Kapal perang USS Lassen yang dipersenjatai rudal pemandu memasuki wilayah 12 mil dari perairan yang diklaim China. (Reuters/US Navy/CPO John Hageman)
Hari-hari belakangan ini tidak hanya dollar AS saja yang demamnya turun naik menghadapi mata uang lawannya. Juga pergerakan militernya di hotspot Laut Cina Selatan (LCS) meningkatkan suhu ketegangan dengan pemilik klaim Cina. Padahal El Nino saja yang sudah meningkatkan suhu air laut, mampu membuat beberapa negara berdampak babak belur diterkam kekeringan panjang.
Paman Sam, seperti biasa yang mengklaim dirinya sebagai polisi dunia tentu merasa tersinggung sekaligus kaget dengan perubahan yang begitu cepat terhadap jalur ekonomi Asia Timur di LCS yang saat ini penuh rambu militer. Dan pemilik rambu militer yang disebar di pulau-pulau kecil di LCS tak lain adalah Paman Mao, sebuah sosok yang tumbuh semakin percaya diri dengan kemampuan ekonomi dan militernya.
Pembangunan pangkalan militer dengan biaya mahal sedang terjadi di kepulauan Spratly. Cina secara diam-diam dan mantap telah menyulap pulau-pulau karang itu menjadi pangkalan AL dan AU berskala besar. Tentu saja AS yang karakternya keras kepala merasa disepelekan dan tersinggung. Tetapi memang hanya AS saja lah yang pantas tersinggung sebab keponakan-keponakan dua Paman tadi yang bernama Vietnam, Filipina, Malaysia dan Brunai hanya mampu meratap, tidak mampu melawan secara militer. Bahkan yang paling lucu salah seorang keponakan yang bernama Malaysia saat ini sudah tidak lagi protes bahkan sudah duduk manis anteng tak peduli dengan klaimnya dulu. Ilustrasi [sputniknews]
AS mengerahkan satu kapal perangnya berkelas destroyer dan akan mengirim lagi dua kapal perang susulan. Itu yang diumumkan. Kita harus paham pasti ada yang tidak diumumkan, namanya juga gerakan militer jelas tidak sepolos pengumumannya. Pasti ada gerakan beberapa kapal perang bayangan, kapal selam nuklir dibawah sana, juga sejumlah drone dan jet tempur F22 Raptor disiagakan atau jangan-jangan sudah melintas karena tanpa terdeteksi.
Ambisi teritori Paman Mao yang juga keras kepala mengklaim perairan LCS sebagai miliknya dengan mengacu pada imperium dinasti-dinasti sebelumnya adalah gambaran sesungguhnya karakter Cina. Apalagi dengan kekuatan sumber daya manusia yang paling gede sedunia mereka memerlukan kekuatan cadangan energi yang besar. LCS memiliki potensi itu, dan Cina sekarang telah mengubah peta klaim disana dengan terlebih dahulu membangun pangkalan militer untuk penguasaan sumber daya energi.
Antisipasi Formasi KRI TNI AL
Mengantisipasi situasi demam tinggi di LCS, Cilangkap mengerahkan sedikitnya 9 KRI kelas striking force ke Natuna, sebuah pulau terluar NKRI yang halaman perairan ZEEnya tumpang tindih dengan klaim Cina. Namanya juga antisipasi, tentu kalau dua Paman tadi bersitegang, sebagai keponakan besar kita juga harus bersiap siaga meski perang terbuka kecil kemungkinannya. Tetapi sebagai psywar tentu “enak juga ditonton” bagaimana menyaksikan manuver-manuver kapal perang dan kalimat-kalimat ejekan militer lewat jalur komunikasi.
Catatannya bagi kita adalah pesan penting dari psywar itu. Yaitu sesegera mungkin mempersiapkan Natuna sebagai benteng militer berkualitas banteng, bukan benteng ayam sayur yang pandai berkukuruyuk tetapi begitu ada dentuman kuat langsung kuyu. Natuna adalah teritori sah NKRI, jadi sangat wajar jika kita menjadikannya benteng banteng, syukur-syukur benteng herder. Sekedar catatan jika saat ini Cina melakukan serangan militer terhadap Natuna maka dalam hitungan jam pulau yang disekitarnya kaya energi fosil itu jatuh dalam kekuasaan Cina.
Tidak berlebihan jika kita perlakukan Natuna lebih militer dari pulau-pulau lainnya karena dia sendirian di utara sana. Sementara di utaranya sedang terjadi demam tinggi yang (sedang dan akan) terus menerus. Natuna adalah harga diri NKRI, maka perkuatan Natuna adalah cermin dari keseriusan kita untuk membangun basis militer penyeimbang. Meski kita tidak ikut dalam konflik LCS tetapi sangat tolol jika kita tidak mempersiapkan diri secara militer.
