Foto Kenangan Hercules A-1310 TNI AU [jeff prananda] ★
Sebuah jet tempur F-16 milik TNI Angkatan Udara terbakar setelah gagal lepas landas di Pangkalan Udara (Lanud) Halim Perdanakusuma di Jakarta pada Kamis pagi, 16 April 2015. Tak ada korban jiwa dalam peristiwa itu. Sang pilot, Letnan Kolonel Penerbang Firman Dwi Cahyono, selamat dan hanya mengalami luka ringan.
Insiden itu dianggap peristiwa kecil, barangkali karena tak ada korban jiwa. Para kritikus hanya mengingatkan bahwa pesawat itu adalah satu dari 24 pesawat bekas; bekas militer Amerika Serikat yang kemudian dihibahkan kepada Indonesia. Pesawat buatan tahun 1980 itu bekas dipakai Amerika untuk perang di Irak.
Amerika sudah memperbarui dan meningkatkan kapasitas (up grade) pesawat itu dengan teknologi terbaru sebelum dihibahkan kepada Indonesia. Tapi, kata para kritikus, bekas tetaplah bekas.
Lebih dua bulan setelah kejadian itu, kecelakaan pesawat TNI Angkatan Udara kembali terjadi. Pesawat angkut Hercules jenis C130 jatuh dan menimpa permukiman di Kota Medan, Sumatera Utara, pada Senin siang, 30 Juni 2015. Sebanyak 141 orang tewas (per 1 Juli 2015) tewas dalam insiden itu, termasuk para prajurit TNI dan warga sipil di pesawat itu serta warga kota yang tertimpa.
Peristiwa itu barulah menggugah kesadaran Presiden Joko Widodo. Kepala Negara segera memberikan arahan tentang pola pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI. Soalnya pesawat nahas itu sudah sangat uzur dan disebut hasil hibah dari Australia pada tahun 1961. Artinya, pesawat itu sudah beroperasi selama 54 tahun.
"Sistem pengadaan alutsista harus diubah, ini momentum. Tidak boleh lagi hanya membeli senjata tetapi juga bergeser ke modernisasi sistem persenjataan," kata Presiden di sela-sela peringatan Hari Ulang Tahun ke-69 Polri di Lapangan Markas Komando Brimob, Depok, Jawa Barat, Rabu, 01 Juli 2015.
Pola pengadaan alutsista TNI secara menyeluruh, menurut Presiden, harus diarahkan tidak hanya demi mengurangi tingkat kecelakaan, pada kemandirian industri pertahanan dalam negeri. "Agar kita bisa sepenuhnya mengendalikan kesiapan alutsista," katanya.
Menurut Presiden, semua alutsista harus selalu dalam kesiapan operasional tinggi. Pesawat tempur, pesawat angkut, kapal perang, kapal selam, hingga helikopter, serta perwira dan prajurit TNI yang mengawakinya harus berada dalam kesiapan operasional tinggi.
Bekas dan uzur Kapitan Class menyapa Samudra ★
Catatan kecelakaan alutsista TNI itu hanya sebagian kecil dari sejarah insiden sejenis sepanjang republik ini berdiri. Kecelakaan pesawat jenis Hercules saja sudah empat kali, yakni pada 20 November 1985, 5 Oktober 1991, 20 Mei 2009, dan termutakhir pada 30 Juni 2015. Belum dihitung kecelakaan helikopter dan pesawat jenis lain.
Barang bekas dan uzur sering dituding sebagai biang insiden-insiden itu. Itu tak hanya terjadi pada alutsita TNI Angkatan Udara, melainkan pada Angkatan Laut dan Angkatan Darat.
Sejumlah kapal perang (KRI) pun ada yang eks Angkatan Laut negara-negara besar. Misalnya, KRI Slamet Riyadi dan lima kapal tipe fregat sejenis adalah bekas pakai Angkatan Laut Kerajaan Belanda, yang telah dimutakhirkan atau diperbarui dan ditingkatkan kapasitasnya (up grade).
