TAHUN ini adalah akhir dari tahap pertama Rencana Strategis Minimum Essential Forces (MEF) suatu program untuk mengatasi ketertinggalan pembangunan dan modernisasi sektor pertahanan.
Ada rencana terbaru memperkuat sektor ini seperti diungkapkan Menteri Pertahanan, Januari lalu, yaitu akan dibentuk Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan). Tujuannya untuk lebih memadukan dan memaksimalkan tugas operasional ketiga matra TNI: Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.
Pembentukan Kogabwilhan dianggap mendesak untuk memberikan daya gentar (deterrence) dan sebagai upaya antisipasi meningkatnya ancaman terhadap pertahanan negara. Struktur dan komando yang ada kini dipandang tak memadai untuk merespons ancaman dengan segera.
Wilayah Indonesia berbatasan darat dengan Malaysia (1.782 km), Timor Leste (228 km), dan Papua Niugini (820 km). Indonesia juga berbatasan laut dengan India, Thailand, Singapura, Vietnam, Filipina, Palau, dan Australia. Dengan posisi ini, Indonesia menghadapi potensi ancaman dari 10 negara yang berbatasan langsung meski dengan tingkat dan jenis berbeda-beda.
Belum tuntasnya masalah perbatasan maritim dengan beberapa negara dapat saja memantik sengketa sebagaimana mencuatnya berbagai insiden dengan Malaysia belakangan ini. Di samping masalah perbatasan, Indonesia berkepentingan menjaga empat choke point terpenting di dunia:
Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Makassar, dan Selat Lombok. Gangguan juga bisa datang tak terduga mengingat saat ini Indonesia sebenarnya telah terkepung kekuatan militer besar.
Selain Five Power Defence Arrangements yang terdiri dari Australia, Selandia Baru, Malaysia, Singapura, dan Inggris yang sudah lama eksis, AS juga terus mempererat persekutuannya dengan Jepang, Korea Selatan, Filipina, Taiwan, dan Singapura.
Dalam rangka mengimplementasikan kebijakan Sustaining US Global Leadership: Priorities for 21st Century Defense, AS menempatkan sekitar 60 persen kekuatan armadanya di Asia Pasifik, di antaranya 2.500 marinir di Darwin, Australia, dan pangkalan sementara bagi kapal-kapal Littoral Combat Ships Armada Ketujuh di Singapura.
Australia dengan The Australian Maritime Identification System telah pula melakukan pengawasan sejauh 1.000-1.500 mil laut ke luar wilayah Australia yang berarti memasukkan Indonesia dalam jangkauan pengawasannya.
Timor Leste juga sudah menyatakan membuka diri kepada Tiongkok untuk menggunakan wilayahnya sebagai pangkalan militer. Sampai kini Tiongkok sangat agresif membangun aliansi dengan beberapa negara dan dengan kebijakan blue water naval strategy berambisi menandingi dominasi AS.
India tak mau ketinggalan dan dengan kebijakan Look East Policy, negara ini akan terus meningkatkan kehadirannya di kawasan.
Sementara atas alasan antisipasi meledaknya konflik Laut Tiongkok Selatan, negara-negara tetangga kita seperti Malaysia, Filipina, dan Vietnam terus memacu pengembangan dan modernisasi kekuatan militernya.
Belum lagi Singapura yang melihat diri sebagai Israel-nya Asia Tenggara tentu berupaya untuk secara militer harus lebih kuat dari negara sekitarnya.
Mencermati peta di atas, selayaknya strategi pertahanan Indonesia harus dirancang untuk mampu menghadapi berbagai perkembangan dan dinamika tersebut. Kogabwilhan adalah salah satu langkah responsif sekaligus strategi memperkuat diplomasi terhadap negara sekawasan juga dengan Amerika, Tiongkok, India, dan Australia.
Atas alasan ini pula Kogabwilhan menurut Menhan akan diposisikan di flashpoint seperti Aceh, Natuna, perbatasan Kalimantan berikut perairan Ambalat, Papua, dan Atambua.