Sebagai gambaran, pulau setara Natuna yang telah memiliki basis militer kuat adalah pulau Tarakan. Di pulau yang berhadapan dengan Ambalat itu sudah tersedia secara permanen pangkalan AU, pangkalan AL, satuan radar, batalyon organik AD, batalyon Marinir, batalyon Brimob. Oleh sebab itu mempersiapkan Natuna minimal setara Tarakan adalah pekerjaan rumah kita bersama. Jangan sampai berwacana terus akan ini akan itu tetapi gerakan realisasinya seperti jalan keong.
Selain infrastruktur militer berupa pembangunan pangkalan AU dan AL isian alutsistanya pun harus yang terbaru. Jangan sampai meriam penangkis serangan udara “si mbah S60” yang ditransmigrasikan kesana. Pasti diketawain dong. Ini jaman teknologi militer bung, jangan hanya mengobarkan slogan: yang penting semangat patriotik. Alutsista berteknologi terkini harus nomor wahid, lalu penggunaannya dengan semangat patriotik membela NKRI. Itu baru slogan rasional apalagi kalau ditambah kesejahteraan prajurit diperkuat seiring dengan modernisasi alutsista.
Oleh sebab itu penambahan skuadron Sukhoi SU35, skuadron F16 Viper, kapal selam herder, kapal perang fregat bukan pungguk merindukan bulan. Ke depan ini anggaran militer Indonesia akan meningkat kuat apalagi pemerintah dan parlemen sudah seia sekata untuk menjadikan basis anggaran pertahanan 1,5 % dari PDB. Dengan anggaran berformula itu dipastikan daftar belanja alutsista kita akan semakin berwibawa dan berkualitas.
Secara fundamental ekonomi sejatinya kita sudah kuat apalagi saat ini sedang gencar melakukan pembangunan infrastruktur ekonomi. Jika semuanya berjalan cerah maka tahun 2020 Indonesia akan mampu menampilkan kekuatan ekonomi dan pertahanannya secara terang benderang. Natuna pun diniscayakan telah memiliki basis militer modern sebagai salah satu basis harga diri teritori NKRI. Jadi meski dua Paman tadi bersitegang setidaknya kita sudah mampu mencegah agar kaki kita tidak ikut terinjak.
****
Jagarin Pane /30 Oktober 2015
Hari-hari belakangan ini tidak hanya dollar AS saja yang demamnya turun naik menghadapi mata uang lawannya. Juga pergerakan militernya di hotspot Laut Cina Selatan (LCS) meningkatkan suhu ketegangan dengan pemilik klaim Cina. Padahal El Nino saja yang sudah meningkatkan suhu air laut, mampu membuat beberapa negara berdampak babak belur diterkam kekeringan panjang.
Paman Sam, seperti biasa yang mengklaim dirinya sebagai polisi dunia tentu merasa tersinggung sekaligus kaget dengan perubahan yang begitu cepat terhadap jalur ekonomi Asia Timur di LCS yang saat ini penuh rambu militer. Dan pemilik rambu militer yang disebar di pulau-pulau kecil di LCS tak lain adalah Paman Mao, sebuah sosok yang tumbuh semakin percaya diri dengan kemampuan ekonomi dan militernya.
Pembangunan pangkalan militer dengan biaya mahal sedang terjadi di kepulauan Spratly. Cina secara diam-diam dan mantap telah menyulap pulau-pulau karang itu menjadi pangkalan AL dan AU berskala besar. Tentu saja AS yang karakternya keras kepala merasa disepelekan dan tersinggung. Tetapi memang hanya AS saja lah yang pantas tersinggung sebab keponakan-keponakan dua Paman tadi yang bernama Vietnam, Filipina, Malaysia dan Brunai hanya mampu meratap, tidak mampu melawan secara militer. Bahkan yang paling lucu salah seorang keponakan yang bernama Malaysia saat ini sudah tidak lagi protes bahkan sudah duduk manis anteng tak peduli dengan klaimnya dulu. Ilustrasi [sputniknews]
AS mengerahkan satu kapal perangnya berkelas destroyer dan akan mengirim lagi dua kapal perang susulan. Itu yang diumumkan. Kita harus paham pasti ada yang tidak diumumkan, namanya juga gerakan militer jelas tidak sepolos pengumumannya. Pasti ada gerakan beberapa kapal perang bayangan, kapal selam nuklir dibawah sana, juga sejumlah drone dan jet tempur F22 Raptor disiagakan atau jangan-jangan sudah melintas karena tanpa terdeteksi.
