✈️ Sistem Pertahanan Udara Hingga Laut China Selatan✈️ Pesawat TNI AU [TNI AU]
Di usia yang ke-71 hari ini, Minggu (9/4), tantangan yang dihadapi TNI Angkatan Udara kian kompleks, mulai dari pengembangan sistem pertahanan udara yang canggih hingga masalah di Laut China Selatan (LCS).
Pengamat intelijen Susaningtyas NH Kertopati mengatakan, ada sejumlah langkah yang bisa dilakukan TNI AU dalam menghadapi tantangan-tantangan itu.
"TNI AU harus mengembangkan konsep Sistem Pertahanan Udara yang modern dan canggih demi melindungi keselamatan NKRI dengan menyiapkan sistem deteksi dini dan sistem interceptor," ujar perempuan yang akrab disapa Nuning itu di Jakarta, Minggu (9/4).
Selain itu, TNI AU juga dapat mengajukan konsep kedaulatan di udara sampai dengan batas ketinggian yang diatur menurut hukum internasional dan nasional hingga ke ruang angkasa. Dua sistem itu, ujarnya perlu dikaji agar mampu menangkis rudal nuklir yang datang dari luar Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).
Tantangan yang tak kalah penting dinamika konflik di Laut Cina Timur dan Laut Cina Selatan. "Dalam masalah ini, dua negara yang menjadi aktor utama, yaitu Korea Utara dan Tiongkok telah mengembangkan rudal nuklir jarak jauh," ujarnya.
Nuning berpandangan, menjadi sebuah keniscayaan bagi TNI AU untuk menambah skadron udara tempur. Penambahan itu perlu agar TNI AU mampu melaksanakan patroli udara rutin selama 24 jam, minimal frekuensi terbang malam sama dengan terbang siang.
"Juga harus ada penambahan kapasitas personel dengan mengirim mereka ke luar negeri. Untuk personel yang harus ditingkatkan kapasitasnya adalah mengirim para perwira muda TNI AU menjadi master dan doktor ilmu ruang angkasa (space science) di luar negeri," ujar Nuning.
Dikatakan pula, sesuai visi Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia yang digaungkan Presiden Joko Widodo (Jokowi), maka TNI AU dapat mengajukan konsep menjaga kedaulatan seluruh perairan dan daratan Indonesia selama 24 jam berdasarkan UNCLOS 1982 yang telah diratifikasi menjadi UU Nomor 17/1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of The Sea (UNCLOS).
"Sangat penting bagi TNI AU untuk memodifikasi MEF, seperti penambahan radar GCI dan radar EW di seluruh Indonesia terutama bagian timur Indonesia. Sehingga, operational requirement dan technical specification kedua jenis radar tersebut tidak hanya untuk dog fight di udara antara pesawat TNI AU melawan pesawat musuh, tetapi juga harus mampu dog fight pesawat TNI AU dalam menangkis rudal nuklir," ujarnya.
Terkait itu, Nuning juga mengingatkan bahwa jarak jelajah pesawat TNI AU sangat ditentukan dari mana pangkalan awalnya untuk airborne. Sehingga, pergeseran Landasan Udara (Lanud) harus meliputi pembangunan landasan pacu baru berikut ground facilities dan kedua jenis radar GCI dan EW.
"Setelah tahapan-tahapan tersebut dilaksanakan dengan baik, baru setelah itu skuadron pesawat tempur digeser," katanya.
Di usia yang ke-71 hari ini, Minggu (9/4), tantangan yang dihadapi TNI Angkatan Udara kian kompleks, mulai dari pengembangan sistem pertahanan udara yang canggih hingga masalah di Laut China Selatan (LCS).
Pengamat intelijen Susaningtyas NH Kertopati mengatakan, ada sejumlah langkah yang bisa dilakukan TNI AU dalam menghadapi tantangan-tantangan itu.
"TNI AU harus mengembangkan konsep Sistem Pertahanan Udara yang modern dan canggih demi melindungi keselamatan NKRI dengan menyiapkan sistem deteksi dini dan sistem interceptor," ujar perempuan yang akrab disapa Nuning itu di Jakarta, Minggu (9/4).
Selain itu, TNI AU juga dapat mengajukan konsep kedaulatan di udara sampai dengan batas ketinggian yang diatur menurut hukum internasional dan nasional hingga ke ruang angkasa. Dua sistem itu, ujarnya perlu dikaji agar mampu menangkis rudal nuklir yang datang dari luar Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).
Tantangan yang tak kalah penting dinamika konflik di Laut Cina Timur dan Laut Cina Selatan. "Dalam masalah ini, dua negara yang menjadi aktor utama, yaitu Korea Utara dan Tiongkok telah mengembangkan rudal nuklir jarak jauh," ujarnya.
Nuning berpandangan, menjadi sebuah keniscayaan bagi TNI AU untuk menambah skadron udara tempur. Penambahan itu perlu agar TNI AU mampu melaksanakan patroli udara rutin selama 24 jam, minimal frekuensi terbang malam sama dengan terbang siang.
"Juga harus ada penambahan kapasitas personel dengan mengirim mereka ke luar negeri. Untuk personel yang harus ditingkatkan kapasitasnya adalah mengirim para perwira muda TNI AU menjadi master dan doktor ilmu ruang angkasa (space science) di luar negeri," ujar Nuning.
Dikatakan pula, sesuai visi Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia yang digaungkan Presiden Joko Widodo (Jokowi), maka TNI AU dapat mengajukan konsep menjaga kedaulatan seluruh perairan dan daratan Indonesia selama 24 jam berdasarkan UNCLOS 1982 yang telah diratifikasi menjadi UU Nomor 17/1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of The Sea (UNCLOS).
"Sangat penting bagi TNI AU untuk memodifikasi MEF, seperti penambahan radar GCI dan radar EW di seluruh Indonesia terutama bagian timur Indonesia. Sehingga, operational requirement dan technical specification kedua jenis radar tersebut tidak hanya untuk dog fight di udara antara pesawat TNI AU melawan pesawat musuh, tetapi juga harus mampu dog fight pesawat TNI AU dalam menangkis rudal nuklir," ujarnya.
Terkait itu, Nuning juga mengingatkan bahwa jarak jelajah pesawat TNI AU sangat ditentukan dari mana pangkalan awalnya untuk airborne. Sehingga, pergeseran Landasan Udara (Lanud) harus meliputi pembangunan landasan pacu baru berikut ground facilities dan kedua jenis radar GCI dan EW.
"Setelah tahapan-tahapan tersebut dilaksanakan dengan baik, baru setelah itu skuadron pesawat tempur digeser," katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.