⚓️ Berebut Kapal Selam Indonesia (Ilustrasi: Masyudi/SINDOnews)
KAPAL selam apakah yang bakal diakuisi Indonesia? Hingga kini, belum ada keputusan resmi apakah Kementerian Pertahanan (Kemhan) membeli kapal selam made in Prancis atau Jerman. Namun hampir dipastikan, kedua negara produsen alutsista kelas kakap dunia itu memasuki putaran terakhir dan bertarung keras mendapatkan kontrak efektif pembangunan kapal selam.
Persaingan dua perusahaan yang mewakili dua negara utama benua biru --yakni Naval Group Prancis versus Thyssen-Krupp Marine Systems (tkMS) Jerman—jelang tahun terakhir Minimum Essential Force (MEF) 2019-2024 berakhir terasa sengit. Teranyar, Naval Group bahkan memperbaharui proposal kapal selam jenis Scorpene untuk Indonesia akan menggunakan full lithitum-ion batteries (LIB). Dengan demikian, kapal selam jenis Scorpene Evolved ini akan memiliki endurance paling lama dibanding varian Scorpene sebelumnya.
Berdasar berbagai informasi, Scorpene Evolved mampu menyelam selama 80 hari- 78 di antaranya dalam posisi menyelam, dengan jangkauan operasional lebih dari 8.000 mil laut, memiliki lower indiscretion rate, dan mampu mempertahankan kecepatan tertinggi lebih lama. Kapasitas ini dimiliki karena LIB bisa menyimpan dan menyalurkan lebih banyak energi dengan waktu pengisian lebih singkat dibandingkan baterai timbal-asam (lead-acid batteries).
Sebelum Scorpene Evolved, Naval Group mengajukan kapal selam kelas Riachuelo. Kapal selam jenis ini merupakan modifikasi dari kelas Scorpene, dengan ukuran lebih panjang, memiliki jarak patrol dua kali lipat, fungsi multiguna untuk operasi di samudra maupun perairan dangkal. Karena itu, Riachuelo bisa diandalkan untuk berbagai misi seperti perang anti-permukaan dan anti-kapal selam, operasi khusus, dan kegiatan intelijen.
Mengapa Naval Group tiba-tiba mengubah proposalnya? Tak lain karena ketatnya persaingan dengan tkMS. Pabrikan tersebut sudah tentu ingin memenangkan tender dengan memberikan penawaran terbaik, termasuk jenis dengan teknologi teranyar. Di sisi lain, manuver ini dikeluarkan tak lama setelah KSAL Laksamana TNI Muhammad Ali mengunjungi galangan produsen Kapal Selam tkMS yang bermarkas di Kiel, Jerman, (25/09).
Pada kesempatan itu, KSAL dan rombongan menerima penjelasan tentang produksi submarine 212/214, pengenalan sejumlah perkembangan jeroan kapaal selam seperti terpedo SUT, konfigurasi sistem senjata, serta sensor pada produk kapal selam yang telah dan sedang dibangun. Secara psikologis, kondisi tersebut membuat was-was Naval Group, karena bisa memupuskan berbagai pendekatan yang selama telah dilakukan.
Sebelumnya, perwakilan tkMS pernah datang ke Jakarta dan bertemu langsung dengan Menhan Prabowo Subianto dan Menteri BUMN Erik Thohir untuk menyerahkan proposal kapal selam Diesel-Listrik (SSK) tipe 214. tkKMS juga pernah menawarkan produk terdahulunya, yakni kapal selam diesel HWD tipe 212. Tentu kepada pihak Indonesia tkMS tidak perlu berbusa-busa untuk meyakinkan otoritas Indonesia untuk menjelaskan kehandalan salah satu kapal selam canggih bertipe hybrid itu.
Dari sejumlah informasi, Tipe 214 menggabungkan desain tipe 209 dan tipe 212A yang telah lahir sebelumnya. Penggabungan ini memberi solusi penghematan biaya operasional signifikan dan menjadi opsi terbaik untuk digunakan bagi angkatan laut global. Selain ekonomis, kapal dapat memuat 8 tabung senjata, menyelam di kedalaman laut hingga 400 meter (1.300 kaki).
Dengan teknologi fuel cell air-independent propulsion (AIP) system terbaru ini, tipe 214 ini teruji meningkatkan ketahanan saat berada di kedalaman laut, mampu beroperasi hingga 84 hari, dan bisa mengurangi risiko terdeteksi dengan dukungan upgrade dari kapabilitas sonar. Selain itu, tipe 214 fleksibel untuk dioperasikan di perairan pesisir mapun laut lepas.
