⚓️ Mampu memproduksi alutsista secara mandiri Menanti pengadaan alutsista baru, konsep arrowhead 140 frigate [Babcock]
Tragedi KRI Nanggala-402 belum lama ini seolah mengguncang kesadaran masyarakat tentang pentingnya penguatan dan modernisasi alat utama sistem persenjataan atau alutsista.
Tak hanya menyatakan bahwa peningkatan kualitas alutsista penting dilakukan, masyarakat juga berharap agar Indonesia mampu memproduksi alutsista secara mandiri di masa mendatang. Salah satunya, melalui kerja sama dengan negara maju.
Hal-hal tersebut terungkap melalui jajak pendapat Kompas pekan ini, di mana 92,8 persen responden berpendapat bahwa pemerintah secara berkala perlu menambah alutsista dengan kualitas terbaru atau modernisasi. Selain itu, masyarakat sepakat bahwa dari tiga matra TNI, Angkatan Laut (AL) harus diprioritaskan terkait modernisasi alutsista.
Hampir separuh responden menyatakan, sangat perlu penambahan jumlah alutsista untuk matra laut. Penambahan dapat berupa pengadaan kapal perang, kapal selam, kapal patroli, maupun alutsista pendukung matra laut lain.
Tingginya harapan responden pada prioritas pengadaan alutsista di matra laut ini disebut tak lepas dari tragedi KRI Nanggala-402. Prioritas selanjutnya kemudian diharapkan kepada matra darat dan udara, dengan angka yang relatif berimbang, masing-masing di kisaran 26-27 persen.
Secara umum bagi publik, TNI adalah lembaga yang dibanggakan. Di tengah keterbatasan sarana dan prasarana, TNI dinilai tetap mampu berkiprah dengan profesional dan berintegritas menjaga keutuhan NKRI. Hal ini mendorong rasa empati dan penghormatan tinggi bagi institusi.
Hasil jajak pendapat tersebut menunjukkan, publik menilai bahwa pemerintah kurang peduli terhadap penyediaan saranan dan prasarana yang memadai, terlebih terkait pengadaan alutsista yang memiliki deterrence effect (daya penggentaran) tinggi, serta menjamin keselamatan kerja maksimal. Penilaian itu tak lepas dari kekhawatiran responden yang cenderung tak yakin terhadap alutsista yang dimiliki negara saat ini.
Kekhawatiran itu terungkap oleh separuh responden yang mengatakan bahwa kemungkinan TNI memenangi pertempuran memperjuangkan kedaulatan negara adalah sangat kecil dengan kondisi alutsista saat ini. Dugaan ini berdasarkan persepsi responden yang menganggap alutsista Indonesia belum semuanya andal.
Namun demikian, persepsi responden sendiri terhadap keandalan alutsista sangat beragam. Hampir sepertiga bagian responden menganggap sebagian besar alutsista TNI berusia tua dan tidak modern, dan banyak alutsista yang sudah tidak layak lagi digunakan. Sebaliknya, sebagian responden lain justru menilai mayoritas alutsista Indonesia sudah berteknologi modern dan baru.
Keberagaman persepsi tersebut menunjukkan, informasi mengenai kondisi alutsista Indonesia masih terbatas. Keraguan bahwa TNI dapat memenangkan peperangan dengan alutsista yang tersedia mengindikasikan ketidakyakinan publik terhadap keandalan sebagian persenjataan TNI.
Indikasi itu juga diperkuat oleh tragedi KRI Nanggala-402 akibat blackout pada sistem kinerja kapal pada April lalu. Masyarakat tersadar, tugas yang disandang TNI tidak mudah. TNI harus bersiasat dengan alutsista yang sebagian berumur tua dan tidak efisien, sehingga memiliki risiko kecelakaan tinggi.
Menyongsong Kemandirian Alutsista
Rafale Perancis
Jajak pendapat yang sama menyatakan harapan publik agar suatu hari nanti pemerintah dapat memproduksi alutsista secara mandiri. Separuh lebih responden menginginkan Indonesia membeli produk sekaligus menjalin kerja sama produksi alutsista dengan sejumlah negara maju, sehingga terjadi transfer teknologi yang akan memampukan Indonesia membangun industri persenjataan.
Terlebih, selama ini Indonesia sudah memiliki pelaku industri strategis seperti PT PAL Indonesia, PT Dirgantara Indonesia, dan PT Pindad. Melakukan pembelian produk sambil bekerja sama dengan negara produsen dinilai menjadi cara efektif membangun kemandirian nasional. Indonesia dapat terlibat dalam proses produksi atau perakitan alutsista di negara asal, sebelum kemudian perakitan dituntaskan di tanah air.
