Di Mindanao Filipina memperpanjang masa darurat militer di Mindanao hingga akhir tahun. [Foto/Istimewa] ★
Legislator di Filipina telah memilih untuk memperpanjang undang-undang darurat militer untuk menghadapi pemberontakan Islam di pulau Mindanao yang bergolak. Militan yang terkait dengan ISIS telah menduduki bagian Marawi, sebuah kota di selatan, sejak bulan Mei lalu.
Presiden Rodrigo Duterte mengatakan bahwa perpanjangan itu diperlukan untuk menghancurkan pemberontakan. Namun para pengritiknya mengatakan bahwa ini adalah bagian dari untuk meraih kekuasaan yang lebih luas.
Mindanao adalah rumah bagi sejumlah kelompok pemberontak Muslim yang menuntut otonomi. Darurat militer memungkinkan penggunaan militer untuk menegakkan hukum dan menahan orang tanpa tuduhan untuk waktu yang lama.
Ini adalah isu sensitif di Filipina, di mana darurat militer diberlakukan oleh mendiang diktator Ferdinand Marcos untuk sebagian besar pemerintahannya seperti dikutip dari BBC, Minggu (23/7/2017).
Darurat militer selama 60 hari yang diberlakukan sejak 23 Mei lalu akan berakhir pada akhir pekan ini. Penetapan situasi tersebut dilakukan beberapa jam setelah terjadi bentrokan mematikan antara tentara dan sekelompok orang bersenjata yang terkait dengan ISIS. Perpanjangan ini berarti akan tetap berlaku sampai 31 Desember.
Pada bulan Mei, Presiden Duterte memperingatkan bahwa darurat militer dapat diperluas di seluruh Filipina setelah gerilyawan membunuh petugas polisi di Marawi.
Beberapa anggota parlemen oposisi mempertanyakan mengapa hal itu harus diterapkan ke seluruh pulau selatan, bukan hanya di kota itu.
"Saya khawatir bahwa rencana untuk memperpanjang darurat militer di Mindanao akan membuka jalan bagi undang-undang darurat militer di Filipina," kata Senator Risa Hontiveros.
Senator lain, Franklin Drilon mengatakan perpanjangan itu terlalu lama, sementara anggota kongres Edcel Lagman mengatakan bahwa tidak ada dasar faktual untuk itu.
Aksi demonstrasi sempat mengganggu jalannya sidang di parlemen. Para demonstran meneriakkan "tidak untuk darurat militer."
Kepala staf Angkatan Darat Jenderal Eduardo Ano mengatakan bahwa perlu untuk membatasi pergerakan militan Islam, memperingatkan bahwa pemberontakan yang sedang berlangsung dapat menyebar ke kota-kota lain di pulau itu.
Dia menggambarkannya sebagai "tipe Mosul perang perkotaan hibrida," mengacu pada pertarungan di kota Irak yang baru-baru ini dibebaskan dari ISIS.
Pejabat keamanan menyampaikan pesan kepada kongres jelang pemungutan suara mengatakan bahwa undang-undang tersebut diminta untuk menstabilkan kawasan tersebut, di mana para pendukung ISIS dapat menginsipirasi pemberontakan serupa di daerah Mindanao lainnya.
Mereka mengatakan hanya sekitar 60 orang bersenjata yang tersisa di 49 hektar daerah Marawi. Meski begitu ada hampir 1.000 militan pro ISIS yang aktif di tempat lain di wilayah selatan, menahan 23 sandera.
Marawi adalah rumah bagi 200.000 penduduk namun banyak yang melarikan diri pasca pecahnya peperangan. Ada kekhawatiran bagi mereka yang terjebak akan menghadapi kekurangan makanan dan air.
Lebih dari 420 gerilyawan, 100 tentara dan 45 warga sipil tewas dalam pertempuran tersebut.
Bentrokan dimulai ketika tentara gagal dalam upaya untuk menangkap Isnilon Hapilon, yang diyakini sebagai pemimpin utama ISIS di Filipina dan terkait dengan kelompok Maute setempat, yang telah menyatakan kesetiaannya kepada ISIS.
