Pendidikan crew kapal selam di polandia 1958 (Dispen ALRI) ☆
Hari-hari itu suasana di Jakarta dan kota-kota lain masih muram dan kelabu. Baru beberapa hari lewat berita soal pembunuhan para jenderal Angkatan Darat mengguncang tanah air. Upacara peringatan Angkatan Bersenjata pada 5 Oktober 1965 yang semula akan diselenggarakan besar-besaran dibatalkan.
Kapal-kapal perang Angkatan Laut, termasuk armada kapal selam yang sudah merapat di Pangkalan Tanjung Priok Jakarta, dipulangkan kembali ke “rumahnya” di Surabaya. Baru tiba di Surabaya, Laksamana Muda Purn. R.M. Handogo masih ingat betul tiba-tiba datang perintah untuk segera menghadap Komodor Lalu Manambai Abdulkadir. Bersama Kapten Basuki, dia bergegas berangkat ke Jakarta menggunakan pesawat Garuda. Sebuah fasilitas yang sangat istimewa saat itu.
Dalam pertemuan di Gedung Gita Bahari, Tanjung Priok, Abdulkadir menunjuk Handogo menjadi Komandan RI Bramastra. Sementara Kapten (P) Basuki memimpin RI Nagarangsang. “Kami diinstruksikan membawa kedua kapal itu menuju Karachi, Pakistan,” ujar Handogo saat menuturkan kisah tersebut kepada DetikX, Kamis lalu.
Komodor Abdulkadir juga mewanti-wanti dua perwira itu agar betul-betul merahasiakan penugasan tersebut. Bahkan awak kapal sekali pun tak boleh diberitahukan tempat yang akan dituju. “Semua surat dari kapal juga harus dikumpulkan oleh komandannya,” kata Handogo. “Rute perjalanan pun harus menghindari jalur pelayaran kapal dagang.”
Setelah kembali ke Surabaya rupanya ada perubahan. Handogo yang semula ditunjuk jadi Komandan RI Bramastra akhirnya menjadi Kepala Staf Gugus Tugas X. Gugus Tugas X dibentuk sebagi gugus tugas latihan bersama dengan Angkatan Laut Pakistan di bawah pimpinan Letnan Kolonel (P) Tedy Asikin Natanegara. “Ternyata tugas utamanya untuk membantu negara Pakistan yang bertikai dengan India,” kata Handogo.
RPP diatas Kapal Selam di laut Baltik. (Dispen ALRI)
Saat itu, Pakistan dan India baru menjalani gencatan senjata setelah terlibat pertempuran berdarah selama hampir 20 hari. Baik India maupun Pakistan habis-habisan mengerahkan prajurit dan mesin perangnya dalam pertempuran di laut, di darat, juga di udara. Ditaksir, hampir 7000 prajurit India dan Pakistan tewas dalam baku tembak. Setelah Persatuan Bangsa-bangsa, Amerika Serikat dan Uni Soviet, turun tangan, baru kedua negara menarik mundur tentara dan mesin perangnya pada 23 September 1965.
Operasi Gugus Tugas X dimulai pada 17 Oktober 1965. Kesatuan Angkatan Laut Republik Indonesia yang diutus selain kapal selam yakni dua kapal cepat roket, empat kapal cepat torpedo, dan lima tank amfibi yang ditempatkan di Chittagong, Pakistan Timur yang kemudian menjadi Bangladesh. “Ikut juga satu batalyon pasukan marinir,” ujar Handogo yang menduduki jabatan terakhir sebagai Deputi Operasi Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana M. Romly itu.
Dari Surabaya dua kapal selam itu diperintahkan ke Jakarta untuk mempersiapkan perjalanan panjang. Sebelum bertolak, dua perwira Angkatan Laut Pakistan bergabung dengan mereka sebagai perwira penghubung. Mayor Yastur Malik untuk RI Nagarangsang dan Kapten M. Sultan untuk RI Bramastra. Kelak Yastur Malik menjadi pimpinan tertinggi di Angkatan Laut Pakistan, begitu juga M. Sultan memimpin Angkatan Laut Bangladesh.
Rupanya perjalanan ke Karachi tidak semulus yang direncanakan. Laksamana Muda (Purn) Soentoro yang saat itu bertugas di RI Nagarangsang sebagai Perwira Navigasi menuturkan dalam perjalanan 19 hari perjalanan kapal yang diawakinya mengalami berbagai kerusakan.