Untuk persenjataan yang ditentengnya juga tidak kaleng-kaleng, bisa membawa torpedo, rudal, dan ranjau. Kecanggihan inilah yang menarik Korea Selatan, Turki, Yunani, dan Israel untuk menjadikannya sebagai tulang punggung armada lautnya.
Selain kecanggihan dan kemampuan battle proven, apa lagi yang ditawarkan tkMS? Perusahaan tersebut ternyata telah menegaskan tidak akan memberikan transfer of technology (ToT) seperti halnya telah ditawarkan Naval Group. Di injury time pertarungan, mereka hanya berani menawarkan penurunan harga untuk pembelian unit ke empat.
Untuk diketahui, proyeksi kekuatan TNI AL pada 2025–2045 menempatkan pengadaan kapal selam sebagai prioritas. Menhan Prabowo Subianto beberapa saat setelah musibah KRI Nanggala-402 mengatakan akan menambah 3 kapal selam baru. Namun sesuai target MEF III, TNI AL harus memiliki total 12 kapal selam. Dengan begitu, perlu ada penambahan 8 kapal selam baru.
Sejumlah Parameter
Munculnya dua nama pabrikan kapal selam terkemuka dunia tersebut dalam rencana akuisisi kapal selam beberapa waktu belakangan secara tidak langsung mengindikasikan bahwa mereka lah yang memasuki babak final pertarungan tender pembelian kapal selam untuk TNI AL.
Dua produsen lain yang pernah muncul dalam peta persaingan adalah Hanwha Ocean Korea Selatan -perusahaan metamorfosis Daewoo Shipbuilding & Marine Engineering (DSME)- yang menagih komitmen pembuatan tiga kapal selam batch II Chang Bogo Class kepada Pemerintah Indonesia, serta Gocuk Naval Shipyard turki yang menawarkan tipe 214.
Terpinggirnya Hanwha dan Gocuk tentu berdasar pertimbangkan aspek teknologi dan strategis. Jika benar pilihan hanya pada Scorpene Evolved dan tipe 214, berarti Kemhan tidak sembarang dalam menentukan kapal selam apa yang akan diakuisisi untuk memperkuat alutsista bahwa air TNI AL. Padahal, kedua perusahaan tersebut sepakat dengan skema ToT, bahkan pembangunan kapal selam dilakukan di Indonesia, tepatnya PT PAL Surabaya.
Pembelian kapal selam memang harus benar-benar berdasar pertimbangan rasional dan matang. Paling tidak, minimal ada tiga aspek yang perlu menjadi patokan, yakni teknologi, strategis, dan mendukung kemandirian alutsista. Pertama, kwalitas teknologi– termasuk di dalamnya jaminan safety atau memberi rasa aman untuk awal kapal selam, harus menjadi syarat multak karena alutsista bawah laut ini sarat dengan risiko seperti menimpa kapal selam Type 093 andalan China yang menghilang pada 22 Agustus lalu saat melakukan misi di Laut Kuning.
Pembelian juga memperhatikan perkembangan geopolitik di kawasan. Jangan sampai pembelian sia-sia karena kapal selam yang diakuisisi memiliki kwalitas dan spesifikasi jauh di bawah kapal selam yang dimiliki negara-negara tetangga. Sehingga, aspek strategis sebagai apex predator atau predator puncak ekosistem laut yang semestinya dihadirkan dengan pembelian kapal selam berharga mahal, tidak terwujud karena kwalitasnya di bawah standar. Bila kondisi ini terjadi, kapal selam tidak akan mampu menjadi game changer dan gagal mewujudkan daya gentar (deterrence effect).
Selain aspek teknologi dan strategis, program akuisisi kapal selam juga tetap harus berpegangan pada Undang-Undang No 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan. Seperti tercantum pada Pasal 44, ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi untuk belanja alutsista dari negara lain seperti belum bisa dibuat di dalam negeri, mengikutsertakan partisipasi industri pertahanan, kewajiban alih teknologi, jaminan tidak adanya potensi embargo, adanya imbal dagang, kandungan lokal dan/atau offset dengan aturan tertentu.
