Djalaludin Tantu ♣
Patriotisme berasal dari kata “Patriot”, yang artinya adalah pecinta dan pembela tanah air. Sedangkan Patriotisme maksudnya adalah semangat cinta tanah air. Pengertian Patriotisme adalah sikap untuk selalu mencintai atau membela tanah air, seorang pejuang sejati, pejuang bangsa yang mempunyai semangat, sikap dan perilaku cinta tanah air, dimana ia sudi mengorbankan segala-galanya bahkan jiwa sekalipun demi kemajuan, kejayaan dan kemakmuran tanah air. Sikap yang demikian telah dibuktikan oleh putra Gorontalo yang juga sebagai prajurit terbaik TNI AU, Djalaludin Tantu.
Sebagai seorang prajurit Djalaludin Tantu telah memberikan semuanya untuk tanah air, bahkan nyawa satu-satunya. Djalaludin Tantu memutuskan untuk bergabung dengan Angkatan Udara, mengingat pertumbuhan Angkatan Udara erat hubungannya dengan kebangkitan Indonesia. Di benaknya saat itu adalah bagaimana ia bisa ikut menorehkan namanya dalam sejarah perjuangan bangsa dengan tinta emas, meskipun harus rela mengorbankan harta benda bahkan nyawanya sekalipun. Hasratnya yang sangat besar untuk mendarmabaktikan diri pada negara mulai terwujud saat Ia diterima masuk pada sekolah penerbang angkatan VII di Kalijati, Subang bersama dengan 48 siswa lainnya.
Djalaludin Tantu mengikuti semua pelajaran yang diberikan dengan penuh semangat agar bisa menjadi penerbang yang handal dan akhirnya bisa menamatkan sekolah penerbang dengan baik. Dari 49 siswa penerbang yang berhasil menyelesaikan pendidikan dan lulus sebagai penerbang hanya 17 orang, salah satunya Djalaludin Tantu.
Dari 17 penerbang, 5 orang dimasukkan ke sekolah instruktur di Lanud Halim Perdanakusuma, termasuk Djalaludin Tantu. Setelah secara resmi menjadi prajurit TNI AU, Djalaludin Tantu ditempatkan pada Skadron Udara 2 Lanud Cililitan (sekarang Halim Perdanakusuma) yang mengopersionalkan pesawat Dakota.
Disinilah perjuangan putra Gorontalo tersebut dimulai untuk mengobarkan semangat rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke yang pada waktu itu masih berada dalam penguasaan pemerintah kolonial Belanda.Pendaratan di Laut (Ditching) Ilustrasi Dakota T-440 melaksanakan Ditching ♣
Belanda yang saat itu masih menguasai Irian Barat tidak mau menyerahkan kepada Indonesia yang sudah merdeka. Melihat gelagat tersebut Presiden/Panglima tertinggi APRI (Angkatan Perang republik Indonesia) Sukarno melaksanakan rapat raksasa di alun-alun Yogyakarta dan tercetuslah Tri Komando Rakyat (Trikora) yang intinya Irian Barat (sekarang Papua) harus direbut dari tangan Belanda. Untuk merebut Irian Barat dari Belanda dikerahkan semua unsur kekuatan baik Angkatan Darat, Angkatan Laut maupun Angkatan Udara dengan semua kekuatan alutsista yang dimiliki.
Angkatan Udara mengerahkan semua kekuatan udaranya untuk ikut serta dalam operasi Trikora. Pesawat yang digunakan dalam operasi tersebut tidak hanya pesawat tempur saja tetapi juga melibatkan pesawat angkut yaitu pesawat Dakota dari Skadron Udara 2 Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Pesawat Dakota saat itu menggunakan Pangkalan Udara Laha, Ambon sebagai pangkalan operasinya.
Dalam operasi Trikora pembebasan Papua, Djalaludin Tantu sebagai penerbang pesawat Dakota tidak ketinggalan men-dharma baktikan dirinya pada Ibu pertiwi. Sebagai seorang penerbang, Djalaludin Tantu menerbangkan pesawat Dakota T-440 bersama penerbang-penerbang dari Skadron Udara 2 bertugas menerjunkan pasukan di tanah Papua. Djalaludin Tantu bertindak sebagai pilot Dakota T-440 didampingi LU III Sukandar sebagai co pilot. Pesawat take off dari Pangkalan Udara Laha, Ambon tanggal 17 Mei 1962 sekitar pukul 02.00 waktu setempat dengan bantuan sorot lampu mobil untuk memandu di landasan. Pesawat dengan mulus mengangkasa menembus kegelapan menuju Papua untuk menerjunkan pasukan.