Letnan Muda Laut Julius Tiranda di Polandia (dok.pribadi)
Kerusakan paling signifikan, ujar Soentoro, terjadi pada kompresor yang digunakan untuk mengisi udara tekanan tinggi. Udara tekanan tinggi ini sangat penting untuk proses muncul ke permukaan dari posisi menyelam. “Perbaikan kompresor itu tidak berhasil, bahkan kompresor yang satu lagi ikut rusak,” ujar Soentoro, dikutip dari buku 50 Tahun Pengabdian Hiu Kencana 1959-2009.
Kerusakan itu membuat RI Nagarangsang tak bisa menyelam. Padahal pelabuhan tujuan masih sangat jauh. “Kami hanya berdoa mesin diesel tidak ikut mati,” tulis Soentoro. Perjalanan akhirnya tetap dilanjutkan dengan kondisi terbatas. “Untungnya kami bertemu dengan Angkatan Laut Pakistan walau meleset puluhan mil dari titik yang sudah ditentukan.”
Sesampai di Pangkalan Angkatan Laut Pakistan, RI Nagarangsang segera mendapat perbaikan. Latihan perang bersama Angkatan Laut Pakistan dimulai setelah dua kapal cepat Angkatan Laut RI ikut bergabung. Beberapa kali latihan digelar di lepas pantai Pakistan yang berbatasan langsung dengan wilayah laut India.
Situasi perang India-Pakistan mereda saat kapal perang dan prajurit ALRI berada di kawasan tersebut. Bahkan akhirnya kedua negara yang bertikai itu meneken perjanjian damai di Tashkent, Uni Soviet (sekarang Uzbekistan), pada 10 Januari 1966. “Kemungkinan besar karena pengaruh kehadiran kami bisa mencegah pertikaian lebih besar,” ujar Handogo.
Operasi Gugus Tugas X resmi berakhir pada Maret 1966. Sebelum meninggalkan Karachi para perwira diundang khusus Presiden Pakistan Ayub Khan ke Istana Presiden. Sambil menjabat tangan satu persatu Ayub Khan mengucapkan penghargaannya kepada semua anggota Gugus Tugas X. “Kalau tidak ada prajurit Indonesia mungkin Pakistan sudah tidak ada,” ujar Handogo menirukan ucapan Presiden Ayub Khan.
Hari-hari itu suasana di Jakarta dan kota-kota lain masih muram dan kelabu. Baru beberapa hari lewat berita soal pembunuhan para jenderal Angkatan Darat mengguncang tanah air. Upacara peringatan Angkatan Bersenjata pada 5 Oktober 1965 yang semula akan diselenggarakan besar-besaran dibatalkan.
Kapal-kapal perang Angkatan Laut, termasuk armada kapal selam yang sudah merapat di Pangkalan Tanjung Priok Jakarta, dipulangkan kembali ke “rumahnya” di Surabaya. Baru tiba di Surabaya, Laksamana Muda Purn. R.M. Handogo masih ingat betul tiba-tiba datang perintah untuk segera menghadap Komodor Lalu Manambai Abdulkadir. Bersama Kapten Basuki, dia bergegas berangkat ke Jakarta menggunakan pesawat Garuda. Sebuah fasilitas yang sangat istimewa saat itu.
Dalam pertemuan di Gedung Gita Bahari, Tanjung Priok, Abdulkadir menunjuk Handogo menjadi Komandan RI Bramastra. Sementara Kapten (P) Basuki memimpin RI Nagarangsang. “Kami diinstruksikan membawa kedua kapal itu menuju Karachi, Pakistan,” ujar Handogo saat menuturkan kisah tersebut kepada DetikX, Kamis lalu.
Komodor Abdulkadir juga mewanti-wanti dua perwira itu agar betul-betul merahasiakan penugasan tersebut. Bahkan awak kapal sekali pun tak boleh diberitahukan tempat yang akan dituju. “Semua surat dari kapal juga harus dikumpulkan oleh komandannya,” kata Handogo. “Rute perjalanan pun harus menghindari jalur pelayaran kapal dagang.”
Setelah kembali ke Surabaya rupanya ada perubahan. Handogo yang semula ditunjuk jadi Komandan RI Bramastra akhirnya menjadi Kepala Staf Gugus Tugas X. Gugus Tugas X dibentuk sebagi gugus tugas latihan bersama dengan Angkatan Laut Pakistan di bawah pimpinan Letnan Kolonel (P) Tedy Asikin Natanegara. “Ternyata tugas utamanya untuk membantu negara Pakistan yang bertikai dengan India,” kata Handogo.