Patokan tak kalah penting dari setiap impor alutsista seperti diatur dalam undang-undang tersebut antara lain untuk mewujudkan yang profesional, efektif, efisien, terintegrasi, dan inovatif; dan mewujudkan kemandirian pemenuhan alutsista. Digariskan pula bahwa penyelenggaraan industri pertahanan berfungsi untuk memperkuat industri pertahanan, meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja, mewujudkan kemandirian alutsista, serta sebagai sarana meningkatkan SDM tangguh.
Dengan demikian, secara logika kapal selam apakah yang akan dibeli Indonesia adalah yang mampu memberikan berbagai persyaratan yang ditentukan semaksimal mungkin. Perusahaan yang mampu mengajukan proposal terbaik, maka dia lah yang memiliki peluang lebih besar memenangkan pertarungan.
Tawaran Scorpene Evolved Lebih Menarik ?
Secara aspek teknologi maupun aspek strategis, Naval Group maupun tkMS adalah dua perusahaan perkapalan terkemuka Eropa dan Dunia, yang mampu memproduksi berbagai jenis state of the art kapal perang -termasuk kapal selam. Naval Group, misalnya, siapa tidak pernah mendengar kapal LHD kelas Mistral dan kapal fregat multimisi FREMM? Selain dua kapal perang terkemuka tersebut, Naval juga telah memproduksi kapal induk kelas Charles de Gaulle, fregat kelas Belharra, dan fregat kelas Gowind.
Untuk kapal selam, pabrik kebanggaan Prancis ini telah menghasilkan berbagai jenis produk mulai dari subsurface ballistic nuclear submarine (3G SSBN), Baraccuda, Scorpene dan variannya Riachuelo. Semua teknologi tercanggih mampu disematkan Prancis, termasuk dari sisi tenaga berpenggerak nuklir, AIP system, hingga LIB.
Begitu pula tkMS, kapabilitasnya sudah tidak perlu dipertanyakan. Nama fregat kelas F124 dan kelas Meko A-200 menjadi tulang punggung armada laut berbagai negara di dunia. Pun untuk produk kapal selam, pabrikan kebanggaan Jerman ini sudah menghasilkan kapal selam battle proven seperti kelas 209, 212, 214, hingga kelas Dolphin. Untuk teknologi penggerak, tkMS menjadikan HDW fuel cell AIP system sebagai unggulan.
Dengan masing-masing keunggulan yang dimiliki, kapal selam produksi Naval Group dan tkMS relatif memenuhi semua unsur kecanggihan teknologi dan aspek strategis. Kapasitas kapal selam yang umumnya dibutuhkan di antaranya kesenyapan, waktu penyelaman yang lama, mampu beroperasi di berbagai medan yang luas, bisa membuat berbagai jenis dan banyak persenjataan, dan mampu melakukan berbagai operasi serangan.
Dalam inovasi untuk merespons perkembangan dinamika tantangan perang modern, keduanya menempati posisi state of the art. Lantas apa yang membedakan? Naval Group secara tegas menyertakan ToT sebagai bagian dari misi bisnis perusahaan.
Naval Group menyebut, pembangunan keseluruhan atau sebagian kapal selam yang dilakukan dengan mitra lokal memiliki keuntungan ganda, yakni jaminan bahwa kapal memenuhi persyaratan penggunanya dan jaminan dampak sosial-ekonomi positif bagi masyarakat lokal. Komitmen ini sudah ditegaskan dalam konteks rencana akuisis kapal selam Indonesia. Sedangkan di sisi lain, tkMS sudah angkat tangan memenuhi prosedur tersebut.
Komitmen Naval Group bukanlah omong kosong. Dengan India, misalnya, kontrak pembelian 6 kapal selam Scorpene yang kontraknya diteken pada 2005 pembangunannya dilakukan bekerja sama dengan pabrikan lokal, Mazagon Dock Shipbuilders Limited (MDL) yang berbasis di Mumbai. Selain di India, skema ToT juga dilakukan Naval Group -sebelumnya bernama DCNS- membangun kapal Scorpene yang diperbesar untuk Brazil bersama mitral lokal ICN yang bermarkas di Itaquai Brazil.
Dengan Indonesia, Naval Group sudah menyiapkan jalan menuju ToT, tepatnya dengan PT PAL Indonesia. Memorandum of Understanding (MoU) tentang kerjasama research and development kapal selam pun sudah diteken pada Februari 2022. Skema ToT yang dirancang akan menghasilkan 30 persen dari total nilai kontrak yang dikembalikan ke Indonesia dalam bentuk ToT, pengalaman, dan pembukaan ribuan pekerjaan berketrampilan tinggi.