Doktrin pertahanan
Pertahanan merupakan kepentingan nasional yang vital karena menyangkut kedaulatan negara. Karena itu, pertahanan harus menjadi bagian utuh dari politik dan kebijakan negara.
Seluruh strategi pertahanan harus mampu menggambarkan visi dan sikap negara, baik ke dalam maupun keluar. Pasal 30 UUD 1945 dan juga UU No 3/2002 menggariskan bahwa sistem pertahanan semesta merupakan kebijakan pertahanan negara.
Karakter sistem ini memang masih diwarnai kebijakan inward looking dengan ciri doktrin mendasarkan pada pertahanan di dalam (teritorial). Namun, Kementerian Pertahanan dan TNI semakin sadar bahwa karakter, jenis, dan tingkatan ancaman terhadap kedaulatan negara saat ini sudah sangat berbeda dan tentunya tidak bisa dihadapi dengan cara-cara lama.
Meski dapat tetap mempertahankan nilai-nilai inti sebagai suatu ”dogma”, dalam praksisnya doktrin pertahanan harus dinamis dan adaptif dengan perkembangan lingkungan strategisnya.
Pembentukan Kogabwilhan yang tentunya diikuti rencana pembentukan dan pengisian susunan kekuatan tempur organik dari ketiga matranya, semisal armada yang baru berikut pengembangan Brigade Marinir menjadi Divisi, adalah salah satu ikhtiar menyelaraskan strategi pertahanan dengan karakter ancaman.
Langkah ini sangat penting untuk segera diimplementasikan karena peta kekuatan pertahanan tingkat regional sudah sedemikian jauh berkembang. Terutama menghadapi ancaman meluasnya konflik senjata di Laut Tiongkok Selatan.
Penguatan postur pertahanan matra maritim dan udara pada hakikatnya sudah tepat karena dalam pembangunan dan modernisasi alutsista, kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan berikut lingkungan maritim yang mengitarinya harus jadi acuan utama.
Gambaran yang akan tampak jika strategi baru ini diterapkan adalah munculnya kesenjangan antara postur pertahanan dan daya dukung alutsista. Paradigma dasar MEF adalah mengisi kesenjangan, bukan memperbesar kekuatan.
Fokus Rencana Strategis MEF 2010 hingga 2024 masih diarahkan perwujudan kekuatan pokok minimum. Artinya, sampai sepuluh tahun mendatang program pengembangan TNI hanya berkisar pergantian alutsista yang sudah usang, sementara postur kekuatan tempur tetap stagnan.
Di sisi lain dikembangkan suatu komando gabungan dengan cakupan maksimalis, yaitu beberapa Kogabwilhan yang masing-masing membawahkan suatu theatre command.
Inilah pekerjaan rumah terbesar yang harus segera dicarikan titik temu: bagaimana membangun postur komando maksimalis dan membangun postur kekuatan ideal yang paling tidak mampu menimbulkan efek deterrence.
Hal ini penting mengingat agar dapat merespons segala bentuk ancaman militer dibutuhkan kekuatan yang tak saja untuk kebutuhan defensif, tetapi juga berkemampuan ofensif. Artinya, dengan dinamika kawasan seperti sekarang di kala diplomasi jadi buntu dan kepentingan nasional jadi taruhan, Kogabwilhan harus mampu melancarkan pertempuran salvo pertama dibarengi gebrakan perang kilat tuntas (sharp shorten war) guna meraih kemenangan awal dan merebut posisi paling menguntungkan sampai hadirnya kekuatan penengah, keterlibatan pihak ketiga yang datang melerai.
Sistem komando efektif
Selanjutnya, untuk dapat berjalan efektif, pembentukan Kogabwilhan harus dilengkapi struktur komando yang efisien, responsif, dan cepat. Problema selama ini, kendala TNI melakukan respons cepat terhadap setiap gangguan di wilayah terluar adalah karena sistem birokrasi yang gemuk dan ribet.