KRI Kapitan Pattimura dan 14 kapal jenis korvet kelas Parchim serupa pun bekas milik Angkatan Laut Jerman Timur yang dibeli pemerintah Indonesia pada 1990-an. Begitu juga dengan KRI Pulau Romang dan sembilan kapal kelas kondor sejenis yang merupakan bekas militer Jerman Timur.
Sebanyak 104 tank Leopard 2 untuk TNI Angkatan Darat pun merupakan tank tempur utama bekas pakai Angkatan Darat Jerman. Leopard 2 adalah tank tempur utama (main battle tank, MBT) Jerman yang dikembangkan pada awal 1970-an dan mulai digunakan pada 1979.
Pemutakhiran KRI Tombak 629 @ Darwin [Kemlu/GM] ★
Panglima TNI, Jenderal Moeldoko, pernah mengatakan bahwa penggunaan peralataan persenjataan utama bekas yang telah lebih dahulu dimutakhirkan memang bagian dari skenario besar modernisasi alutsista TNI tahun 2015 sampai 2030. Kala itu dia mengungkapkan, dalam konteks pemutakhiran kapal-kapal milik TNI Angkatan Laut yang akan menjalani pembaruan yang disebut mid-life update pada 2015 hingga 2019.
Mid-life update adalah pemeliharaan atau renovasi yang dirancang untuk memperluas kegunaan dan kemampuan alat utama sistem persenjataan militer. Biasanya hampir semua instrumen kapal perang digantikan, CMS (command management system) maupun sistem pendorong.
Biasanya dalam program mid-life update di banyak Angkatan Laut dunia, kapal yang menjalani fase itu akan mendapatkan teknologi CMS yang setara dengan kapal perang yang lebih baru. Pertimbangannya adalah agar lebih menguntungkan dari sisi logistik dalam hal pemeliharaan, juga lebih memudahkan dalam interoperabilitas.
Kementerian Pertahanan telah mencanangkan program jangka menengah sistem pertahanan nasional yang meliputi alutsista. Program itu disebut Minimum Essential Force (MEF) atau pemenuhan kekuatan pokok minimum pertahanan/militer. Program itu dibagi dalam tiga tahap rencana strategis (renstra) yang dimulai tahun 2011 sampai 2024, yakni renstra I (2011-2014), renstra II (2015-2019), renstra III (2020-2024).
Sesuai targetnya, pada 2024, MEF terpenuhi, dan setelahnya, postur militer Indonesia berbicara tataran ideal, bukan minimum lagi. Sekarang baru memasuki renstra II dan masih di awal. Artinya, untuk memenuhi target minimum -belum target maksimum/ideal- saja masih butuh waktu sembilan tahun lagi. TNI masih harus bersabar lebih lama dengan kondisi sebagian alutsista yang bekas dan uzur atau bekas dan uzur tetapi teknologinya sudah dimutakhirkan.
Tentu tidak semua alutsista TNI adalah barang bekas. Banyak pula yang dibeli baru maupun persenjataan generasi terbaru. Bahkan ada pula alutsista yang diproduksi Indonesia atau dialihteknologikan dari negara tertentu kepada Indonesia.
Misalnya, 16 pesawat tempur keluarga Sukhoi buatan Rusia yang, di antaranya, jenis Su-27 dan Su-30. Ada kapal buatan dalam negeri, misalnya, KRI Tombak yang merupakan kapal cepat rudal. Kapal itu diproduksi atau dibangun oleh PT PAL. KRI Clurit, yang juga kapal cepat rudal, dibuat galangan lokal PT Palindo.
Panser Anoa yang merupakan salah satu alutsista andalan militer Indonesia adalah kendaraan militer lapis baja buatan PT Pindad (Persero).
Anggaran cekak KRI Tarakan Kapal BCM TNI AL ★
Pemerintah maupun TNI tentu menginginkan alutsista yang baru tetapi terkendala keterbatasan anggaran. Sejak dibelit krisis moneter tahun 1997, kekuatan TNI hampir compang-camping. Sistem persenjataan Indonesia tertinggal semenjak 15 tahun terakhir sehingga kalah bersaing dengan sistem persenjataan negara-negara tetangga seperti Singapura atau Malaysia.