Ambisi teritori Paman Mao yang juga keras kepala mengklaim perairan LCS sebagai miliknya dengan mengacu pada imperium dinasti-dinasti sebelumnya adalah gambaran sesungguhnya karakter Cina. Apalagi dengan kekuatan sumber daya manusia yang paling gede sedunia mereka memerlukan kekuatan cadangan energi yang besar. LCS memiliki potensi itu, dan Cina sekarang telah mengubah peta klaim disana dengan terlebih dahulu membangun pangkalan militer untuk penguasaan sumber daya energi.
Antisipasi Formasi KRI TNI AL
Mengantisipasi situasi demam tinggi di LCS, Cilangkap mengerahkan sedikitnya 9 KRI kelas striking force ke Natuna, sebuah pulau terluar NKRI yang halaman perairan ZEEnya tumpang tindih dengan klaim Cina. Namanya juga antisipasi, tentu kalau dua Paman tadi bersitegang, sebagai keponakan besar kita juga harus bersiap siaga meski perang terbuka kecil kemungkinannya. Tetapi sebagai psywar tentu “enak juga ditonton” bagaimana menyaksikan manuver-manuver kapal perang dan kalimat-kalimat ejekan militer lewat jalur komunikasi.
Catatannya bagi kita adalah pesan penting dari psywar itu. Yaitu sesegera mungkin mempersiapkan Natuna sebagai benteng militer berkualitas banteng, bukan benteng ayam sayur yang pandai berkukuruyuk tetapi begitu ada dentuman kuat langsung kuyu. Natuna adalah teritori sah NKRI, jadi sangat wajar jika kita menjadikannya benteng banteng, syukur-syukur benteng herder. Sekedar catatan jika saat ini Cina melakukan serangan militer terhadap Natuna maka dalam hitungan jam pulau yang disekitarnya kaya energi fosil itu jatuh dalam kekuasaan Cina.
Tidak berlebihan jika kita perlakukan Natuna lebih militer dari pulau-pulau lainnya karena dia sendirian di utara sana. Sementara di utaranya sedang terjadi demam tinggi yang (sedang dan akan) terus menerus. Natuna adalah harga diri NKRI, maka perkuatan Natuna adalah cermin dari keseriusan kita untuk membangun basis militer penyeimbang. Meski kita tidak ikut dalam konflik LCS tetapi sangat tolol jika kita tidak mempersiapkan diri secara militer.
Sebagai gambaran, pulau setara Natuna yang telah memiliki basis militer kuat adalah pulau Tarakan. Di pulau yang berhadapan dengan Ambalat itu sudah tersedia secara permanen pangkalan AU, pangkalan AL, satuan radar, batalyon organik AD, batalyon Marinir, batalyon Brimob. Oleh sebab itu mempersiapkan Natuna minimal setara Tarakan adalah pekerjaan rumah kita bersama. Jangan sampai berwacana terus akan ini akan itu tetapi gerakan realisasinya seperti jalan keong.
Selain infrastruktur militer berupa pembangunan pangkalan AU dan AL isian alutsistanya pun harus yang terbaru. Jangan sampai meriam penangkis serangan udara “si mbah S60” yang ditransmigrasikan kesana. Pasti diketawain dong. Ini jaman teknologi militer bung, jangan hanya mengobarkan slogan: yang penting semangat patriotik. Alutsista berteknologi terkini harus nomor wahid, lalu penggunaannya dengan semangat patriotik membela NKRI. Itu baru slogan rasional apalagi kalau ditambah kesejahteraan prajurit diperkuat seiring dengan modernisasi alutsista.
Oleh sebab itu penambahan skuadron Sukhoi SU35, skuadron F16 Viper, kapal selam herder, kapal perang fregat bukan pungguk merindukan bulan. Ke depan ini anggaran militer Indonesia akan meningkat kuat apalagi pemerintah dan parlemen sudah seia sekata untuk menjadikan basis anggaran pertahanan 1,5 % dari PDB. Dengan anggaran berformula itu dipastikan daftar belanja alutsista kita akan semakin berwibawa dan berkualitas.
Secara fundamental ekonomi sejatinya kita sudah kuat apalagi saat ini sedang gencar melakukan pembangunan infrastruktur ekonomi. Jika semuanya berjalan cerah maka tahun 2020 Indonesia akan mampu menampilkan kekuatan ekonomi dan pertahanannya secara terang benderang. Natuna pun diniscayakan telah memiliki basis militer modern sebagai salah satu basis harga diri teritori NKRI. Jadi meski dua Paman tadi bersitegang setidaknya kita sudah mampu mencegah agar kaki kita tidak ikut terinjak.
****
Jagarin Pane /30 Oktober 2015
★ analisisalutsista
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.