Saat ini, kekuatan pertahanan kita sangat jauh di bawah standar minimum. Sebagai negara besar, sudah saatnya Indonesia meninggalkan semua peralatan militer yang tua-renta dan rawan celaka. Jatuhnya pesawat Hercules C-130 TNI AU di Medan yang menewaskan lebih 120 orang, pada Selasa pekan ini, sudah cukup menyingkap tabir bahwa alat utama sistem persenjataan (alutsista) Tentara Nasional Indonesia memang begitu rapuh.
Hercules yang jatuh tersebut ternyata buatan tahun 1961, atau sudah berusia 54 tahun. Hingga saat ini, TNI kabarnya masih juga mengandalkan belasan pesawat angkut lawas jenis Hercules sebagai tulang punggung pengiriman logistik ke daerah-daerah terpencil di seluruh Indonesia. Padahal, pesawat-pesawat sudah sangat renta, berusia di atas 35 tahun, dan di banyak negara justru sudah dipensiunkan.
Lalu, mengapa kita masih saja berkutat dengan peralatan militer yang sudah renta itu? Masihkah kita terus membiarkan taruna-taruna muda bangsa gugur di pesawat tua? Kita tidak dalam perlawanan senjata. Para prajurit TNI, dengan peralatan militernya, tidak sedang dalam posisi disiapkan untuk berperang. Tapi, sudah menjadi suatu keharusan bahwa sebuah negara-bangsa wajib memiliki sistem pertahanan yang kuat guna menjaga kedaulatan wilayahnya.
Saat ini, kekuatan pertahanan kita sangat jauh di bawah standar minimum, minimum essential force. Sebagian peralatan tempur, baik milik TNI Angkatan Udara, Angkatan Laut, maupun Angkatan Darat, sudah tua dan tidak layak pakai. TNI AL, misalnya, hanya 40% peralatan tempurnya yang layak pakai. Bisa dibayangkan betapa mudahnya pertahanan laut di perairan Indonesia ditembus oleh angkatan laut negara-negara asing.
Apalagi ketika kondisi peralatan pertahanan kita rata-rata tidak sesuai dengan perkembangan tekonologi. Kondisi yang tak kalah parah dialami TNI AU kita. Dari keseluruhan pesawat milik TNI AU yang berjumlah 90 unit, hanya 57% yang dalam keadaan siap operasi. Tragedi pesawat Hercules C-130 TNI AU di Medan adalah potret nyata untuk hal ini.
Anggaran pertahanan yang terbatas adalah penyebab utama TNI tidak dapat memodernisasikan peralatan tempurnya. Sampai sejauh ini, anggaran pertahanan Indonesia masih di bawah 1% dari produk domestik bruto (PDB). Ini jelas sangat kecil dibandingkan Malaysia dan Singapura yang anggaran pertahanannya di atas 1%. Pada tahun 2015, anggaran TNI senilai Rp 102 triliun, dan yang digunakan untuk alutsista hanya Rp 30 triliun. Selebihnya, anggaran tersebut habis tersedot untuk gaji personel dan pensiunan TNI serta keperluan lainnya.
Dengan anggaran sebesar itu kita pada akhirnya hanya mampu membeli armada tempur bekas pakai, alias hibah. Akibatnya, kekuatan pertahanan kita pun tetap berada di bawah standar minimum. Ini sangat tidak sebanding dengan luas wilayah RI yang mencapai 5.193.250 kilometer persegi dengan jumlah penduduk sebanyak 245 juta jiwa. Saatnya pemerintah untuk tidak lagi pelit dengan anggaran untuk pertahanan negara kita.
Jangan sampai demi efisiensi anggaran, pemerintah berkeras mempertahankan alutsista yang sudah renta. Ini sangat membahayakan nyawa prajurit. Nyawa prajurit TNI sangat berharga. Dalam situasi damai, jangan ada lagi prajurit muda, tunas-tunas bangsa, yang mati karena alutsista renta. Lebih dari itu, Indonesia adalah Negara besar yang dikelilingi oleh negaranegara besar. Lautnya yang luas dengan ribuan pulau yang membentang dari Sabang hingga ke Merauke, dari Mianggas ke Rote, membutuhkan system pertahanan yang kuat dan kokoh untuk menjaga dan mengawal semuanya itu.
Kita juga punya tapal batas yang kerap diganggu oleh negeri tetangga. Untuk menjaga semuanya itu, kita harus kuat secara ekonomi, politik, dan pertahanan. Ini penting agar kita tidak mudah dilecehkan. Sebaliknya, kita harus kuat, agar kita disegani dan ditakuti. Untuk hal ini, kita teringat akan sebuah adagium terkenal: “Ci vis pacem para bellum,” yang dikemukakan penulis militer Romawi Publius Flavius Vegetius Renatus. Artinya, “Jika ingin damai, siapkan perang.” Penyiapan perang tentu tidak diarahkan pada perlombaan senjata dan provokasi untuk menciptakan perang. Penyiapan di sini tertuju pada upaya yang terus menerus dilakukan untuk membangun, memperbaiki, dan memodernisasi sistem pertahanan negara. Ini adalah PR yang harus diselesaikan pemerintah dan DPR.
Cukup sudah kita selalu dihadapkan dengan pilihan yang terpaksa, yakni membeli barang-barang bekas yang irit dari perhitungan ekonomi, tapi membuat kita selalu kehilangan prajurit-prajurit andal. Itulah makanya pembangunan sistem pertahanan Negara sudah harus menjadi prioritas dan modernisasi alutsista adalah sebuah keharusan.