Kondisi itu juga tak terlepas dari prioritas lain yang lebih diperhatikan pemerintah, terutama sektor ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Di samping itu, dipengaruhi juga sumber daya manusia yang masih terbatas, finansial yang cekak, dan industri pertahanan domestik yang belum berkembang.
Masalah-masalah itu telah disiasati dengan meningkatkan anggaran pertahanan nasional. Namun itu pun belum memadai. Pada 2015, Kementerian Pertahanan menerima anggaran Rp 95 triliun; naik 11,4 persen atau Rp 11,6 triliun dari anggaran tahun 2014 yang sebesar Rp 83,4 triliun.
Dalam sepuluh tahun terakhir, anggaran pertahanan Indonesia meningkat 400 persen; dari Rp 21,42 triliun pada 2004 menjadi Rp 84,47 triliun pada 2013.
Pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah dihitung angka ideal untuk anggaran pertahanan, termasuk modernisasi alutsista, yakni sekitar Rp 170 triliun per tahun (?) atau setara dengan 1,5 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Angka itu diharapkan tercapai pada tahun 2024, sesuai target pencapaian Minimum Essential Force.
Tetapi angka itu pun masih lebih rendah dibanding total belanja alutsista Singapura dan Malaysia yang berkisar 2-3 persen dari total produk domestik bruto.
Malaysia dan Singapura disebut telah memenuhi standard minimum dalam hal anggaran pertahanan yang mencakup kepentingan nasional di sektor ekonomi, perdagangan, dan diplomasi. Rata-rata negara yang berkekuatan pertahanan andal memang memiliki anggaran pertahanan sebesar 2-3 persen.
Sedangkan anggaran pertahanan Indonesia yang disebut mencapai angka ideal Rp 170 triliun per tahun (?) itu hanya 1,5 persen dari APBN. Ditambah wilayah Indonesia yang sangat luas dan terdiri dari ribuan pulau yang dipisahkan laut.
Contoh paling nyata tentang kebutuhan mendesak Indonesia pada alutsista yang memadai ialah kapal patroli untuk menjaga laut. Kementerian Perikanan mencatat potensi kehilangan atau kerugian pendapatan negara hingga Rp 30 triliun per tahun dari kasus pencurian ikan di laut perbatasan saja. Soalnya sampai 2012 Indonesia baru punya 24 kapal patroli yang memadai.
Kepala Staf TNI Angkatan Laut, Laksamana Ade Supandi, mengeluhkan keterbatasan alutsista, terutama untuk mendukung program poros maritim pemerintahan Presiden Joko Widodo.
TNI akan mengkaji ulang seberapa besar kecukupan yang dimiliki Angkatan Laut sekarang, seperti kebutuhan kapal patroli, kebutuhan bahan bakar, serta alat-alat pendukung kegiatan pengawasan yang tidak bisa dilakukan melalui satelit.
Ade Supandi menambahkan bahwa kapal patroli yang ada pun banyak yang tak bisa beroperasi karena terkendala kurang stok bahan bakar minyak (BBM) akibat keterbatasan anggaran. Banyak kapal asing leluasa berlayar memasuki wilayah laut dan yurisdiksi Indonesia untuk mencuri ikan.
Menurutnya, anggaran BBM untuk TNI Angkatan Laut selama setahun tidak cukup untuk mengoperasikan kapal patroli. Pada 2014, TNI Angkatan Laut membutuhkan anggaran Rp 5,6 triliun dari angka ideal Rp 6,1 triliun hanya untuk BBM bagi kapal-kapal patroli. Tapi cuma 28 persen sampai 29 persen yang dipenuhi.
Masalah-masalah itu baru untuk kepentingan nasional. Padahal kekuatan militer sebuah negara juga dituntut juga untuk berperan atau terlibat aktif dalam menjaga stabilitas kawasan dan misi perdamaian dunia. Kawasan Asia Tenggara sangat strategis sekaligus berpotensi besar terjadi perselisihan atau pun gangguan keamanan.