Naval Group pun ternyata telah memberikan arahan kepada PT PAL agar bisa menjadi bagian supply chain, khususnya dalam bidang produksi kapal selam Scorpene. Langkah ini tentu sangat strategis mewujudkan target kemandirian memproduksi kapal selam.
Bahkan lebih jauh, Naval Group dan PT PAL sudah meneken kesepakatan mendirikan Lab Penelitian Energi di Indonesia dengan fokus pengembangan teknologi energi bawah laut di masa depan. Laboratorium ini dapat digunakan untuk mengembangkan teknologi terkait energi lainnya untuk pasar militer dan komersial, termasuk untuk memenuhi kebutuhan baterai LIB untuk Scorpene Evolved di masa depan.
Bila melihat indikator berdasar aspek teknologi, strategis, dan dukungan terhadap kemandiriana teknologi, maka keputusan mengakuisisi kapal selam Scorpene Evolved merupakan pilihan rasional. Sebab, selain selaras dengan amanat Undang-Undang No 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan, komitmen Naval Group untuk membantu Indonesia mencapai kemandirian alutsista -dalam konteks ini membangun kapal selam secara mandiri di masa mendatang- sejatinya bernilai sangat mahal.
Seperti diketahui hanya segelintir negara yang memiliki kapasitas membangun kapal selam, dan tidak semua produsen kapal selam bersedia berbagi kompetensi -baik dari sisi ketrampilan SDM maupun teknologi- kepada negara lain. Selain telah membuktikan komitmen memberi ToT kepada India dan Brazil, kepada Indonesia Naval Group menjanjikan Indonesia akan mampu membangun konstruksi kapal selam sendiri dan mendapatkan pengalaman 100 tahun yang dilewatinya hanya dalam tempo 8 tahun.
Apalagi, Naval Group dan PT PAL sudah bersepakat membangun Lab Penelitian Energi di Indonesia dengan fokus pengembangan teknologi energi bawah laut di masa depan, termasuk mengembangkan LIB untuk Scorpene Evolved. Langkah ini selaras dengan visi dan kebijakan pemerintah melakukan transisi energi. (*) (hdr)
KAPAL selam apakah yang bakal diakuisi Indonesia? Hingga kini, belum ada keputusan resmi apakah Kementerian Pertahanan (Kemhan) membeli kapal selam made in Prancis atau Jerman. Namun hampir dipastikan, kedua negara produsen alutsista kelas kakap dunia itu memasuki putaran terakhir dan bertarung keras mendapatkan kontrak efektif pembangunan kapal selam.
Persaingan dua perusahaan yang mewakili dua negara utama benua biru --yakni Naval Group Prancis versus Thyssen-Krupp Marine Systems (tkMS) Jerman—jelang tahun terakhir Minimum Essential Force (MEF) 2019-2024 berakhir terasa sengit. Teranyar, Naval Group bahkan memperbaharui proposal kapal selam jenis Scorpene untuk Indonesia akan menggunakan full lithitum-ion batteries (LIB). Dengan demikian, kapal selam jenis Scorpene Evolved ini akan memiliki endurance paling lama dibanding varian Scorpene sebelumnya.
Berdasar berbagai informasi, Scorpene Evolved mampu menyelam selama 80 hari- 78 di antaranya dalam posisi menyelam, dengan jangkauan operasional lebih dari 8.000 mil laut, memiliki lower indiscretion rate, dan mampu mempertahankan kecepatan tertinggi lebih lama. Kapasitas ini dimiliki karena LIB bisa menyimpan dan menyalurkan lebih banyak energi dengan waktu pengisian lebih singkat dibandingkan baterai timbal-asam (lead-acid batteries).
Sebelum Scorpene Evolved, Naval Group mengajukan kapal selam kelas Riachuelo. Kapal selam jenis ini merupakan modifikasi dari kelas Scorpene, dengan ukuran lebih panjang, memiliki jarak patrol dua kali lipat, fungsi multiguna untuk operasi di samudra maupun perairan dangkal. Karena itu, Riachuelo bisa diandalkan untuk berbagai misi seperti perang anti-permukaan dan anti-kapal selam, operasi khusus, dan kegiatan intelijen.
