Rencana pemerintah Indonesia untuk mengeksekusi para terpidana mati kasus narkoba, ditentangan sejumlah kalangan, terutama negara yang warga negaranya akan dieksekusi, termasuk Sekjen PBB Ban Ki Moon. Guru besar Hukum Internasional UI Hikmahanto Juwana menilai pemerintah tak perlu khawatir terhadap tekanan dari sejumlah negara tersebut.
"Tekanan dari Prancis, Australia bahkan Sekjen PBB Ban Ki Moon tidak seharusnya mengendurkan kebijakan untuk merealisasikan putusan hukuman mati," kata Hikmahanto Juwana dalam keterangan tertulis yang diterima detikcom, Minggu (26/4/2015).
Hikmahanto menjelaskan, ada 5 alasan kuat agar Indonesia tak perlu gentar menghadapi tekanan tersebut. Pertama, Indonesia yang baru saja melaksanakan Konferensi Asia Afrika (KAA) sedang diuji apakah pelaksanaan kedaulatan negara hanya sebatas retorika atau betul-betul direalisasikan.
"Dalam Dasa Sila prinsip non intervensi terhadap negara-negara di Asia dan Afrika merupakan prinsip yang masih relevan pada masa kini dan pada saat Indonesia akan melaksanakan hukuman mati. Sekali pemerintah mundur dari kebijakan ini maka Indonesia akan menjadi bahan tertawaan karena tidak mampu melaksanakan prinsip yang terdapat dalam Dasa Sila," jelasnya.
Kedua, lanjut Hikmahanto, aksi protes yang dilakukan pemerintah Prancis dan Australia tidak lebih dari sikap negaranya yang tidak mengenal hukuman mati. Agar pemerintahnya dapat mempertanggungjawabkan mandat yang diberikan oleh rakyatnya maka mereka harus menyuarakan protes, bahkan ancaman atas pelaksanaan hukuman mati.
"Negara-negara tersebut tentu tidak dapat dicegah bila memprotes kebijakan pemerintah Indonesia, bahkan mereka dapat memanggil Dubesnya untuk kembali dan berkonsultasi. Namun segera setelah selesainya pelaksanaan hukuman mati maka hubungan akan cair kembali dan Dubes akan dikembalikan ke Indonesia. Ini karena tidak akan ada pemerintahan asing yang berani untuk mempertaruhkan hubungan baik dan saling menguntungkan demi membela warganya yang melakukan suatu kejahatan," urai HIkmahanto.
"Ketiga, kerap suara keras dari pemerintah Perancis, Australia dan Brazil disebabkan di negara tersebut sedang ada pertarungan politik untuk menduduki kursi kepemimpinan. Sehingga isu hukaman mati di Indonesia menjadi komoditas empuk. Sebenarnya hal ini patut disayangkan mengingat mereka mengorbankan kepentingan Indonesia untuk ambisi politik para politisinya," tambahnya.
Keempat, aksi protes yang dilakukan oleh pemerintah Prancis dan Australia terhadap Indonesia dirasa berbeda jika terhadap negara lain. Padahal Tiongkok pada akhir Maret lalu juga melaksanakan eksekusi mati terhadap WN Australia, namun Australias tidak melakukan tekanan seperti yang dilakukannya terhadap Indonesia.
Terakhir, lanjut Hikmahanto, pernyataan Sekjen PBB Ban Ki Moon patut disayangkan karena membuat pernyataan di luar tugas dan fungsi sebagai Sekjen. Sekjen PBB bukanlah Presiden dari negara-negara dunia yang dapat mengeluarkan perintah. Padahal di negara asalnya, Korea Selatan, juga mengenal hukuman mati.
"Adalah tidak benar Konvenan Internasional Sipil dan Politik hanya membatasi kejahatan serius sebagai kejahatan internasional. Dalam Kovenan tersebut secara tegas diserahkan kepada masing-masing negara anggota untuk menentukan kejahatan serius," jelas HIkmahanto.
"Lalu rakyat Indonesia juga dapat mempertanyakan di mana suara Sekjen PBB ketika baru-baru ini 2 orang TKI dihukum mati di Arab Saudi? Dimana pembelaan Sekjen PBB? Adalah aneh bila Ban Ki Moon memasalaahkan hukuman mati di Indonesia karena di negaranya sendiri, Korea Selatan, dikenal hukuman mati," katanya.
