Kelompok pemberontak Kolombia, FARC. (Istimewa)
Referendum Kolombia menolak kesepakatan damai bersejarah dengan pemberontak FARC. Kesepakatan itu ditandatangani pekan lalu oleh Presiden Juan Manuel Santos dan pemimpin FARC Timoleon Jimenez setelah hampir empat tahun perundingan.
Lebih dari 99% pemilih yang datang ke TPS untuk memberikan suaranya dalam referendum Kolombia. Hasilnya, 50,2% menentang kesepakatan itu sementara 49,8% mendukungnya atau berselisih 63.000 orang dari 13 juta suara seperti dikutip dari BBC, Senin (3/10/2016).
Hasil referendum ini sungguh mengejutkan karena dengan begitu proses perdamaian kini diselimuti oleh ketidakpastian. Presiden Santos sebelumnya telah memperingatkan bahwa tidak ada rencana B untuk mengakhiri perang, yang telah menewaskan 260.000 orang.
Ini juga merupakan kemunduran besar untuk Presiden Juan Manuel Santos, yang sejak pemilihannya pada 2010 telah berjanji untuk mengakhiri konflik disalahkan karena menggusur sekitar delapan juta orang.
Kurang dari seminggu yang lalu, Presiden Santos merayakan dengan para pemimpin dunia dan para komandan FARC berakhirnya konflik bersenjata terakhir dan terlama di Amerika Latin pada upacara di kota bersejarah Cartagena.
Pemberontak FARC setuju untuk meletakkan senjata mereka setelah 52 tahun terlibat konflik untuk bergabung dalam proses politik. Para pemberontak sedang membuat rencana untuk meletakkan senjata mereka dan menjadi partai politik dalam waktu enam bulan.
Kelompok oposisi yang menolak perjanjian damai ini dipimpin oleh mantan Presiden berpengaruh Kolombia, Alvaro Uribe. Dia berpendapat bahwa pemerintah memperlakukan FARC terlalu lembek. Dia mengatakan bahwa jika 'tidak' orang menang, pemerintah harus kembali ke meja perundingan.
FARC Tegaskan Ingin Berdamai dengan Pemerintah Kolombia
Pemimpin kelompok pemberontak Kolombia, FARC, Rodrigo Londono menegaskan FARC masih ingin berdamai dengan pemerintah Kolombia. (Istimewa)
Pemimpin kelompok pemberontak Kolombia, FARC, Rodrigo Londono menegaskan, pihaknya memang sedikit kecewa dengan hasil referendum kemarin. Namun, Lonono memastikan FARC masih ingin berdamai dengan pemerintah Kolombia.
Dalam sebuah pernyataan, dia menyakinkan kepada masyarakat Kolombia, bahwa perdamaian antara FARC dengan pemerintah Kolombia akan membawa dampak positifk bagi Kolombia. Salah satunya adalah stabilitas di negara tersebut.
"FARC menegaskan posisi untuk hanya menggunakan kata-kata sebagai senjata untuk membangun masa depan. Untuk orang-orang Kolombia yang bermimpi akan perdamaian, percaya pada kami, perdamaian akan menang," kata Londono, seperti dilansir Al Jazeera pada Senin (3/10).
Dalam referendum yang berlangsung kemarin tersebut, 50,2 persen suara menentang kesepakatan damai, sementara 49,8 persen mendukung kesepakatan damai tersebut.
Presiden Kolombia, Juan Manuel Santos, yang telah mempromosikan kampanye "ya" untuk kesepakatan itu, memastikan bahwa terlepas dari hasil referendum, gencatan senjata bilateral dengan FARC masih berlaku dan harus terus berlaku.
Kesepakatan damai itu diharapkan bisa menghentikan pertempuran antara FARC dan Kolombia yang sudah berlangsung setengah abad. Berdasarkan kesepakatan itu, seluruh anggota FARC diperkenankan untuk kembali masuk dalam komunitas masyarakat, dan diperkenankan untuk membuat partai politik.