Mengapa Naval Group tiba-tiba mengubah proposalnya? Tak lain karena ketatnya persaingan dengan tkMS. Pabrikan tersebut sudah tentu ingin memenangkan tender dengan memberikan penawaran terbaik, termasuk jenis dengan teknologi teranyar. Di sisi lain, manuver ini dikeluarkan tak lama setelah KSAL Laksamana TNI Muhammad Ali mengunjungi galangan produsen Kapal Selam tkMS yang bermarkas di Kiel, Jerman, (25/09).
Pada kesempatan itu, KSAL dan rombongan menerima penjelasan tentang produksi submarine 212/214, pengenalan sejumlah perkembangan jeroan kapaal selam seperti terpedo SUT, konfigurasi sistem senjata, serta sensor pada produk kapal selam yang telah dan sedang dibangun. Secara psikologis, kondisi tersebut membuat was-was Naval Group, karena bisa memupuskan berbagai pendekatan yang selama telah dilakukan.
Sebelumnya, perwakilan tkMS pernah datang ke Jakarta dan bertemu langsung dengan Menhan Prabowo Subianto dan Menteri BUMN Erik Thohir untuk menyerahkan proposal kapal selam Diesel-Listrik (SSK) tipe 214. tkKMS juga pernah menawarkan produk terdahulunya, yakni kapal selam diesel HWD tipe 212. Tentu kepada pihak Indonesia tkMS tidak perlu berbusa-busa untuk meyakinkan otoritas Indonesia untuk menjelaskan kehandalan salah satu kapal selam canggih bertipe hybrid itu.
Dari sejumlah informasi, Tipe 214 menggabungkan desain tipe 209 dan tipe 212A yang telah lahir sebelumnya. Penggabungan ini memberi solusi penghematan biaya operasional signifikan dan menjadi opsi terbaik untuk digunakan bagi angkatan laut global. Selain ekonomis, kapal dapat memuat 8 tabung senjata, menyelam di kedalaman laut hingga 400 meter (1.300 kaki).
Dengan teknologi fuel cell air-independent propulsion (AIP) system terbaru ini, tipe 214 ini teruji meningkatkan ketahanan saat berada di kedalaman laut, mampu beroperasi hingga 84 hari, dan bisa mengurangi risiko terdeteksi dengan dukungan upgrade dari kapabilitas sonar. Selain itu, tipe 214 fleksibel untuk dioperasikan di perairan pesisir mapun laut lepas.
Untuk persenjataan yang ditentengnya juga tidak kaleng-kaleng, bisa membawa torpedo, rudal, dan ranjau. Kecanggihan inilah yang menarik Korea Selatan, Turki, Yunani, dan Israel untuk menjadikannya sebagai tulang punggung armada lautnya.
Selain kecanggihan dan kemampuan battle proven, apa lagi yang ditawarkan tkMS? Perusahaan tersebut ternyata telah menegaskan tidak akan memberikan transfer of technology (ToT) seperti halnya telah ditawarkan Naval Group. Di injury time pertarungan, mereka hanya berani menawarkan penurunan harga untuk pembelian unit ke empat.
Untuk diketahui, proyeksi kekuatan TNI AL pada 2025–2045 menempatkan pengadaan kapal selam sebagai prioritas. Menhan Prabowo Subianto beberapa saat setelah musibah KRI Nanggala-402 mengatakan akan menambah 3 kapal selam baru. Namun sesuai target MEF III, TNI AL harus memiliki total 12 kapal selam. Dengan begitu, perlu ada penambahan 8 kapal selam baru.
Sejumlah Parameter
Munculnya dua nama pabrikan kapal selam terkemuka dunia tersebut dalam rencana akuisisi kapal selam beberapa waktu belakangan secara tidak langsung mengindikasikan bahwa mereka lah yang memasuki babak final pertarungan tender pembelian kapal selam untuk TNI AL.
Dua produsen lain yang pernah muncul dalam peta persaingan adalah Hanwha Ocean Korea Selatan -perusahaan metamorfosis Daewoo Shipbuilding & Marine Engineering (DSME)- yang menagih komitmen pembuatan tiga kapal selam batch II Chang Bogo Class kepada Pemerintah Indonesia, serta Gocuk Naval Shipyard turki yang menawarkan tipe 214.