Usai menerjunkan pasukan, saat pesawat hendak kembali ke Pangkalan Udara Laha, dalam perjalanan dihadang pesawat Neptune M-273 Belanda. Djalaudin Tantu berusaha untuk menghindar dengan terbang sangat rendah diatas permukaan laut secara zig zag. Keadaan itu tidak berlangsung lama dikarenakan berondongan peluru dari Neptune Belanda mengenai T-440 yang mengakibatkan Dakota terbakar yang membuat Djalaludin Tantu melakukan pendaratan darurat “Ditching” di atas laut sebelah Timur Batu Belah. Dengan menggunakan perahu karet yang tersedia, awak pesawat berusaha menyelamatkan diri tetapi usaha mereka mengalami kegagalan yang akhirnya ditawan Belanda menggunakan kapal Friesland.
Djalaludin Tantu beserta crew pesawat diangkut dengan kapal Belanda Friesland menuju Fak-Fak untuk dijebloskan dalam penjara. Pada hari keempat mereka dibawa ke Kaimana menggunakan kapal kecil “Snelius” dalam keadaan diborgol tangannya. Untuk selanjutnya mereka dipindahkan ke penjara di Kota Baru Waena di Hollandia (sekarang Jayapura) menggunakan pesawat Dakota. Dalam penjara mereka dijaga super ketat, saat siang dijaga oleh Militaire Politie (PM), sedangkan malam hari dijaga oleh Marinir Belanda. Dari Holandia mereka dipindahkan lagi ke penjara Angkatan Laut Belanda di Sorido, Biak, selanjutnya dipindahkan lagi ke penjara di Pulau Wundi, sebuah pulau kecil dekat Biak. Djalaludin Tantu saat ditangkap ♣
Setelah melalui perundingan-perundingan yang memutuskan adanya genjatan senjata antara pihak RI dengan Belanda, akhirnya Djalaludin Tantu beserta crew Dakota T-440 yang dipenjara di Pulau Wundi dibebaskan. Mereka kemudian diserahkan pada pihak Indonesia kemudian diterbangkan ke Jakarta menggunakan pesawat C-130 Hercules dari UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority).
Setelah Operasi Trikora selesai dengan kembalinya Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi, TNI AU kembali harus berjuang yang dikarenakan terjadinya konfrontasi dengan Malaysia. Pada tahun 1964 terjadi konfrontasi dengan Malaysia, Presiden Soekarno mengeluarkan intruksi yang diberi nama Dwi Komando Rakyat (DWIKORA) yang menentang terbentuknya negara Persemakmuran Malaysia. Untuk mendukung operasi tersebut, Angkatan Udara mengerahkan pesawat B-25 Mitchel, UF-1 Albatros, C-130 Hercules, TU-16.
Dalam operasi ini, Djalaludin Tantu yang saat itu sudah berpindah ke Skadron Udara 31 mengoperasikan pesawat C-130 Hercules ikut berjuang mendukung pelaksanaan penerjunan pasukan PGT di wilayah perbatasan dengan Malaysia. Pada saat melaksanakan operasi yang diberi sandi “Operasi Antasari” tanggal 2 September 1964, pesawat angkut C-130 Hercules dengan tail number T-1307 yang diterbangkan Djalaludin Tantu membawa 47 pasukan PGT yang dipimpin Letkol Udara Sugiri Sukani yang bertugas untuk memberi semangat kepada pasukan yang akan diterjunkan di Kalimantan Utara. Pesawat C-130 Hercules T-1307 tersebut membawa delapan crew yaitu co pilot Kapten Pnb Alboin Hutabarat, Navigator Mayor Udara Juamardi, Kapten Udara Suroso, Letnan Udara Satu Sukarno, LMU I Sabil, LMU I Sutopo, serta LMU II M. Rukmana. Pesawat kehilangan kontak dan dinyatakan hilang di perkirakan masuk laut di sekitar perairan Selat Malaka akibat terbang rendah dalam upaya menghindari tangkapan radar lawan. Seluruh penumpangnya dinyatakan gugur, termasuk Djalaludin Tantu, Kapten Pnb Alboin Hutabarat dan Letkol Udara Sugiri Sukani. Mereka adalah patriot pejuang TNI AU yang telah mengabdikan seluruh jiwa raganya untuk ibu pertiwi. Untuk mengenang kepahlawanan dari Djalaludin Tantu, maka namanya dibadikan sebagai nama bandara di tanah kelahirannya Gorontalo.
Selama pengabdian pada TNI AU jabatan yang pernah diemban adalah Perwira Penerbang di Lanud Halim Perdanakusuma (1954), Perwira Penerbang Skadron DAUM (1955), Tugas ke Hongkong Air Craft Engineering (1958), Perwira Penerbang Skadron Udara 2 (1960), Perwira Instruktur tidak tetap 005 Transition (1962) serta Perwira WOPS 001 Halim/Skadron Udara 31 (1964).