Warga Kolombia Tolak Berdamai dengan Pemberontak
Warga Kolombia memutuskan untuk menolak berdamai dengan kelompok pemberontak FARC. (Reuters)
Warga Kolombia memutuskan untuk menolak berdamai dengan kelompok pemberontak FARC. Keputusan ini diketahui paska adanya referendum mengenai kesepakatan damai antara Bogota dan FARC.
Dalam referendum yang berlangsung kemarin tersebut, 50,2 persen suara menentang kesepakatan, sementara 49,8 persen mendukung kesepakatan damai tersebut. Kesepakatan damai itu diharapkan dapat menghentikan pertempuran antara pemerintah Kolombia dan FARC yang sudah berlangsung selama setengah abad.
Hasil ini sejatinya sedikit mengejutkan. Pasalnya, seperti dilansir Al Jazeera pada Senin (3/10), dalam sejumlah jajak pendapat jelang referendum, jumlah mereka yang setuju dengan kesepakatan damai selalu lebih besar dari mereka yang menolak.
Presiden Kolombia, Juan Manuel Santos, yang telah mempromosikan kampanye "Ya" untuk kesepakatan itu, mengatakan bahwa terlepas dari hasil referendum, gencatan senjata bilateral dengan FARC masih berlaku dan harus terus berlaku.
Dia mengatakan akan menjangkau para pemimpin oposisi di Kolombia dan telah memerintahkan perunding pemerintah untuk kembali ke Kuba pada hari Senin untuk berkonsultasi dengan para pemimpin FARC.
"Saya tidak akan menyerah. Saya akan terus mencari perdamaian sampai saat terakhir dari mandat saya," katanya Santos.
Sementara itu, pemimpin FARC Rodrigo Londono mengatakan pihaknya masih mempertahankan keinginannya untuk berdamai dengan pemerintah Kolombia.
"FARC menegaskan disposisi untuk hanya menggunakan kata-kata sebagai senjata untuk membangun masa depan. Untuk orang-orang Kolombia yang bermimpi akan perdamaian, percaya pada kami, perdamaian akan menang," ucap Londono. (esn)
Referendum Kolombia menolak kesepakatan damai bersejarah dengan pemberontak FARC. Kesepakatan itu ditandatangani pekan lalu oleh Presiden Juan Manuel Santos dan pemimpin FARC Timoleon Jimenez setelah hampir empat tahun perundingan.
Lebih dari 99% pemilih yang datang ke TPS untuk memberikan suaranya dalam referendum Kolombia. Hasilnya, 50,2% menentang kesepakatan itu sementara 49,8% mendukungnya atau berselisih 63.000 orang dari 13 juta suara seperti dikutip dari BBC, Senin (3/10/2016).
Hasil referendum ini sungguh mengejutkan karena dengan begitu proses perdamaian kini diselimuti oleh ketidakpastian. Presiden Santos sebelumnya telah memperingatkan bahwa tidak ada rencana B untuk mengakhiri perang, yang telah menewaskan 260.000 orang.
Ini juga merupakan kemunduran besar untuk Presiden Juan Manuel Santos, yang sejak pemilihannya pada 2010 telah berjanji untuk mengakhiri konflik disalahkan karena menggusur sekitar delapan juta orang.
Kurang dari seminggu yang lalu, Presiden Santos merayakan dengan para pemimpin dunia dan para komandan FARC berakhirnya konflik bersenjata terakhir dan terlama di Amerika Latin pada upacara di kota bersejarah Cartagena.
Pemberontak FARC setuju untuk meletakkan senjata mereka setelah 52 tahun terlibat konflik untuk bergabung dalam proses politik. Para pemberontak sedang membuat rencana untuk meletakkan senjata mereka dan menjadi partai politik dalam waktu enam bulan.
Kelompok oposisi yang menolak perjanjian damai ini dipimpin oleh mantan Presiden berpengaruh Kolombia, Alvaro Uribe. Dia berpendapat bahwa pemerintah memperlakukan FARC terlalu lembek. Dia mengatakan bahwa jika 'tidak' orang menang, pemerintah harus kembali ke meja perundingan.