"Dari pernyataan Ban Ki Moon tidak heran bila Presiden Jokowi menyatakan PBB tidak merefleksikan kepentingan negara-negara Asia dan Afrika. Kepentingan dan suara yang dibawa adalah dari negara-negara di Eropa, Australia dan Amerika. Pantas bila Presiden Jokowi menggugat keuniversalan PBB," tambah Hikmahanto.(jor/spt)
"Tekanan dari Prancis, Australia bahkan Sekjen PBB Ban Ki Moon tidak seharusnya mengendurkan kebijakan untuk merealisasikan putusan hukuman mati," kata Hikmahanto Juwana dalam keterangan tertulis yang diterima detikcom, Minggu (26/4/2015).
Hikmahanto menjelaskan, ada 5 alasan kuat agar Indonesia tak perlu gentar menghadapi tekanan tersebut. Pertama, Indonesia yang baru saja melaksanakan Konferensi Asia Afrika (KAA) sedang diuji apakah pelaksanaan kedaulatan negara hanya sebatas retorika atau betul-betul direalisasikan.
"Dalam Dasa Sila prinsip non intervensi terhadap negara-negara di Asia dan Afrika merupakan prinsip yang masih relevan pada masa kini dan pada saat Indonesia akan melaksanakan hukuman mati. Sekali pemerintah mundur dari kebijakan ini maka Indonesia akan menjadi bahan tertawaan karena tidak mampu melaksanakan prinsip yang terdapat dalam Dasa Sila," jelasnya.
Kedua, lanjut Hikmahanto, aksi protes yang dilakukan pemerintah Prancis dan Australia tidak lebih dari sikap negaranya yang tidak mengenal hukuman mati. Agar pemerintahnya dapat mempertanggungjawabkan mandat yang diberikan oleh rakyatnya maka mereka harus menyuarakan protes, bahkan ancaman atas pelaksanaan hukuman mati.
"Negara-negara tersebut tentu tidak dapat dicegah bila memprotes kebijakan pemerintah Indonesia, bahkan mereka dapat memanggil Dubesnya untuk kembali dan berkonsultasi. Namun segera setelah selesainya pelaksanaan hukuman mati maka hubungan akan cair kembali dan Dubes akan dikembalikan ke Indonesia. Ini karena tidak akan ada pemerintahan asing yang berani untuk mempertaruhkan hubungan baik dan saling menguntungkan demi membela warganya yang melakukan suatu kejahatan," urai HIkmahanto.
"Ketiga, kerap suara keras dari pemerintah Perancis, Australia dan Brazil disebabkan di negara tersebut sedang ada pertarungan politik untuk menduduki kursi kepemimpinan. Sehingga isu hukaman mati di Indonesia menjadi komoditas empuk. Sebenarnya hal ini patut disayangkan mengingat mereka mengorbankan kepentingan Indonesia untuk ambisi politik para politisinya," tambahnya.
Keempat, aksi protes yang dilakukan oleh pemerintah Prancis dan Australia terhadap Indonesia dirasa berbeda jika terhadap negara lain. Padahal Tiongkok pada akhir Maret lalu juga melaksanakan eksekusi mati terhadap WN Australia, namun Australias tidak melakukan tekanan seperti yang dilakukannya terhadap Indonesia.
Terakhir, lanjut Hikmahanto, pernyataan Sekjen PBB Ban Ki Moon patut disayangkan karena membuat pernyataan di luar tugas dan fungsi sebagai Sekjen. Sekjen PBB bukanlah Presiden dari negara-negara dunia yang dapat mengeluarkan perintah. Padahal di negara asalnya, Korea Selatan, juga mengenal hukuman mati.
"Adalah tidak benar Konvenan Internasional Sipil dan Politik hanya membatasi kejahatan serius sebagai kejahatan internasional. Dalam Kovenan tersebut secara tegas diserahkan kepada masing-masing negara anggota untuk menentukan kejahatan serius," jelas HIkmahanto.
"Lalu rakyat Indonesia juga dapat mempertanyakan di mana suara Sekjen PBB ketika baru-baru ini 2 orang TKI dihukum mati di Arab Saudi? Dimana pembelaan Sekjen PBB? Adalah aneh bila Ban Ki Moon memasalaahkan hukuman mati di Indonesia karena di negaranya sendiri, Korea Selatan, dikenal hukuman mati," katanya.
"Dari pernyataan Ban Ki Moon tidak heran bila Presiden Jokowi menyatakan PBB tidak merefleksikan kepentingan negara-negara Asia dan Afrika. Kepentingan dan suara yang dibawa adalah dari negara-negara di Eropa, Australia dan Amerika. Pantas bila Presiden Jokowi menggugat keuniversalan PBB," tambah Hikmahanto.(jor/spt)
♆ detik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.