Patriotisme berasal dari kata “Patriot”, yang artinya adalah pecinta dan pembela tanah air. Sedangkan Patriotisme maksudnya adalah semangat cinta tanah air. Pengertian Patriotisme adalah sikap untuk selalu mencintai atau membela tanah air, seorang pejuang sejati, pejuang bangsa yang mempunyai semangat, sikap dan perilaku cinta tanah air, dimana ia sudi mengorbankan segala-galanya bahkan jiwa sekalipun demi kemajuan, kejayaan dan kemakmuran tanah air. Sikap yang demikian telah dibuktikan oleh putra Gorontalo yang juga sebagai prajurit terbaik TNI AU, Djalaludin Tantu.
Sebagai seorang prajurit Djalaludin Tantu telah memberikan semuanya untuk tanah air, bahkan nyawa satu-satunya. Djalaludin Tantu memutuskan untuk bergabung dengan Angkatan Udara, mengingat pertumbuhan Angkatan Udara erat hubungannya dengan kebangkitan Indonesia. Di benaknya saat itu adalah bagaimana ia bisa ikut menorehkan namanya dalam sejarah perjuangan bangsa dengan tinta emas, meskipun harus rela mengorbankan harta benda bahkan nyawanya sekalipun. Hasratnya yang sangat besar untuk mendarmabaktikan diri pada negara mulai terwujud saat Ia diterima masuk pada sekolah penerbang angkatan VII di Kalijati, Subang bersama dengan 48 siswa lainnya.
Djalaludin Tantu mengikuti semua pelajaran yang diberikan dengan penuh semangat agar bisa menjadi penerbang yang handal dan akhirnya bisa menamatkan sekolah penerbang dengan baik. Dari 49 siswa penerbang yang berhasil menyelesaikan pendidikan dan lulus sebagai penerbang hanya 17 orang, salah satunya Djalaludin Tantu.
Dari 17 penerbang, 5 orang dimasukkan ke sekolah instruktur di Lanud Halim Perdanakusuma, termasuk Djalaludin Tantu. Setelah secara resmi menjadi prajurit TNI AU, Djalaludin Tantu ditempatkan pada Skadron Udara 2 Lanud Cililitan (sekarang Halim Perdanakusuma) yang mengopersionalkan pesawat Dakota.
Disinilah perjuangan putra Gorontalo tersebut dimulai untuk mengobarkan semangat rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke yang pada waktu itu masih berada dalam penguasaan pemerintah kolonial Belanda.Pendaratan di Laut (Ditching) Ilustrasi Dakota T-440 melaksanakan Ditching ♣
Belanda yang saat itu masih menguasai Irian Barat tidak mau menyerahkan kepada Indonesia yang sudah merdeka. Melihat gelagat tersebut Presiden/Panglima tertinggi APRI (Angkatan Perang republik Indonesia) Sukarno melaksanakan rapat raksasa di alun-alun Yogyakarta dan tercetuslah Tri Komando Rakyat (Trikora) yang intinya Irian Barat (sekarang Papua) harus direbut dari tangan Belanda. Untuk merebut Irian Barat dari Belanda dikerahkan semua unsur kekuatan baik Angkatan Darat, Angkatan Laut maupun Angkatan Udara dengan semua kekuatan alutsista yang dimiliki.
Angkatan Udara mengerahkan semua kekuatan udaranya untuk ikut serta dalam operasi Trikora. Pesawat yang digunakan dalam operasi tersebut tidak hanya pesawat tempur saja tetapi juga melibatkan pesawat angkut yaitu pesawat Dakota dari Skadron Udara 2 Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Pesawat Dakota saat itu menggunakan Pangkalan Udara Laha, Ambon sebagai pangkalan operasinya.
Dalam operasi Trikora pembebasan Papua, Djalaludin Tantu sebagai penerbang pesawat Dakota tidak ketinggalan men-dharma baktikan dirinya pada Ibu pertiwi. Sebagai seorang penerbang, Djalaludin Tantu menerbangkan pesawat Dakota T-440 bersama penerbang-penerbang dari Skadron Udara 2 bertugas menerjunkan pasukan di tanah Papua. Djalaludin Tantu bertindak sebagai pilot Dakota T-440 didampingi LU III Sukandar sebagai co pilot. Pesawat take off dari Pangkalan Udara Laha, Ambon tanggal 17 Mei 1962 sekitar pukul 02.00 waktu setempat dengan bantuan sorot lampu mobil untuk memandu di landasan. Pesawat dengan mulus mengangkasa menembus kegelapan menuju Papua untuk menerjunkan pasukan.