★ Vivanews
Sebuah jet tempur F-16 milik TNI Angkatan Udara terbakar setelah gagal lepas landas di Pangkalan Udara (Lanud) Halim Perdanakusuma di Jakarta pada Kamis pagi, 16 April 2015. Tak ada korban jiwa dalam peristiwa itu. Sang pilot, Letnan Kolonel Penerbang Firman Dwi Cahyono, selamat dan hanya mengalami luka ringan.
Insiden itu dianggap peristiwa kecil, barangkali karena tak ada korban jiwa. Para kritikus hanya mengingatkan bahwa pesawat itu adalah satu dari 24 pesawat bekas; bekas militer Amerika Serikat yang kemudian dihibahkan kepada Indonesia. Pesawat buatan tahun 1980 itu bekas dipakai Amerika untuk perang di Irak.
Amerika sudah memperbarui dan meningkatkan kapasitas (up grade) pesawat itu dengan teknologi terbaru sebelum dihibahkan kepada Indonesia. Tapi, kata para kritikus, bekas tetaplah bekas.
Lebih dua bulan setelah kejadian itu, kecelakaan pesawat TNI Angkatan Udara kembali terjadi. Pesawat angkut Hercules jenis C130 jatuh dan menimpa permukiman di Kota Medan, Sumatera Utara, pada Senin siang, 30 Juni 2015. Sebanyak 141 orang tewas (per 1 Juli 2015) tewas dalam insiden itu, termasuk para prajurit TNI dan warga sipil di pesawat itu serta warga kota yang tertimpa.
Peristiwa itu barulah menggugah kesadaran Presiden Joko Widodo. Kepala Negara segera memberikan arahan tentang pola pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI. Soalnya pesawat nahas itu sudah sangat uzur dan disebut hasil hibah dari Australia pada tahun 1961. Artinya, pesawat itu sudah beroperasi selama 54 tahun.
"Sistem pengadaan alutsista harus diubah, ini momentum. Tidak boleh lagi hanya membeli senjata tetapi juga bergeser ke modernisasi sistem persenjataan," kata Presiden di sela-sela peringatan Hari Ulang Tahun ke-69 Polri di Lapangan Markas Komando Brimob, Depok, Jawa Barat, Rabu, 01 Juli 2015.
Pola pengadaan alutsista TNI secara menyeluruh, menurut Presiden, harus diarahkan tidak hanya demi mengurangi tingkat kecelakaan, pada kemandirian industri pertahanan dalam negeri. "Agar kita bisa sepenuhnya mengendalikan kesiapan alutsista," katanya.
Menurut Presiden, semua alutsista harus selalu dalam kesiapan operasional tinggi. Pesawat tempur, pesawat angkut, kapal perang, kapal selam, hingga helikopter, serta perwira dan prajurit TNI yang mengawakinya harus berada dalam kesiapan operasional tinggi.
Bekas dan uzur Kapitan Class menyapa Samudra ★
Catatan kecelakaan alutsista TNI itu hanya sebagian kecil dari sejarah insiden sejenis sepanjang republik ini berdiri. Kecelakaan pesawat jenis Hercules saja sudah empat kali, yakni pada 20 November 1985, 5 Oktober 1991, 20 Mei 2009, dan termutakhir pada 30 Juni 2015. Belum dihitung kecelakaan helikopter dan pesawat jenis lain.
Barang bekas dan uzur sering dituding sebagai biang insiden-insiden itu. Itu tak hanya terjadi pada alutsita TNI Angkatan Udara, melainkan pada Angkatan Laut dan Angkatan Darat.
Sejumlah kapal perang (KRI) pun ada yang eks Angkatan Laut negara-negara besar. Misalnya, KRI Slamet Riyadi dan lima kapal tipe fregat sejenis adalah bekas pakai Angkatan Laut Kerajaan Belanda, yang telah dimutakhirkan atau diperbarui dan ditingkatkan kapasitasnya (up grade).
