Hari ini tepat 34 tahun operasi pembebasan sandera DC-9 Woyla digelar. Pasukan Komando Pasukan Sandi Yudha menyerbu masuk ke kabin pesawat yang dibajak di Bandara Don Muang, Bangkok. Aksi heroik mereka menyelamatkan puluhan penumpang.
Banyak kisah menarik dalam peristiwa tersebut. Salah satunya soal senjata MP5 para personel Kopasandha yang sempat macet. Jika tidak ketahuan, hampir saja operasi ini berakhir dengan kegagalan total yang mungkin akan membuat seluruh pasukan penyerbu dan sandera kehilangan nyawa.
Sintong Panjaitan menceritakan peristiwa tersebut dalam buku biografinya, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando. Buku ini ditulis Hendro Subroto dan diterbitkan Penerbit Buku Kompas tahun 2009.
30 Maret 1981, sebelum berangkat ke Bangkok, pasukan Kopasandha (kini Kopassus TNI AD) dikumpulkan di Kantor Asintel Hankam di Tebet. Mayjen Benny Moerdani memberikan rompi antipeluru yang nantinya akan digunakan sebagaian personel.
Benny kemudian mengambil pistol dan menembak rompi itu dari jarak dekat untuk membuktikan peluru tak bisa menembus rompi.
Kemudian, di bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Benny melihat pasukan antiteror menggunakan senjata M16A1. Benny memanggil Sintong yang saat itu berpangkat Letnan Kolonel.
"Tong, kamu jangan pakai senjata itu. Kalau M16 kamu tembakkan di dalam pesawat, bisa meledak pesawat itu nanti," kata Benny.
Senapan M16A1 memang bukan senapan ideal untuk pertempuran jarak dekat. Selama itu senjata tersebut lebih banyak digunakan untuk pertempuran konvensional.
Benny lalu memberikan senapan serbu H&K MP5 SD-2 kaliber 9 mm. Senjata ini mematikan untuk manusia, tapi tak menimbulkan kerusakan berarti jika mengenai dinding senjata. Karena itu cocok digunakan untuk misi-misi pembebasan sandera dan antiteror.
Sintong sudah pernah menggunakan senjata itu ketika berkunjung ke pusat pelatihan pasukan GSG di Jerman Barat. Namun selain dia, tak satu pun anak buahnya pernah menggunakan MP5.
"Aduh Pak, senjata ini tidak bisa kami pakai," kata Sintong.
"Kalau kamu sudah biasa memegang senjata, semua senjata kan sama. Buka kunci, tarik garis lurus dari fisir menuju penjera ke sasaran, sama saja," balas Benny.
Sintong meminta izin pada Benny untuk mencoba dulu senjata itu. Namun Benny sudah tak sabar. Dia sedikit marah dan memerintahkan seluruh anak buah Sintong segera masuk pesawat menuju Bangkok. Saat itu situasi tegang. Tim antiteror berlomba dengan waktu untuk segera berangkat dan membebaskan sandera.
"Kau takut?" sindir Benny di dalam pesawat.
Sintong menjawab. "Saya ingin berhasil, Pak. Tapi kalau Bapak memerintahkan untuk berangkat, tentu saya akan berangkat."
Bukan apa-apa, Sintong ingin mencoba senjata itu lebih dulu. Dia punya kenangan buruk saat diberi senjata AR-15. Ternyata saat digunakan untuk memberantas PKI, semua senapan baru itu macet. Sintong tak mau peristiwa itu terulang.
Benny diam saja. Tiba-tiba Benny menuju kokpit pesawat DC-10 tersebut. Dia berbicara dengan pilot untuk menunda keberangkatan.
"Hei Batak, turun kau. Bawa anak buahmu!" bentak Benny.
Sintong dan anak buahnya diberi kesempatan untuk mencoba senapan tersebut. Mereka berdiri berjajar dan menembak target kertas yang ditempel.
Namun apa yang terjadi. Pakh! Pakh! Pakh! tak ada peluru yang meledak. Semuanya macet.
Dengan gugup Sintong melapor pada Benny. "Pak, macet semua. Pelurunya..."
Dalam biografinya, Benny Moerdani menceritakan peluru macet tersebut sangat mengejutkan. Untung pasukan belum berangkat, bagaimana pula jika pasukan harus menghadapi teroris dengan peluru majal yang tak mau meletus.
Kenapa peluru tersebut macet? Ada beberapa dugaan. Tapi mungkin karena peluru kaliber 9 mm buatan Jerman itu tak cocok disimpan terlalu lama di tempat dengan kelembaban yang tinggi.
Benny segera memerintahkan anak buahnya untuk mengambil stok peluru baru di markasnya.
Kembali anak buah Sintong mencoba menembakannya. Ternyata setelah peluru diganti, semua senjata berfungsi dengan sempurna.
Dengan senapan inilah para personel baret merah itu kemudian menyerbu masuk kabin DC-9 Woyla. Mereka membebaskan semua sandera dan menewaskan lima pembajak.
Kelak Kopassus menamakan pasukan antiterornya dengan nama Sat-81 Gultor. Angka 81 ini diambil dari tahun terjadinya peristiwa Woyla.
★ merdeka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.