Ini juga harus disertai dengan komitmen dan semangat besar kita untuk mendorong industri pertahanan dalam negeri agar berkembang lebih baik dan berkontribusi signifikan bagi pertahanan-keamanan negara. Sebagai bangsa besar, kita memang harus punya impian besar, yakni memiliki kekuatan pertahanan yang andal, prajurit yang profesional, dan didukung peralatan modern demi menjaga kedaulatan NKRI dan disegani negara lain. (*)
Hercules yang jatuh tersebut ternyata buatan tahun 1961, atau sudah berusia 54 tahun. Hingga saat ini, TNI kabarnya masih juga mengandalkan belasan pesawat angkut lawas jenis Hercules sebagai tulang punggung pengiriman logistik ke daerah-daerah terpencil di seluruh Indonesia. Padahal, pesawat-pesawat sudah sangat renta, berusia di atas 35 tahun, dan di banyak negara justru sudah dipensiunkan.
Lalu, mengapa kita masih saja berkutat dengan peralatan militer yang sudah renta itu? Masihkah kita terus membiarkan taruna-taruna muda bangsa gugur di pesawat tua? Kita tidak dalam perlawanan senjata. Para prajurit TNI, dengan peralatan militernya, tidak sedang dalam posisi disiapkan untuk berperang. Tapi, sudah menjadi suatu keharusan bahwa sebuah negara-bangsa wajib memiliki sistem pertahanan yang kuat guna menjaga kedaulatan wilayahnya.
Saat ini, kekuatan pertahanan kita sangat jauh di bawah standar minimum, minimum essential force. Sebagian peralatan tempur, baik milik TNI Angkatan Udara, Angkatan Laut, maupun Angkatan Darat, sudah tua dan tidak layak pakai. TNI AL, misalnya, hanya 40% peralatan tempurnya yang layak pakai. Bisa dibayangkan betapa mudahnya pertahanan laut di perairan Indonesia ditembus oleh angkatan laut negara-negara asing.
Apalagi ketika kondisi peralatan pertahanan kita rata-rata tidak sesuai dengan perkembangan tekonologi. Kondisi yang tak kalah parah dialami TNI AU kita. Dari keseluruhan pesawat milik TNI AU yang berjumlah 90 unit, hanya 57% yang dalam keadaan siap operasi. Tragedi pesawat Hercules C-130 TNI AU di Medan adalah potret nyata untuk hal ini.
Anggaran pertahanan yang terbatas adalah penyebab utama TNI tidak dapat memodernisasikan peralatan tempurnya. Sampai sejauh ini, anggaran pertahanan Indonesia masih di bawah 1% dari produk domestik bruto (PDB). Ini jelas sangat kecil dibandingkan Malaysia dan Singapura yang anggaran pertahanannya di atas 1%. Pada tahun 2015, anggaran TNI senilai Rp 102 triliun, dan yang digunakan untuk alutsista hanya Rp 30 triliun. Selebihnya, anggaran tersebut habis tersedot untuk gaji personel dan pensiunan TNI serta keperluan lainnya.
Dengan anggaran sebesar itu kita pada akhirnya hanya mampu membeli armada tempur bekas pakai, alias hibah. Akibatnya, kekuatan pertahanan kita pun tetap berada di bawah standar minimum. Ini sangat tidak sebanding dengan luas wilayah RI yang mencapai 5.193.250 kilometer persegi dengan jumlah penduduk sebanyak 245 juta jiwa. Saatnya pemerintah untuk tidak lagi pelit dengan anggaran untuk pertahanan negara kita.
Jangan sampai demi efisiensi anggaran, pemerintah berkeras mempertahankan alutsista yang sudah renta. Ini sangat membahayakan nyawa prajurit. Nyawa prajurit TNI sangat berharga. Dalam situasi damai, jangan ada lagi prajurit muda, tunas-tunas bangsa, yang mati karena alutsista renta. Lebih dari itu, Indonesia adalah Negara besar yang dikelilingi oleh negaranegara besar. Lautnya yang luas dengan ribuan pulau yang membentang dari Sabang hingga ke Merauke, dari Mianggas ke Rote, membutuhkan system pertahanan yang kuat dan kokoh untuk menjaga dan mengawal semuanya itu.
Kita juga punya tapal batas yang kerap diganggu oleh negeri tetangga. Untuk menjaga semuanya itu, kita harus kuat secara ekonomi, politik, dan pertahanan. Ini penting agar kita tidak mudah dilecehkan. Sebaliknya, kita harus kuat, agar kita disegani dan ditakuti. Untuk hal ini, kita teringat akan sebuah adagium terkenal: “Ci vis pacem para bellum,” yang dikemukakan penulis militer Romawi Publius Flavius Vegetius Renatus. Artinya, “Jika ingin damai, siapkan perang.” Penyiapan perang tentu tidak diarahkan pada perlombaan senjata dan provokasi untuk menciptakan perang. Penyiapan di sini tertuju pada upaya yang terus menerus dilakukan untuk membangun, memperbaiki, dan memodernisasi sistem pertahanan negara. Ini adalah PR yang harus diselesaikan pemerintah dan DPR.
Cukup sudah kita selalu dihadapkan dengan pilihan yang terpaksa, yakni membeli barang-barang bekas yang irit dari perhitungan ekonomi, tapi membuat kita selalu kehilangan prajurit-prajurit andal. Itulah makanya pembangunan sistem pertahanan Negara sudah harus menjadi prioritas dan modernisasi alutsista adalah sebuah keharusan.
Ini juga harus disertai dengan komitmen dan semangat besar kita untuk mendorong industri pertahanan dalam negeri agar berkembang lebih baik dan berkontribusi signifikan bagi pertahanan-keamanan negara. Sebagai bangsa besar, kita memang harus punya impian besar, yakni memiliki kekuatan pertahanan yang andal, prajurit yang profesional, dan didukung peralatan modern demi menjaga kedaulatan NKRI dan disegani negara lain. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.