diperoleh dengan biaya yang relatif rendah. Dengan demikian, mereka dapat digunakan dalam jumlah yang banyak. Untuk menghadapi skenario seperti itu, Singapura mungkin harus mempertimbangkan kapal perang permukaan baru yang dilengkapi dengan muatan yang lebih besar untuk melengkapi atau bahkan menggantikan frigat mereka.
Sangat mungkin bahwa kapal JMMS, memiliki potensi untuk dimodifikasi bagi pesawat sayap tetap dan karena itu berfungsi sebagai kapal induk, yang juga digunakan untuk bantuan kemanusiaan dan bantuan bencana (HA / DR) masa damai.
Pengalaman HA / DR bencana Topan Haiyan yang menyebabkan kerusakan besar di Filipina pada November 2013 menunjukkan kekurangan kapasitas angkatan laut Asia Tenggara dalam menanggapi bencana besar. Tak satu pun dari angkatan laut wilayah ASEAN memiliki kemampuan HA / DR. “kapal induk” Ise-class Jepang secara tepat menunjukkan bagaimana sebuah kapal dengan kapasitas yang lebih besar dapat berguna untuk melakukan HA / DR.
Pemerintah di Asia Tenggara tidak boleh melewatkan pelajaran ini. Jika kemampuan merespon di masa depan harus ditingkatkan, seseorang harus mengambil langkah untuk memimpin. Apa Singapura lakukan dengan JMMS adalah meningkatkan kemampuan daerah untuk menghadapi tantangan keamanan bersama seperti bencana alam. Tampaknya tidak kebetulan bahwa pengumuman dibangunnya JMMS datang sekitar setengah tahun setelah topan Haiyan, saat Menteri Pertahanan Singapura Ng berbicara tentang perlunya mengganti Kapal landing platform dock Endurance-140 yang memiliki kemampuan yang terbatas.
Selain itu, penekanan pada misi HA / DR ini sejalan dengan pernyataan misi Angkatan Bersenjata Singapura, untuk meningkatkan “perdamaian dan keamanan Singapura melalui pencegahan dan diplomasi.” Hal fundamental untuk itu adalah kesediaan yang lebih besar dari Angkatan Bersenjata Singapura untuk berpartisipasi lebih jauh dalam berbagai operasi non-perang seperti misi kontra-pembajakan di Teluk Aden, dan operasi bantuan bencana di Asia Tenggara dan sekitarnya. (nationalinterest.org)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.