FARC Tegaskan Ingin Berdamai dengan Pemerintah Kolombia
Pemimpin kelompok pemberontak Kolombia, FARC, Rodrigo Londono menegaskan FARC masih ingin berdamai dengan pemerintah Kolombia. (Istimewa)
Pemimpin kelompok pemberontak Kolombia, FARC, Rodrigo Londono menegaskan, pihaknya memang sedikit kecewa dengan hasil referendum kemarin. Namun, Lonono memastikan FARC masih ingin berdamai dengan pemerintah Kolombia.
Dalam sebuah pernyataan, dia menyakinkan kepada masyarakat Kolombia, bahwa perdamaian antara FARC dengan pemerintah Kolombia akan membawa dampak positifk bagi Kolombia. Salah satunya adalah stabilitas di negara tersebut.
"FARC menegaskan posisi untuk hanya menggunakan kata-kata sebagai senjata untuk membangun masa depan. Untuk orang-orang Kolombia yang bermimpi akan perdamaian, percaya pada kami, perdamaian akan menang," kata Londono, seperti dilansir Al Jazeera pada Senin (3/10).
Dalam referendum yang berlangsung kemarin tersebut, 50,2 persen suara menentang kesepakatan damai, sementara 49,8 persen mendukung kesepakatan damai tersebut.
Presiden Kolombia, Juan Manuel Santos, yang telah mempromosikan kampanye "ya" untuk kesepakatan itu, memastikan bahwa terlepas dari hasil referendum, gencatan senjata bilateral dengan FARC masih berlaku dan harus terus berlaku.
Kesepakatan damai itu diharapkan bisa menghentikan pertempuran antara FARC dan Kolombia yang sudah berlangsung setengah abad. Berdasarkan kesepakatan itu, seluruh anggota FARC diperkenankan untuk kembali masuk dalam komunitas masyarakat, dan diperkenankan untuk membuat partai politik.
Warga Kolombia Tolak Berdamai dengan Pemberontak
Warga Kolombia memutuskan untuk menolak berdamai dengan kelompok pemberontak FARC. (Reuters)
Warga Kolombia memutuskan untuk menolak berdamai dengan kelompok pemberontak FARC. Keputusan ini diketahui paska adanya referendum mengenai kesepakatan damai antara Bogota dan FARC.
Dalam referendum yang berlangsung kemarin tersebut, 50,2 persen suara menentang kesepakatan, sementara 49,8 persen mendukung kesepakatan damai tersebut. Kesepakatan damai itu diharapkan dapat menghentikan pertempuran antara pemerintah Kolombia dan FARC yang sudah berlangsung selama setengah abad.
Hasil ini sejatinya sedikit mengejutkan. Pasalnya, seperti dilansir Al Jazeera pada Senin (3/10), dalam sejumlah jajak pendapat jelang referendum, jumlah mereka yang setuju dengan kesepakatan damai selalu lebih besar dari mereka yang menolak.
Presiden Kolombia, Juan Manuel Santos, yang telah mempromosikan kampanye "Ya" untuk kesepakatan itu, mengatakan bahwa terlepas dari hasil referendum, gencatan senjata bilateral dengan FARC masih berlaku dan harus terus berlaku.
Dia mengatakan akan menjangkau para pemimpin oposisi di Kolombia dan telah memerintahkan perunding pemerintah untuk kembali ke Kuba pada hari Senin untuk berkonsultasi dengan para pemimpin FARC.
"Saya tidak akan menyerah. Saya akan terus mencari perdamaian sampai saat terakhir dari mandat saya," katanya Santos.
Sementara itu, pemimpin FARC Rodrigo Londono mengatakan pihaknya masih mempertahankan keinginannya untuk berdamai dengan pemerintah Kolombia.
"FARC menegaskan disposisi untuk hanya menggunakan kata-kata sebagai senjata untuk membangun masa depan. Untuk orang-orang Kolombia yang bermimpi akan perdamaian, percaya pada kami, perdamaian akan menang," ucap Londono. (esn)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.