Sistem yang berlaku saat ini harus segera disudahi terutama menyangkut perangkat pemrosesan dan K3I untuk kecepatan pengambilan keputusan, kemandirian logistik untuk keunggulan manuver, serta bagaimana Kogabwilhan dapat melakukan gelar tempur pada medan tempur tertentu tanpa terkendala sistem komando birokratis.
Tanpa dibekali kewenangan dan sarana mutakhir untuk melaksanakan, peran Kogabwilhan akan sama dengan operasi gabungan selama ini, yang berarti tak ada hal baru dari Kogabwilhan. Keberadaan Kogabwilhan malah akan memperpanjang mata rantai komando dan pemborosan anggaran.
Kemungkinan lain yang perlu dicermati, muncul duplikasi komando dalam suatu ruang tempur antara Kogabwilhan dengan kompartemen strategis dan komando reguler yang ada bahkan dengan kesatuan siaga atau standing forces. Akibatnya, tujuan efektivitas komando dan efisiensi anggaran jauh dari sasaran.
Yang harus dihindari, pembentukan Kogabwilhan jangan mengulang kemubaziran pembentukan Kowilhan yang hanya jadi komando di atas kertas, serta jangan sampai pembentukan Kogabwilhan justru mendistorsi proses modernisasi alutsista TNI pada program MEF.
Karena tanpa penuntasan program MEF sementara pembentukan Kogabwilhan terus berjalan, ini hanya akan menjadikannya macan ompong. Pembentukan Kogabwilhan harus didukung sebagai pintu restrukturisasi organisasi TNI dan media pembaruan doktrin pertahanan dari inward looking ke outward looking.
Tak kalah penting adalah bagaimana membangun kesiapan politik luar negeri, karena sudah pasti perubahan strategi pertahanan Indonesia akan mendapat respons dari negara-negara tetangga.
Achmad Soetjipto
Mantan KSAL; Ketua Persatuan Purnawirawan AL
Ada rencana terbaru memperkuat sektor ini seperti diungkapkan Menteri Pertahanan, Januari lalu, yaitu akan dibentuk Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan). Tujuannya untuk lebih memadukan dan memaksimalkan tugas operasional ketiga matra TNI: Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.
Pembentukan Kogabwilhan dianggap mendesak untuk memberikan daya gentar (deterrence) dan sebagai upaya antisipasi meningkatnya ancaman terhadap pertahanan negara. Struktur dan komando yang ada kini dipandang tak memadai untuk merespons ancaman dengan segera.
Wilayah Indonesia berbatasan darat dengan Malaysia (1.782 km), Timor Leste (228 km), dan Papua Niugini (820 km). Indonesia juga berbatasan laut dengan India, Thailand, Singapura, Vietnam, Filipina, Palau, dan Australia. Dengan posisi ini, Indonesia menghadapi potensi ancaman dari 10 negara yang berbatasan langsung meski dengan tingkat dan jenis berbeda-beda.
Belum tuntasnya masalah perbatasan maritim dengan beberapa negara dapat saja memantik sengketa sebagaimana mencuatnya berbagai insiden dengan Malaysia belakangan ini. Di samping masalah perbatasan, Indonesia berkepentingan menjaga empat choke point terpenting di dunia:
Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Makassar, dan Selat Lombok. Gangguan juga bisa datang tak terduga mengingat saat ini Indonesia sebenarnya telah terkepung kekuatan militer besar.
Selain Five Power Defence Arrangements yang terdiri dari Australia, Selandia Baru, Malaysia, Singapura, dan Inggris yang sudah lama eksis, AS juga terus mempererat persekutuannya dengan Jepang, Korea Selatan, Filipina, Taiwan, dan Singapura.