KRI Kapitan Pattimura dan 14 kapal jenis korvet kelas Parchim serupa pun bekas milik Angkatan Laut Jerman Timur yang dibeli pemerintah Indonesia pada 1990-an. Begitu juga dengan KRI Pulau Romang dan sembilan kapal kelas kondor sejenis yang merupakan bekas militer Jerman Timur.
Sebanyak 104 tank Leopard 2 untuk TNI Angkatan Darat pun merupakan tank tempur utama bekas pakai Angkatan Darat Jerman. Leopard 2 adalah tank tempur utama (main battle tank, MBT) Jerman yang dikembangkan pada awal 1970-an dan mulai digunakan pada 1979.
Pemutakhiran KRI Tombak 629 @ Darwin [Kemlu/GM] ★
Panglima TNI, Jenderal Moeldoko, pernah mengatakan bahwa penggunaan peralataan persenjataan utama bekas yang telah lebih dahulu dimutakhirkan memang bagian dari skenario besar modernisasi alutsista TNI tahun 2015 sampai 2030. Kala itu dia mengungkapkan, dalam konteks pemutakhiran kapal-kapal milik TNI Angkatan Laut yang akan menjalani pembaruan yang disebut mid-life update pada 2015 hingga 2019.
Mid-life update adalah pemeliharaan atau renovasi yang dirancang untuk memperluas kegunaan dan kemampuan alat utama sistem persenjataan militer. Biasanya hampir semua instrumen kapal perang digantikan, CMS (command management system) maupun sistem pendorong.
Biasanya dalam program mid-life update di banyak Angkatan Laut dunia, kapal yang menjalani fase itu akan mendapatkan teknologi CMS yang setara dengan kapal perang yang lebih baru. Pertimbangannya adalah agar lebih menguntungkan dari sisi logistik dalam hal pemeliharaan, juga lebih memudahkan dalam interoperabilitas.
Kementerian Pertahanan telah mencanangkan program jangka menengah sistem pertahanan nasional yang meliputi alutsista. Program itu disebut Minimum Essential Force (MEF) atau pemenuhan kekuatan pokok minimum pertahanan/militer. Program itu dibagi dalam tiga tahap rencana strategis (renstra) yang dimulai tahun 2011 sampai 2024, yakni renstra I (2011-2014), renstra II (2015-2019), renstra III (2020-2024).
Sesuai targetnya, pada 2024, MEF terpenuhi, dan setelahnya, postur militer Indonesia berbicara tataran ideal, bukan minimum lagi. Sekarang baru memasuki renstra II dan masih di awal. Artinya, untuk memenuhi target minimum -belum target maksimum/ideal- saja masih butuh waktu sembilan tahun lagi. TNI masih harus bersabar lebih lama dengan kondisi sebagian alutsista yang bekas dan uzur atau bekas dan uzur tetapi teknologinya sudah dimutakhirkan.
Tentu tidak semua alutsista TNI adalah barang bekas. Banyak pula yang dibeli baru maupun persenjataan generasi terbaru. Bahkan ada pula alutsista yang diproduksi Indonesia atau dialihteknologikan dari negara tertentu kepada Indonesia.
Misalnya, 16 pesawat tempur keluarga Sukhoi buatan Rusia yang, di antaranya, jenis Su-27 dan Su-30. Ada kapal buatan dalam negeri, misalnya, KRI Tombak yang merupakan kapal cepat rudal. Kapal itu diproduksi atau dibangun oleh PT PAL. KRI Clurit, yang juga kapal cepat rudal, dibuat galangan lokal PT Palindo.
Panser Anoa yang merupakan salah satu alutsista andalan militer Indonesia adalah kendaraan militer lapis baja buatan PT Pindad (Persero).
Anggaran cekak KRI Tarakan Kapal BCM TNI AL ★
Pemerintah maupun TNI tentu menginginkan alutsista yang baru tetapi terkendala keterbatasan anggaran. Sejak dibelit krisis moneter tahun 1997, kekuatan TNI hampir compang-camping. Sistem persenjataan Indonesia tertinggal semenjak 15 tahun terakhir sehingga kalah bersaing dengan sistem persenjataan negara-negara tetangga seperti Singapura atau Malaysia.
