Perjanjian Trilateral Ilustrasi KRI Tatihu [TNI AL] ♚
Pemerintah Indonesia, Filipina, dan Malaysia telah mulai melakukan pengamanan berlapis di wilayah Laut Sulu sejak 23 November 2016 lalu, berdasarkan perjanjian trilateral yang ditandatangani di Manila, Filipina.
"Secara de facto, sea corridor(koridor laut) di Laut Sulu sudah berlaku setelah pertemuan di Jogja, awal Mei lalu, tapi SOP (Standar Prosedur Operasional) baru di-endorse(disetujui semua pihak) pada 23 November lalu di Manila," kata Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri RI Lalu Muhammad Iqbal di Jakarta, Selasa.
Pengamanan berlapis berdasarkan perjanjian trilateral Indonesia, Filipina, dan Malaysia tersebut terdiri atas joint patrol (patroli bersama), coordinated patrol (patroli terkoordinasi), dan patroli konvoi.
Pengamanan laut melalui perjanjian trilateral tersebut digagas pemerintah Indonesia untuk merespon maraknya pembajakan di Perairan Sulu yang berbatasan dengan wilayah Malaysia dan Filipina.
Lebih lanjut, Iqbal menjelaskan patroli bersama akan melibatkan instrumen pengamanan laut ketiga negara, patroli terkoordinasi dilakukan masing-masing negara dengan saling memberitahukan posisi masing-masing sehingga tidak ada celah kosong yang dapat dimanfaatkan pembajak di Perairan Sulu.
Sementara itu, patroli konvoi utamanya dilakukan untuk mengawal kapal-kapal nelayan penangkap ikan yang tidak termasuk jalur koridor laut.
"Dengan tiga pengamanan ini akan membuat mereka (pembajak) sulit bergerak," kata dia.
Menurut Iqbal, pembahasan SOP tersebut memang lama karena awalnya, pihak Malaysia belum sepakat karena adanya perbedaan karakter ancaman keamanan di Perairan Sulu dan Sabah, antara lain kapal yang melewati Sulu sebagian besar tugboat yang mengangkut batu bara, sedangkan di perairan Sabah lebih banyak kapal penangkap ikan.
"Tapi, masalah itu sudah di-approach(dilakukan pendekatan) oleh Ibu Menlu (Retno Marsudi) ketika bertemu Menlu Malaysia, dan mereka bilang sebelum pertemuan di Manila, mereka akan adopsi 'draft final' (rancangan akhir) perjanjiannya, dan akhirnya mereka adopsi," kata dia.
Pada 20 Juni 2016, kapal berbendera Indonesia TB Charles dibajak kelompok militan Abu Sayyaf di Laut Sulu dan tujuh Anak Buah Kapal (ABK) WNI disandera di selatan Filipina.
Penyanderaan tersebut berakhir saat pemerintah Indonesia berhasil membebaskan dua WNI atas nama Muhamad Nasir dan Robin Pieter pada Senin (12/12) lalu.
Sebelumnya, dua ABK atas nama Muhammad Sofyan dan Ismail telah berhasil bebas pada pada 7 Agustus 2016, kemudian tiga ABK lainnya, yakni Edi Suryo, Muhammad Mahbrur Dahri, dan Ferry Arifin dibebaskan pada 1 Oktober 2016.
Saat ini, pemerintah Indonesia masih terus berupaya membebaskan empat WNI ABK yang bekerja di kapal-kapal ikan berbendera Malaysia yang diculik kelompok bersenjata di Perairan Sabah, Malaysia, selama periode November hingga Desember 2016. (*)
Pemerintah Indonesia, Filipina, dan Malaysia telah mulai melakukan pengamanan berlapis di wilayah Laut Sulu sejak 23 November 2016 lalu, berdasarkan perjanjian trilateral yang ditandatangani di Manila, Filipina.
"Secara de facto, sea corridor(koridor laut) di Laut Sulu sudah berlaku setelah pertemuan di Jogja, awal Mei lalu, tapi SOP (Standar Prosedur Operasional) baru di-endorse(disetujui semua pihak) pada 23 November lalu di Manila," kata Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri RI Lalu Muhammad Iqbal di Jakarta, Selasa.
Pengamanan berlapis berdasarkan perjanjian trilateral Indonesia, Filipina, dan Malaysia tersebut terdiri atas joint patrol (patroli bersama), coordinated patrol (patroli terkoordinasi), dan patroli konvoi.
Pengamanan laut melalui perjanjian trilateral tersebut digagas pemerintah Indonesia untuk merespon maraknya pembajakan di Perairan Sulu yang berbatasan dengan wilayah Malaysia dan Filipina.
Lebih lanjut, Iqbal menjelaskan patroli bersama akan melibatkan instrumen pengamanan laut ketiga negara, patroli terkoordinasi dilakukan masing-masing negara dengan saling memberitahukan posisi masing-masing sehingga tidak ada celah kosong yang dapat dimanfaatkan pembajak di Perairan Sulu.
Sementara itu, patroli konvoi utamanya dilakukan untuk mengawal kapal-kapal nelayan penangkap ikan yang tidak termasuk jalur koridor laut.
"Dengan tiga pengamanan ini akan membuat mereka (pembajak) sulit bergerak," kata dia.
Menurut Iqbal, pembahasan SOP tersebut memang lama karena awalnya, pihak Malaysia belum sepakat karena adanya perbedaan karakter ancaman keamanan di Perairan Sulu dan Sabah, antara lain kapal yang melewati Sulu sebagian besar tugboat yang mengangkut batu bara, sedangkan di perairan Sabah lebih banyak kapal penangkap ikan.
"Tapi, masalah itu sudah di-approach(dilakukan pendekatan) oleh Ibu Menlu (Retno Marsudi) ketika bertemu Menlu Malaysia, dan mereka bilang sebelum pertemuan di Manila, mereka akan adopsi 'draft final' (rancangan akhir) perjanjiannya, dan akhirnya mereka adopsi," kata dia.
Pada 20 Juni 2016, kapal berbendera Indonesia TB Charles dibajak kelompok militan Abu Sayyaf di Laut Sulu dan tujuh Anak Buah Kapal (ABK) WNI disandera di selatan Filipina.
Penyanderaan tersebut berakhir saat pemerintah Indonesia berhasil membebaskan dua WNI atas nama Muhamad Nasir dan Robin Pieter pada Senin (12/12) lalu.
Sebelumnya, dua ABK atas nama Muhammad Sofyan dan Ismail telah berhasil bebas pada pada 7 Agustus 2016, kemudian tiga ABK lainnya, yakni Edi Suryo, Muhammad Mahbrur Dahri, dan Ferry Arifin dibebaskan pada 1 Oktober 2016.
Saat ini, pemerintah Indonesia masih terus berupaya membebaskan empat WNI ABK yang bekerja di kapal-kapal ikan berbendera Malaysia yang diculik kelompok bersenjata di Perairan Sabah, Malaysia, selama periode November hingga Desember 2016. (*)
♚ Antara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.