Dalam rangka mengimplementasikan kebijakan Sustaining US Global Leadership: Priorities for 21st Century Defense, AS menempatkan sekitar 60 persen kekuatan armadanya di Asia Pasifik, di antaranya 2.500 marinir di Darwin, Australia, dan pangkalan sementara bagi kapal-kapal Littoral Combat Ships Armada Ketujuh di Singapura.
Australia dengan The Australian Maritime Identification System telah pula melakukan pengawasan sejauh 1.000-1.500 mil laut ke luar wilayah Australia yang berarti memasukkan Indonesia dalam jangkauan pengawasannya.
Timor Leste juga sudah menyatakan membuka diri kepada Tiongkok untuk menggunakan wilayahnya sebagai pangkalan militer. Sampai kini Tiongkok sangat agresif membangun aliansi dengan beberapa negara dan dengan kebijakan blue water naval strategy berambisi menandingi dominasi AS.
India tak mau ketinggalan dan dengan kebijakan Look East Policy, negara ini akan terus meningkatkan kehadirannya di kawasan.
Sementara atas alasan antisipasi meledaknya konflik Laut Tiongkok Selatan, negara-negara tetangga kita seperti Malaysia, Filipina, dan Vietnam terus memacu pengembangan dan modernisasi kekuatan militernya.
Belum lagi Singapura yang melihat diri sebagai Israel-nya Asia Tenggara tentu berupaya untuk secara militer harus lebih kuat dari negara sekitarnya.
Mencermati peta di atas, selayaknya strategi pertahanan Indonesia harus dirancang untuk mampu menghadapi berbagai perkembangan dan dinamika tersebut. Kogabwilhan adalah salah satu langkah responsif sekaligus strategi memperkuat diplomasi terhadap negara sekawasan juga dengan Amerika, Tiongkok, India, dan Australia.
Atas alasan ini pula Kogabwilhan menurut Menhan akan diposisikan di flashpoint seperti Aceh, Natuna, perbatasan Kalimantan berikut perairan Ambalat, Papua, dan Atambua.
Doktrin pertahanan
Pertahanan merupakan kepentingan nasional yang vital karena menyangkut kedaulatan negara. Karena itu, pertahanan harus menjadi bagian utuh dari politik dan kebijakan negara.
Seluruh strategi pertahanan harus mampu menggambarkan visi dan sikap negara, baik ke dalam maupun keluar. Pasal 30 UUD 1945 dan juga UU No 3/2002 menggariskan bahwa sistem pertahanan semesta merupakan kebijakan pertahanan negara.
Karakter sistem ini memang masih diwarnai kebijakan inward looking dengan ciri doktrin mendasarkan pada pertahanan di dalam (teritorial). Namun, Kementerian Pertahanan dan TNI semakin sadar bahwa karakter, jenis, dan tingkatan ancaman terhadap kedaulatan negara saat ini sudah sangat berbeda dan tentunya tidak bisa dihadapi dengan cara-cara lama.
Meski dapat tetap mempertahankan nilai-nilai inti sebagai suatu ”dogma”, dalam praksisnya doktrin pertahanan harus dinamis dan adaptif dengan perkembangan lingkungan strategisnya.
Pembentukan Kogabwilhan yang tentunya diikuti rencana pembentukan dan pengisian susunan kekuatan tempur organik dari ketiga matranya, semisal armada yang baru berikut pengembangan Brigade Marinir menjadi Divisi, adalah salah satu ikhtiar menyelaraskan strategi pertahanan dengan karakter ancaman.
Langkah ini sangat penting untuk segera diimplementasikan karena peta kekuatan pertahanan tingkat regional sudah sedemikian jauh berkembang. Terutama menghadapi ancaman meluasnya konflik senjata di Laut Tiongkok Selatan.
Penguatan postur pertahanan matra maritim dan udara pada hakikatnya sudah tepat karena dalam pembangunan dan modernisasi alutsista, kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan berikut lingkungan maritim yang mengitarinya harus jadi acuan utama.