Masyarakat meyakini, para tenaga ahli dalam negeri yang telah mendapatkan ilmu dan lisensi dari produsen akan dapat membangun dan meningkatkan kualitas alutsista produksi Indonesia. Namun, ada dua hal yang harus jadi catatan dalam menyongsong kemandirian itu.
Pertama, dibutuhkan anggaran besar untuk membeli alutsista yang akan diproduksi secara mandiri. Dengan pembelian cukup banyak, bisa jadi produsen mau berbagi ilmu dan kuota produksi, sebagian di negara produsen dan sisanya di negara pembeli.
Kedua, diperlukan diplomasi politik internasional yang kuat dengan negara produsen. Tanpa hubungan diplomatik dan kepentingan geopolitik yang sama, transfer teknologi dari negara produsen akan cenderung lebih sulit. Khususnya, terkait alutsista yang memiliki deterrence effect tinggi, seperti pesawat tempur, kapal perang, tank, persenjataan antiserangan udara, ataupun persenjataan balistik antarnegara.
Keseriusan pemerintah membangun kemandirian alutsista pun menjadi sangat penting. Selain sebagai penyedia anggaran dan mendapatkan kesepakatan transfer yang tidak mudah, posisi Indonesia sebagai negara nonblok juga cukup dilematis. Umumnya, negara produsen alutsista yang kuat hanya bersedia menjalin kerja sama transfer dengan negara-negara sekutu politik. Misalnya, Korea Selatan dengan Amerika Serikat, atau Korea Utara dengan China dan Rusia.
Tanpa kiblat jelas dengan sejumlah kekuatan geopolitik global itu, peluang mendapat transfer teknologi disebut relatif kecil. Di sisi lain, keluwesan Indonesia membangun hubungan luar negeri berpotensi mendapatkan kerja sama dengan negara manapun tanpa memihak salah satu kepentingan politik. Artinya, peluang kemandirian alutsista Indonesia tetap terbuka lebar.
Sekitar 87 persen responden yakin, suatu saat nanti Indonesia akan mampu memproduksi alutsista secara mandiri, khususnya untuk alutsista yang memiliki kandungan komponen dalam negeri yang sangat besar, atau mayoritas made in Indonesia. Harapan publik ini menjadi sinyal dukungan terhadap peningkatan alutsista sebagai bagian upaya meningkatkan kualitas pertahanan demi menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. (rea)
Tragedi KRI Nanggala-402 belum lama ini seolah mengguncang kesadaran masyarakat tentang pentingnya penguatan dan modernisasi alat utama sistem persenjataan atau alutsista.
Tak hanya menyatakan bahwa peningkatan kualitas alutsista penting dilakukan, masyarakat juga berharap agar Indonesia mampu memproduksi alutsista secara mandiri di masa mendatang. Salah satunya, melalui kerja sama dengan negara maju.
Hal-hal tersebut terungkap melalui jajak pendapat Kompas pekan ini, di mana 92,8 persen responden berpendapat bahwa pemerintah secara berkala perlu menambah alutsista dengan kualitas terbaru atau modernisasi. Selain itu, masyarakat sepakat bahwa dari tiga matra TNI, Angkatan Laut (AL) harus diprioritaskan terkait modernisasi alutsista.
Hampir separuh responden menyatakan, sangat perlu penambahan jumlah alutsista untuk matra laut. Penambahan dapat berupa pengadaan kapal perang, kapal selam, kapal patroli, maupun alutsista pendukung matra laut lain.
Tingginya harapan responden pada prioritas pengadaan alutsista di matra laut ini disebut tak lepas dari tragedi KRI Nanggala-402. Prioritas selanjutnya kemudian diharapkan kepada matra darat dan udara, dengan angka yang relatif berimbang, masing-masing di kisaran 26-27 persen.
Secara umum bagi publik, TNI adalah lembaga yang dibanggakan. Di tengah keterbatasan sarana dan prasarana, TNI dinilai tetap mampu berkiprah dengan profesional dan berintegritas menjaga keutuhan NKRI. Hal ini mendorong rasa empati dan penghormatan tinggi bagi institusi.
Hasil jajak pendapat tersebut menunjukkan, publik menilai bahwa pemerintah kurang peduli terhadap penyediaan saranan dan prasarana yang memadai, terlebih terkait pengadaan alutsista yang memiliki deterrence effect (daya penggentaran) tinggi, serta menjamin keselamatan kerja maksimal. Penilaian itu tak lepas dari kekhawatiran responden yang cenderung tak yakin terhadap alutsista yang dimiliki negara saat ini.