Kondisi itu juga tak terlepas dari prioritas lain yang lebih diperhatikan pemerintah, terutama sektor ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Di samping itu, dipengaruhi juga sumber daya manusia yang masih terbatas, finansial yang cekak, dan industri pertahanan domestik yang belum berkembang.
Masalah-masalah itu telah disiasati dengan meningkatkan anggaran pertahanan nasional. Namun itu pun belum memadai. Pada 2015, Kementerian Pertahanan menerima anggaran Rp 95 triliun; naik 11,4 persen atau Rp 11,6 triliun dari anggaran tahun 2014 yang sebesar Rp 83,4 triliun.
Dalam sepuluh tahun terakhir, anggaran pertahanan Indonesia meningkat 400 persen; dari Rp 21,42 triliun pada 2004 menjadi Rp 84,47 triliun pada 2013.
Pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah dihitung angka ideal untuk anggaran pertahanan, termasuk modernisasi alutsista, yakni sekitar Rp 170 triliun per tahun (?) atau setara dengan 1,5 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Angka itu diharapkan tercapai pada tahun 2024, sesuai target pencapaian Minimum Essential Force.
Tetapi angka itu pun masih lebih rendah dibanding total belanja alutsista Singapura dan Malaysia yang berkisar 2-3 persen dari total produk domestik bruto.
Malaysia dan Singapura disebut telah memenuhi standard minimum dalam hal anggaran pertahanan yang mencakup kepentingan nasional di sektor ekonomi, perdagangan, dan diplomasi. Rata-rata negara yang berkekuatan pertahanan andal memang memiliki anggaran pertahanan sebesar 2-3 persen.
Sedangkan anggaran pertahanan Indonesia yang disebut mencapai angka ideal Rp 170 triliun per tahun (?) itu hanya 1,5 persen dari APBN. Ditambah wilayah Indonesia yang sangat luas dan terdiri dari ribuan pulau yang dipisahkan laut.
Contoh paling nyata tentang kebutuhan mendesak Indonesia pada alutsista yang memadai ialah kapal patroli untuk menjaga laut. Kementerian Perikanan mencatat potensi kehilangan atau kerugian pendapatan negara hingga Rp 30 triliun per tahun dari kasus pencurian ikan di laut perbatasan saja. Soalnya sampai 2012 Indonesia baru punya 24 kapal patroli yang memadai.
Kepala Staf TNI Angkatan Laut, Laksamana Ade Supandi, mengeluhkan keterbatasan alutsista, terutama untuk mendukung program poros maritim pemerintahan Presiden Joko Widodo.
TNI akan mengkaji ulang seberapa besar kecukupan yang dimiliki Angkatan Laut sekarang, seperti kebutuhan kapal patroli, kebutuhan bahan bakar, serta alat-alat pendukung kegiatan pengawasan yang tidak bisa dilakukan melalui satelit.
Ade Supandi menambahkan bahwa kapal patroli yang ada pun banyak yang tak bisa beroperasi karena terkendala kurang stok bahan bakar minyak (BBM) akibat keterbatasan anggaran. Banyak kapal asing leluasa berlayar memasuki wilayah laut dan yurisdiksi Indonesia untuk mencuri ikan.
Menurutnya, anggaran BBM untuk TNI Angkatan Laut selama setahun tidak cukup untuk mengoperasikan kapal patroli. Pada 2014, TNI Angkatan Laut membutuhkan anggaran Rp 5,6 triliun dari angka ideal Rp 6,1 triliun hanya untuk BBM bagi kapal-kapal patroli. Tapi cuma 28 persen sampai 29 persen yang dipenuhi.
Masalah-masalah itu baru untuk kepentingan nasional. Padahal kekuatan militer sebuah negara juga dituntut juga untuk berperan atau terlibat aktif dalam menjaga stabilitas kawasan dan misi perdamaian dunia. Kawasan Asia Tenggara sangat strategis sekaligus berpotensi besar terjadi perselisihan atau pun gangguan keamanan.
★ Vivanews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.