Terpinggirnya Hanwha dan Gocuk tentu berdasar pertimbangkan aspek teknologi dan strategis. Jika benar pilihan hanya pada Scorpene Evolved dan tipe 214, berarti Kemhan tidak sembarang dalam menentukan kapal selam apa yang akan diakuisisi untuk memperkuat alutsista bahwa air TNI AL. Padahal, kedua perusahaan tersebut sepakat dengan skema ToT, bahkan pembangunan kapal selam dilakukan di Indonesia, tepatnya PT PAL Surabaya.
Pembelian kapal selam memang harus benar-benar berdasar pertimbangan rasional dan matang. Paling tidak, minimal ada tiga aspek yang perlu menjadi patokan, yakni teknologi, strategis, dan mendukung kemandirian alutsista. Pertama, kwalitas teknologi– termasuk di dalamnya jaminan safety atau memberi rasa aman untuk awal kapal selam, harus menjadi syarat multak karena alutsista bawah laut ini sarat dengan risiko seperti menimpa kapal selam Type 093 andalan China yang menghilang pada 22 Agustus lalu saat melakukan misi di Laut Kuning.
Pembelian juga memperhatikan perkembangan geopolitik di kawasan. Jangan sampai pembelian sia-sia karena kapal selam yang diakuisisi memiliki kwalitas dan spesifikasi jauh di bawah kapal selam yang dimiliki negara-negara tetangga. Sehingga, aspek strategis sebagai apex predator atau predator puncak ekosistem laut yang semestinya dihadirkan dengan pembelian kapal selam berharga mahal, tidak terwujud karena kwalitasnya di bawah standar. Bila kondisi ini terjadi, kapal selam tidak akan mampu menjadi game changer dan gagal mewujudkan daya gentar (deterrence effect).
Selain aspek teknologi dan strategis, program akuisisi kapal selam juga tetap harus berpegangan pada Undang-Undang No 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan. Seperti tercantum pada Pasal 44, ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi untuk belanja alutsista dari negara lain seperti belum bisa dibuat di dalam negeri, mengikutsertakan partisipasi industri pertahanan, kewajiban alih teknologi, jaminan tidak adanya potensi embargo, adanya imbal dagang, kandungan lokal dan/atau offset dengan aturan tertentu.
Patokan tak kalah penting dari setiap impor alutsista seperti diatur dalam undang-undang tersebut antara lain untuk mewujudkan yang profesional, efektif, efisien, terintegrasi, dan inovatif; dan mewujudkan kemandirian pemenuhan alutsista. Digariskan pula bahwa penyelenggaraan industri pertahanan berfungsi untuk memperkuat industri pertahanan, meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja, mewujudkan kemandirian alutsista, serta sebagai sarana meningkatkan SDM tangguh.
Dengan demikian, secara logika kapal selam apakah yang akan dibeli Indonesia adalah yang mampu memberikan berbagai persyaratan yang ditentukan semaksimal mungkin. Perusahaan yang mampu mengajukan proposal terbaik, maka dia lah yang memiliki peluang lebih besar memenangkan pertarungan.
Tawaran Scorpene Evolved Lebih Menarik ?
Secara aspek teknologi maupun aspek strategis, Naval Group maupun tkMS adalah dua perusahaan perkapalan terkemuka Eropa dan Dunia, yang mampu memproduksi berbagai jenis state of the art kapal perang -termasuk kapal selam. Naval Group, misalnya, siapa tidak pernah mendengar kapal LHD kelas Mistral dan kapal fregat multimisi FREMM? Selain dua kapal perang terkemuka tersebut, Naval juga telah memproduksi kapal induk kelas Charles de Gaulle, fregat kelas Belharra, dan fregat kelas Gowind.
Untuk kapal selam, pabrik kebanggaan Prancis ini telah menghasilkan berbagai jenis produk mulai dari subsurface ballistic nuclear submarine (3G SSBN), Baraccuda, Scorpene dan variannya Riachuelo. Semua teknologi tercanggih mampu disematkan Prancis, termasuk dari sisi tenaga berpenggerak nuklir, AIP system, hingga LIB.
Begitu pula tkMS, kapabilitasnya sudah tidak perlu dipertanyakan. Nama fregat kelas F124 dan kelas Meko A-200 menjadi tulang punggung armada laut berbagai negara di dunia. Pun untuk produk kapal selam, pabrikan kebanggaan Jerman ini sudah menghasilkan kapal selam battle proven seperti kelas 209, 212, 214, hingga kelas Dolphin. Untuk teknologi penggerak, tkMS menjadikan HDW fuel cell AIP system sebagai unggulan.