Gambaran yang akan tampak jika strategi baru ini diterapkan adalah munculnya kesenjangan antara postur pertahanan dan daya dukung alutsista. Paradigma dasar MEF adalah mengisi kesenjangan, bukan memperbesar kekuatan.
Fokus Rencana Strategis MEF 2010 hingga 2024 masih diarahkan perwujudan kekuatan pokok minimum. Artinya, sampai sepuluh tahun mendatang program pengembangan TNI hanya berkisar pergantian alutsista yang sudah usang, sementara postur kekuatan tempur tetap stagnan.
Di sisi lain dikembangkan suatu komando gabungan dengan cakupan maksimalis, yaitu beberapa Kogabwilhan yang masing-masing membawahkan suatu theatre command.
Inilah pekerjaan rumah terbesar yang harus segera dicarikan titik temu: bagaimana membangun postur komando maksimalis dan membangun postur kekuatan ideal yang paling tidak mampu menimbulkan efek deterrence.
Hal ini penting mengingat agar dapat merespons segala bentuk ancaman militer dibutuhkan kekuatan yang tak saja untuk kebutuhan defensif, tetapi juga berkemampuan ofensif. Artinya, dengan dinamika kawasan seperti sekarang di kala diplomasi jadi buntu dan kepentingan nasional jadi taruhan, Kogabwilhan harus mampu melancarkan pertempuran salvo pertama dibarengi gebrakan perang kilat tuntas (sharp shorten war) guna meraih kemenangan awal dan merebut posisi paling menguntungkan sampai hadirnya kekuatan penengah, keterlibatan pihak ketiga yang datang melerai.
Sistem komando efektif
Selanjutnya, untuk dapat berjalan efektif, pembentukan Kogabwilhan harus dilengkapi struktur komando yang efisien, responsif, dan cepat. Problema selama ini, kendala TNI melakukan respons cepat terhadap setiap gangguan di wilayah terluar adalah karena sistem birokrasi yang gemuk dan ribet.
Sistem yang berlaku saat ini harus segera disudahi terutama menyangkut perangkat pemrosesan dan K3I untuk kecepatan pengambilan keputusan, kemandirian logistik untuk keunggulan manuver, serta bagaimana Kogabwilhan dapat melakukan gelar tempur pada medan tempur tertentu tanpa terkendala sistem komando birokratis.
Tanpa dibekali kewenangan dan sarana mutakhir untuk melaksanakan, peran Kogabwilhan akan sama dengan operasi gabungan selama ini, yang berarti tak ada hal baru dari Kogabwilhan. Keberadaan Kogabwilhan malah akan memperpanjang mata rantai komando dan pemborosan anggaran.
Kemungkinan lain yang perlu dicermati, muncul duplikasi komando dalam suatu ruang tempur antara Kogabwilhan dengan kompartemen strategis dan komando reguler yang ada bahkan dengan kesatuan siaga atau standing forces. Akibatnya, tujuan efektivitas komando dan efisiensi anggaran jauh dari sasaran.
Yang harus dihindari, pembentukan Kogabwilhan jangan mengulang kemubaziran pembentukan Kowilhan yang hanya jadi komando di atas kertas, serta jangan sampai pembentukan Kogabwilhan justru mendistorsi proses modernisasi alutsista TNI pada program MEF.
Karena tanpa penuntasan program MEF sementara pembentukan Kogabwilhan terus berjalan, ini hanya akan menjadikannya macan ompong. Pembentukan Kogabwilhan harus didukung sebagai pintu restrukturisasi organisasi TNI dan media pembaruan doktrin pertahanan dari inward looking ke outward looking.
Tak kalah penting adalah bagaimana membangun kesiapan politik luar negeri, karena sudah pasti perubahan strategi pertahanan Indonesia akan mendapat respons dari negara-negara tetangga.
Achmad Soetjipto
Mantan KSAL; Ketua Persatuan Purnawirawan AL
★ Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.