Kekhawatiran itu terungkap oleh separuh responden yang mengatakan bahwa kemungkinan TNI memenangi pertempuran memperjuangkan kedaulatan negara adalah sangat kecil dengan kondisi alutsista saat ini. Dugaan ini berdasarkan persepsi responden yang menganggap alutsista Indonesia belum semuanya andal.
Namun demikian, persepsi responden sendiri terhadap keandalan alutsista sangat beragam. Hampir sepertiga bagian responden menganggap sebagian besar alutsista TNI berusia tua dan tidak modern, dan banyak alutsista yang sudah tidak layak lagi digunakan. Sebaliknya, sebagian responden lain justru menilai mayoritas alutsista Indonesia sudah berteknologi modern dan baru.
Keberagaman persepsi tersebut menunjukkan, informasi mengenai kondisi alutsista Indonesia masih terbatas. Keraguan bahwa TNI dapat memenangkan peperangan dengan alutsista yang tersedia mengindikasikan ketidakyakinan publik terhadap keandalan sebagian persenjataan TNI.
Indikasi itu juga diperkuat oleh tragedi KRI Nanggala-402 akibat blackout pada sistem kinerja kapal pada April lalu. Masyarakat tersadar, tugas yang disandang TNI tidak mudah. TNI harus bersiasat dengan alutsista yang sebagian berumur tua dan tidak efisien, sehingga memiliki risiko kecelakaan tinggi.
Menyongsong Kemandirian Alutsista
Rafale Perancis
Jajak pendapat yang sama menyatakan harapan publik agar suatu hari nanti pemerintah dapat memproduksi alutsista secara mandiri. Separuh lebih responden menginginkan Indonesia membeli produk sekaligus menjalin kerja sama produksi alutsista dengan sejumlah negara maju, sehingga terjadi transfer teknologi yang akan memampukan Indonesia membangun industri persenjataan.
Terlebih, selama ini Indonesia sudah memiliki pelaku industri strategis seperti PT PAL Indonesia, PT Dirgantara Indonesia, dan PT Pindad. Melakukan pembelian produk sambil bekerja sama dengan negara produsen dinilai menjadi cara efektif membangun kemandirian nasional. Indonesia dapat terlibat dalam proses produksi atau perakitan alutsista di negara asal, sebelum kemudian perakitan dituntaskan di tanah air.
Masyarakat meyakini, para tenaga ahli dalam negeri yang telah mendapatkan ilmu dan lisensi dari produsen akan dapat membangun dan meningkatkan kualitas alutsista produksi Indonesia. Namun, ada dua hal yang harus jadi catatan dalam menyongsong kemandirian itu.
Pertama, dibutuhkan anggaran besar untuk membeli alutsista yang akan diproduksi secara mandiri. Dengan pembelian cukup banyak, bisa jadi produsen mau berbagi ilmu dan kuota produksi, sebagian di negara produsen dan sisanya di negara pembeli.
Kedua, diperlukan diplomasi politik internasional yang kuat dengan negara produsen. Tanpa hubungan diplomatik dan kepentingan geopolitik yang sama, transfer teknologi dari negara produsen akan cenderung lebih sulit. Khususnya, terkait alutsista yang memiliki deterrence effect tinggi, seperti pesawat tempur, kapal perang, tank, persenjataan antiserangan udara, ataupun persenjataan balistik antarnegara.
Keseriusan pemerintah membangun kemandirian alutsista pun menjadi sangat penting. Selain sebagai penyedia anggaran dan mendapatkan kesepakatan transfer yang tidak mudah, posisi Indonesia sebagai negara nonblok juga cukup dilematis. Umumnya, negara produsen alutsista yang kuat hanya bersedia menjalin kerja sama transfer dengan negara-negara sekutu politik. Misalnya, Korea Selatan dengan Amerika Serikat, atau Korea Utara dengan China dan Rusia.
Tanpa kiblat jelas dengan sejumlah kekuatan geopolitik global itu, peluang mendapat transfer teknologi disebut relatif kecil. Di sisi lain, keluwesan Indonesia membangun hubungan luar negeri berpotensi mendapatkan kerja sama dengan negara manapun tanpa memihak salah satu kepentingan politik. Artinya, peluang kemandirian alutsista Indonesia tetap terbuka lebar.
Sekitar 87 persen responden yakin, suatu saat nanti Indonesia akan mampu memproduksi alutsista secara mandiri, khususnya untuk alutsista yang memiliki kandungan komponen dalam negeri yang sangat besar, atau mayoritas made in Indonesia. Harapan publik ini menjadi sinyal dukungan terhadap peningkatan alutsista sebagai bagian upaya meningkatkan kualitas pertahanan demi menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. (rea)
⚓️ CNN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.