Dengan masing-masing keunggulan yang dimiliki, kapal selam produksi Naval Group dan tkMS relatif memenuhi semua unsur kecanggihan teknologi dan aspek strategis. Kapasitas kapal selam yang umumnya dibutuhkan di antaranya kesenyapan, waktu penyelaman yang lama, mampu beroperasi di berbagai medan yang luas, bisa membuat berbagai jenis dan banyak persenjataan, dan mampu melakukan berbagai operasi serangan.
Dalam inovasi untuk merespons perkembangan dinamika tantangan perang modern, keduanya menempati posisi state of the art. Lantas apa yang membedakan? Naval Group secara tegas menyertakan ToT sebagai bagian dari misi bisnis perusahaan.
Naval Group menyebut, pembangunan keseluruhan atau sebagian kapal selam yang dilakukan dengan mitra lokal memiliki keuntungan ganda, yakni jaminan bahwa kapal memenuhi persyaratan penggunanya dan jaminan dampak sosial-ekonomi positif bagi masyarakat lokal. Komitmen ini sudah ditegaskan dalam konteks rencana akuisis kapal selam Indonesia. Sedangkan di sisi lain, tkMS sudah angkat tangan memenuhi prosedur tersebut.
Komitmen Naval Group bukanlah omong kosong. Dengan India, misalnya, kontrak pembelian 6 kapal selam Scorpene yang kontraknya diteken pada 2005 pembangunannya dilakukan bekerja sama dengan pabrikan lokal, Mazagon Dock Shipbuilders Limited (MDL) yang berbasis di Mumbai. Selain di India, skema ToT juga dilakukan Naval Group -sebelumnya bernama DCNS- membangun kapal Scorpene yang diperbesar untuk Brazil bersama mitral lokal ICN yang bermarkas di Itaquai Brazil.
Dengan Indonesia, Naval Group sudah menyiapkan jalan menuju ToT, tepatnya dengan PT PAL Indonesia. Memorandum of Understanding (MoU) tentang kerjasama research and development kapal selam pun sudah diteken pada Februari 2022. Skema ToT yang dirancang akan menghasilkan 30 persen dari total nilai kontrak yang dikembalikan ke Indonesia dalam bentuk ToT, pengalaman, dan pembukaan ribuan pekerjaan berketrampilan tinggi.
Naval Group pun ternyata telah memberikan arahan kepada PT PAL agar bisa menjadi bagian supply chain, khususnya dalam bidang produksi kapal selam Scorpene. Langkah ini tentu sangat strategis mewujudkan target kemandirian memproduksi kapal selam.
Bahkan lebih jauh, Naval Group dan PT PAL sudah meneken kesepakatan mendirikan Lab Penelitian Energi di Indonesia dengan fokus pengembangan teknologi energi bawah laut di masa depan. Laboratorium ini dapat digunakan untuk mengembangkan teknologi terkait energi lainnya untuk pasar militer dan komersial, termasuk untuk memenuhi kebutuhan baterai LIB untuk Scorpene Evolved di masa depan.
Bila melihat indikator berdasar aspek teknologi, strategis, dan dukungan terhadap kemandiriana teknologi, maka keputusan mengakuisisi kapal selam Scorpene Evolved merupakan pilihan rasional. Sebab, selain selaras dengan amanat Undang-Undang No 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan, komitmen Naval Group untuk membantu Indonesia mencapai kemandirian alutsista -dalam konteks ini membangun kapal selam secara mandiri di masa mendatang- sejatinya bernilai sangat mahal.
Seperti diketahui hanya segelintir negara yang memiliki kapasitas membangun kapal selam, dan tidak semua produsen kapal selam bersedia berbagi kompetensi -baik dari sisi ketrampilan SDM maupun teknologi- kepada negara lain. Selain telah membuktikan komitmen memberi ToT kepada India dan Brazil, kepada Indonesia Naval Group menjanjikan Indonesia akan mampu membangun konstruksi kapal selam sendiri dan mendapatkan pengalaman 100 tahun yang dilewatinya hanya dalam tempo 8 tahun.
Apalagi, Naval Group dan PT PAL sudah bersepakat membangun Lab Penelitian Energi di Indonesia dengan fokus pengembangan teknologi energi bawah laut di masa depan, termasuk mengembangkan LIB untuk Scorpene Evolved. Langkah ini selaras dengan visi dan kebijakan pemerintah melakukan transisi energi. (*) (hdr)
⚓️ sindonews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.