Pesawat F15 Tiger TNI AU sudah menua, menunggu pengganti.
Tidak seperti tahun sebelumnya, gelaran peringatan HUT TNI ke-71 yang dihelat di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur hari ini, Rabu, 5 Oktober 2016, terbilang sederhana. Selain itu, pertunjukan alat utama sistem pertahanan (alutsista) pun tampak tidak ada yang terbaru.
Bicara soal alutsista, banyak kalangan menilai alutsista Indonesia perlu di evaluasi. Berdasarkan data CSIS, pada 2015 lalu, 52 persen dari 160 alutsista yang dioperasikan TNI telah berusia lebih dari 30 tahun. Padahal, dalam rencana strategis (renstra) pemenuhan kebutuhan pokok minimum (minimum essential force/MEF) TNI 2009-2024, peremajaan alutsista menjadi prioritas.
Tak hanya itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun menjanjikan kenaikan anggaran pertahanan untuk mengejar standar MEF, yakni 1,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau sekira Rp 250 triliun. Bahkan standar ini dikuatkan dalam Perpres Nomor 97 Tahun 2015 tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara, dengan catatan pertumbuhan ekonomi bisa di atas 6 persen.
Hingga saat ini, anggaran pertahanan masih dikisar 0,89 hingga 0,78 persen dari PDB, atau Rp 92,2 trilun pada 2014 dan Rp 108,6 triliun pada 2015. Dari total anggaran pertahanan itu, porsi yang digunakan untuk alutsista hanya sekitar Rp 12 triliunan atau 77 persennya.
Alokasi Rp 12 triliun itupun masih dibagi lagi menjadi empat, untuk Mabes TNI dan tiga matra yang ada. “Nah, Angkatan Udara contohnya. Anggarannya Rp 3,5 triliun untuk gaji, Rp 6 triliun belanja barang seperti latihan, beli suku cadang, perawatan. Cuma Rp 3,7 triliun belanja modal. Nah, itu yang untuk beli alutsista,” ujar anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Tubagus Hasanuddin, dalam wawancaranya dengan metrotvnews.com pada pertengahan 2015 silam.
Hasanuddin menjelaskan, dengan kondisi alutsista yang kurang teremajakan dan kecil anggarannya, maka wajar bila banyak peralatan yang rusak, tidak layak, bahkan berpotensi sebabkan kecelakaan hingga korban jiwa. Setidaknya, sejak 2008 hingga 2016, terhitung tujuh kasus atau insiden alutsista TNI yang telah menewaskan ratusan prajurit.
Tertutup
Pesawat & helikopter TNI AU (dispenau)
Faktor keterbatasan anggaran menyulitkan upaya mewujudkan alutsista ideal sesuai MEF. Selain itu, pengadaan dan belanja alutsista sendiri kerap menimbulkan pro dan kontra lantaran prosesnya yang serba tertutup. Dugaan tentang celah untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu pun berkali-kali mewarnai polemik seputar isu pembelian alutsista.
Transparency International (TI) mengungkapkan risiko korupsi di tubuh militer Indonesia tergolong tinggi. Secara terang-terangan organisasi internasional yang gencar memerangi korupsi politik itu mengemukakan bahwa ada dugaan perantara atau broker yang terlibat dalam pengadaan alutsista.
Berdasarkan survei pada 2015, TI menduga para perantara bisa mendapatkan jatah sekitar 30 hingga 40 persen dari total nilai pengadaan alutsista di Indonesia. Lebih dari itu, makelar alutsista ini dinilai turut mempengaruhi kebijakan pemerintah.
Menanggapi rilis TI tersebut, Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang pun berpendapat bahwa memang belum tercipta transparansi dalam pengadaan alutsista. Ia berharap Komisi I DPR dapat terbuka mengenai alutsista apa saja yang akan dibeli.
“Indeks korupsi di bidang militer negara kita akan membaik jika pengadaannya tidak dikendalikan kepentingan broker,” ucap Saut menanggapi survei tersebut.
Masih terpaut dengan perihal ini, wacana revisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer pun turut mengemuka. Harapannya, prajurit TNI juga bisa tunduk pada pengadilan sipil, bisa diadili di pengadilan tipikor dan KPK pun leluasa mengusut kasus korupsi yang melibatkan TNI.