Usai menerjunkan pasukan, saat pesawat hendak kembali ke Pangkalan Udara Laha, dalam perjalanan dihadang pesawat Neptune M-273 Belanda. Djalaudin Tantu berusaha untuk menghindar dengan terbang sangat rendah diatas permukaan laut secara zig zag. Keadaan itu tidak berlangsung lama dikarenakan berondongan peluru dari Neptune Belanda mengenai T-440 yang mengakibatkan Dakota terbakar yang membuat Djalaludin Tantu melakukan pendaratan darurat “Ditching” di atas laut sebelah Timur Batu Belah. Dengan menggunakan perahu karet yang tersedia, awak pesawat berusaha menyelamatkan diri tetapi usaha mereka mengalami kegagalan yang akhirnya ditawan Belanda menggunakan kapal Friesland.
Djalaludin Tantu beserta crew pesawat diangkut dengan kapal Belanda Friesland menuju Fak-Fak untuk dijebloskan dalam penjara. Pada hari keempat mereka dibawa ke Kaimana menggunakan kapal kecil “Snelius” dalam keadaan diborgol tangannya. Untuk selanjutnya mereka dipindahkan ke penjara di Kota Baru Waena di Hollandia (sekarang Jayapura) menggunakan pesawat Dakota. Dalam penjara mereka dijaga super ketat, saat siang dijaga oleh Militaire Politie (PM), sedangkan malam hari dijaga oleh Marinir Belanda. Dari Holandia mereka dipindahkan lagi ke penjara Angkatan Laut Belanda di Sorido, Biak, selanjutnya dipindahkan lagi ke penjara di Pulau Wundi, sebuah pulau kecil dekat Biak. Djalaludin Tantu saat ditangkap ♣
Setelah melalui perundingan-perundingan yang memutuskan adanya genjatan senjata antara pihak RI dengan Belanda, akhirnya Djalaludin Tantu beserta crew Dakota T-440 yang dipenjara di Pulau Wundi dibebaskan. Mereka kemudian diserahkan pada pihak Indonesia kemudian diterbangkan ke Jakarta menggunakan pesawat C-130 Hercules dari UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority).
Setelah Operasi Trikora selesai dengan kembalinya Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi, TNI AU kembali harus berjuang yang dikarenakan terjadinya konfrontasi dengan Malaysia. Pada tahun 1964 terjadi konfrontasi dengan Malaysia, Presiden Soekarno mengeluarkan intruksi yang diberi nama Dwi Komando Rakyat (DWIKORA) yang menentang terbentuknya negara Persemakmuran Malaysia. Untuk mendukung operasi tersebut, Angkatan Udara mengerahkan pesawat B-25 Mitchel, UF-1 Albatros, C-130 Hercules, TU-16.
Dalam operasi ini, Djalaludin Tantu yang saat itu sudah berpindah ke Skadron Udara 31 mengoperasikan pesawat C-130 Hercules ikut berjuang mendukung pelaksanaan penerjunan pasukan PGT di wilayah perbatasan dengan Malaysia. Pada saat melaksanakan operasi yang diberi sandi “Operasi Antasari” tanggal 2 September 1964, pesawat angkut C-130 Hercules dengan tail number T-1307 yang diterbangkan Djalaludin Tantu membawa 47 pasukan PGT yang dipimpin Letkol Udara Sugiri Sukani yang bertugas untuk memberi semangat kepada pasukan yang akan diterjunkan di Kalimantan Utara. Pesawat C-130 Hercules T-1307 tersebut membawa delapan crew yaitu co pilot Kapten Pnb Alboin Hutabarat, Navigator Mayor Udara Juamardi, Kapten Udara Suroso, Letnan Udara Satu Sukarno, LMU I Sabil, LMU I Sutopo, serta LMU II M. Rukmana. Pesawat kehilangan kontak dan dinyatakan hilang di perkirakan masuk laut di sekitar perairan Selat Malaka akibat terbang rendah dalam upaya menghindari tangkapan radar lawan. Seluruh penumpangnya dinyatakan gugur, termasuk Djalaludin Tantu, Kapten Pnb Alboin Hutabarat dan Letkol Udara Sugiri Sukani. Mereka adalah patriot pejuang TNI AU yang telah mengabdikan seluruh jiwa raganya untuk ibu pertiwi. Untuk mengenang kepahlawanan dari Djalaludin Tantu, maka namanya dibadikan sebagai nama bandara di tanah kelahirannya Gorontalo.
Selama pengabdian pada TNI AU jabatan yang pernah diemban adalah Perwira Penerbang di Lanud Halim Perdanakusuma (1954), Perwira Penerbang Skadron DAUM (1955), Tugas ke Hongkong Air Craft Engineering (1958), Perwira Penerbang Skadron Udara 2 (1960), Perwira Instruktur tidak tetap 005 Transition (1962) serta Perwira WOPS 001 Halim/Skadron Udara 31 (1964).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.