Menanggapi kelompok Maute menyerang bagian kota, mengambil sandera. (ian)
Legislator di Filipina telah memilih untuk memperpanjang undang-undang darurat militer untuk menghadapi pemberontakan Islam di pulau Mindanao yang bergolak. Militan yang terkait dengan ISIS telah menduduki bagian Marawi, sebuah kota di selatan, sejak bulan Mei lalu.
Presiden Rodrigo Duterte mengatakan bahwa perpanjangan itu diperlukan untuk menghancurkan pemberontakan. Namun para pengritiknya mengatakan bahwa ini adalah bagian dari untuk meraih kekuasaan yang lebih luas.
Mindanao adalah rumah bagi sejumlah kelompok pemberontak Muslim yang menuntut otonomi. Darurat militer memungkinkan penggunaan militer untuk menegakkan hukum dan menahan orang tanpa tuduhan untuk waktu yang lama.
Ini adalah isu sensitif di Filipina, di mana darurat militer diberlakukan oleh mendiang diktator Ferdinand Marcos untuk sebagian besar pemerintahannya seperti dikutip dari BBC, Minggu (23/7/2017).
Darurat militer selama 60 hari yang diberlakukan sejak 23 Mei lalu akan berakhir pada akhir pekan ini. Penetapan situasi tersebut dilakukan beberapa jam setelah terjadi bentrokan mematikan antara tentara dan sekelompok orang bersenjata yang terkait dengan ISIS. Perpanjangan ini berarti akan tetap berlaku sampai 31 Desember.
Pada bulan Mei, Presiden Duterte memperingatkan bahwa darurat militer dapat diperluas di seluruh Filipina setelah gerilyawan membunuh petugas polisi di Marawi.
Beberapa anggota parlemen oposisi mempertanyakan mengapa hal itu harus diterapkan ke seluruh pulau selatan, bukan hanya di kota itu.
"Saya khawatir bahwa rencana untuk memperpanjang darurat militer di Mindanao akan membuka jalan bagi undang-undang darurat militer di Filipina," kata Senator Risa Hontiveros.
Senator lain, Franklin Drilon mengatakan perpanjangan itu terlalu lama, sementara anggota kongres Edcel Lagman mengatakan bahwa tidak ada dasar faktual untuk itu.
Aksi demonstrasi sempat mengganggu jalannya sidang di parlemen. Para demonstran meneriakkan "tidak untuk darurat militer."
Kepala staf Angkatan Darat Jenderal Eduardo Ano mengatakan bahwa perlu untuk membatasi pergerakan militan Islam, memperingatkan bahwa pemberontakan yang sedang berlangsung dapat menyebar ke kota-kota lain di pulau itu.
Dia menggambarkannya sebagai "tipe Mosul perang perkotaan hibrida," mengacu pada pertarungan di kota Irak yang baru-baru ini dibebaskan dari ISIS.
Pejabat keamanan menyampaikan pesan kepada kongres jelang pemungutan suara mengatakan bahwa undang-undang tersebut diminta untuk menstabilkan kawasan tersebut, di mana para pendukung ISIS dapat menginsipirasi pemberontakan serupa di daerah Mindanao lainnya.
Mereka mengatakan hanya sekitar 60 orang bersenjata yang tersisa di 49 hektar daerah Marawi. Meski begitu ada hampir 1.000 militan pro ISIS yang aktif di tempat lain di wilayah selatan, menahan 23 sandera.
Marawi adalah rumah bagi 200.000 penduduk namun banyak yang melarikan diri pasca pecahnya peperangan. Ada kekhawatiran bagi mereka yang terjebak akan menghadapi kekurangan makanan dan air.
Lebih dari 420 gerilyawan, 100 tentara dan 45 warga sipil tewas dalam pertempuran tersebut.
Bentrokan dimulai ketika tentara gagal dalam upaya untuk menangkap Isnilon Hapilon, yang diyakini sebagai pemimpin utama ISIS di Filipina dan terkait dengan kelompok Maute setempat, yang telah menyatakan kesetiaannya kepada ISIS.
Menanggapi kelompok Maute menyerang bagian kota, mengambil sandera. (ian)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.