Dirgahayu TNI! (ADM)
Tidak seperti tahun sebelumnya, gelaran peringatan HUT TNI ke-71 yang dihelat di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur hari ini, Rabu, 5 Oktober 2016, terbilang sederhana. Selain itu, pertunjukan alat utama sistem pertahanan (alutsista) pun tampak tidak ada yang terbaru.
Bicara soal alutsista, banyak kalangan menilai alutsista Indonesia perlu di evaluasi. Berdasarkan data CSIS, pada 2015 lalu, 52 persen dari 160 alutsista yang dioperasikan TNI telah berusia lebih dari 30 tahun. Padahal, dalam rencana strategis (renstra) pemenuhan kebutuhan pokok minimum (minimum essential force/MEF) TNI 2009-2024, peremajaan alutsista menjadi prioritas.
Tak hanya itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun menjanjikan kenaikan anggaran pertahanan untuk mengejar standar MEF, yakni 1,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau sekira Rp 250 triliun. Bahkan standar ini dikuatkan dalam Perpres Nomor 97 Tahun 2015 tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara, dengan catatan pertumbuhan ekonomi bisa di atas 6 persen.
Hingga saat ini, anggaran pertahanan masih dikisar 0,89 hingga 0,78 persen dari PDB, atau Rp 92,2 trilun pada 2014 dan Rp 108,6 triliun pada 2015. Dari total anggaran pertahanan itu, porsi yang digunakan untuk alutsista hanya sekitar Rp 12 triliunan atau 77 persennya.
Alokasi Rp 12 triliun itupun masih dibagi lagi menjadi empat, untuk Mabes TNI dan tiga matra yang ada. “Nah, Angkatan Udara contohnya. Anggarannya Rp 3,5 triliun untuk gaji, Rp 6 triliun belanja barang seperti latihan, beli suku cadang, perawatan. Cuma Rp 3,7 triliun belanja modal. Nah, itu yang untuk beli alutsista,” ujar anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Tubagus Hasanuddin, dalam wawancaranya dengan metrotvnews.com pada pertengahan 2015 silam.
Hasanuddin menjelaskan, dengan kondisi alutsista yang kurang teremajakan dan kecil anggarannya, maka wajar bila banyak peralatan yang rusak, tidak layak, bahkan berpotensi sebabkan kecelakaan hingga korban jiwa. Setidaknya, sejak 2008 hingga 2016, terhitung tujuh kasus atau insiden alutsista TNI yang telah menewaskan ratusan prajurit.
Tertutup
Pesawat & helikopter TNI AU (dispenau)
Faktor keterbatasan anggaran menyulitkan upaya mewujudkan alutsista ideal sesuai MEF. Selain itu, pengadaan dan belanja alutsista sendiri kerap menimbulkan pro dan kontra lantaran prosesnya yang serba tertutup. Dugaan tentang celah untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu pun berkali-kali mewarnai polemik seputar isu pembelian alutsista.
Transparency International (TI) mengungkapkan risiko korupsi di tubuh militer Indonesia tergolong tinggi. Secara terang-terangan organisasi internasional yang gencar memerangi korupsi politik itu mengemukakan bahwa ada dugaan perantara atau broker yang terlibat dalam pengadaan alutsista.
Berdasarkan survei pada 2015, TI menduga para perantara bisa mendapatkan jatah sekitar 30 hingga 40 persen dari total nilai pengadaan alutsista di Indonesia. Lebih dari itu, makelar alutsista ini dinilai turut mempengaruhi kebijakan pemerintah.
Menanggapi rilis TI tersebut, Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang pun berpendapat bahwa memang belum tercipta transparansi dalam pengadaan alutsista. Ia berharap Komisi I DPR dapat terbuka mengenai alutsista apa saja yang akan dibeli.
“Indeks korupsi di bidang militer negara kita akan membaik jika pengadaannya tidak dikendalikan kepentingan broker,” ucap Saut menanggapi survei tersebut.
Masih terpaut dengan perihal ini, wacana revisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer pun turut mengemuka. Harapannya, prajurit TNI juga bisa tunduk pada pengadilan sipil, bisa diadili di pengadilan tipikor dan KPK pun leluasa mengusut kasus korupsi yang melibatkan TNI.
Dirgahayu TNI! (ADM)
♘ Metrotvnews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.