RPP diatas Kapal Selam di laut Baltik. (Dispen ALRI)
Saat itu, Pakistan dan India baru menjalani gencatan senjata setelah terlibat pertempuran berdarah selama hampir 20 hari. Baik India maupun Pakistan habis-habisan mengerahkan prajurit dan mesin perangnya dalam pertempuran di laut, di darat, juga di udara. Ditaksir, hampir 7000 prajurit India dan Pakistan tewas dalam baku tembak. Setelah Persatuan Bangsa-bangsa, Amerika Serikat dan Uni Soviet, turun tangan, baru kedua negara menarik mundur tentara dan mesin perangnya pada 23 September 1965.
Operasi Gugus Tugas X dimulai pada 17 Oktober 1965. Kesatuan Angkatan Laut Republik Indonesia yang diutus selain kapal selam yakni dua kapal cepat roket, empat kapal cepat torpedo, dan lima tank amfibi yang ditempatkan di Chittagong, Pakistan Timur yang kemudian menjadi Bangladesh. “Ikut juga satu batalyon pasukan marinir,” ujar Handogo yang menduduki jabatan terakhir sebagai Deputi Operasi Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana M. Romly itu.
Dari Surabaya dua kapal selam itu diperintahkan ke Jakarta untuk mempersiapkan perjalanan panjang. Sebelum bertolak, dua perwira Angkatan Laut Pakistan bergabung dengan mereka sebagai perwira penghubung. Mayor Yastur Malik untuk RI Nagarangsang dan Kapten M. Sultan untuk RI Bramastra. Kelak Yastur Malik menjadi pimpinan tertinggi di Angkatan Laut Pakistan, begitu juga M. Sultan memimpin Angkatan Laut Bangladesh.
Rupanya perjalanan ke Karachi tidak semulus yang direncanakan. Laksamana Muda (Purn) Soentoro yang saat itu bertugas di RI Nagarangsang sebagai Perwira Navigasi menuturkan dalam perjalanan 19 hari perjalanan kapal yang diawakinya mengalami berbagai kerusakan.
Letnan Muda Laut Julius Tiranda di Polandia (dok.pribadi)
Kerusakan paling signifikan, ujar Soentoro, terjadi pada kompresor yang digunakan untuk mengisi udara tekanan tinggi. Udara tekanan tinggi ini sangat penting untuk proses muncul ke permukaan dari posisi menyelam. “Perbaikan kompresor itu tidak berhasil, bahkan kompresor yang satu lagi ikut rusak,” ujar Soentoro, dikutip dari buku 50 Tahun Pengabdian Hiu Kencana 1959-2009.
Kerusakan itu membuat RI Nagarangsang tak bisa menyelam. Padahal pelabuhan tujuan masih sangat jauh. “Kami hanya berdoa mesin diesel tidak ikut mati,” tulis Soentoro. Perjalanan akhirnya tetap dilanjutkan dengan kondisi terbatas. “Untungnya kami bertemu dengan Angkatan Laut Pakistan walau meleset puluhan mil dari titik yang sudah ditentukan.”
Sesampai di Pangkalan Angkatan Laut Pakistan, RI Nagarangsang segera mendapat perbaikan. Latihan perang bersama Angkatan Laut Pakistan dimulai setelah dua kapal cepat Angkatan Laut RI ikut bergabung. Beberapa kali latihan digelar di lepas pantai Pakistan yang berbatasan langsung dengan wilayah laut India.
Situasi perang India-Pakistan mereda saat kapal perang dan prajurit ALRI berada di kawasan tersebut. Bahkan akhirnya kedua negara yang bertikai itu meneken perjanjian damai di Tashkent, Uni Soviet (sekarang Uzbekistan), pada 10 Januari 1966. “Kemungkinan besar karena pengaruh kehadiran kami bisa mencegah pertikaian lebih besar,” ujar Handogo.
Operasi Gugus Tugas X resmi berakhir pada Maret 1966. Sebelum meninggalkan Karachi para perwira diundang khusus Presiden Pakistan Ayub Khan ke Istana Presiden. Sambil menjabat tangan satu persatu Ayub Khan mengucapkan penghargaannya kepada semua anggota Gugus Tugas X. “Kalau tidak ada prajurit Indonesia mungkin Pakistan sudah tidak ada,” ujar Handogo menirukan ucapan Presiden Ayub Khan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.