Gencatan Senjata Bentuk Dukungan untuk Assad Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, mencibir kesepakatan gencatan senjata Suriah (Istimewa)
Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan mencibir kesepakatan penghentian permusuhan yang dicapai oleh Amerika Serikat (AS) dan Rusia. Menurutnya, kesepakatan gencatan senjata itu hanya membantu Presiden Suriah, Bashar al-Assad.
"Gencatan senjata di Suriah secara keseluruhan positif dan memberikan kemampuan bernafas untuk saudara-saudara kami di Suriah. Tetapi, memberikan dukungan kepada rezim Assad yang membawa tanggung jawab membunuh setengah juta warga sendiri. Kami takut bahwa perjanjian ini dapat menyebabkan konsekuensi tragis, bahkan lebih," kata Erdogan seperti dikutip dari Sputniknews, Rabu (24/2/2016).
Erdogan bahkan menyebut gencatan senjata seperti mengoleskan mentega pada roti milik Assad dan pendukungnya, tetapi melempar penduduk Suriah ke laut.
Erdogan mengklaim, upaya tersebut sebelumnya juga telah digunakan, tetapi ternyata dimanfaatkan untuk mendapatkan wilayah kekuasaan yang baru. Erdogan pun menyayangkan sikap kedua negara adidaya itu, yang tidak mempertimbangkan sensitivitas Turki dalam masalah tersebut dan seharusnya diperhitungkan ketika membuat perjanjian.
Erdogan pun menegaskan kesepakatan Rusia-AS tidak harus berlaku untuk Partai Uni Demokrat Kurdi (PYD), yang Ankara duga memiliki hubungan dengan kelompok militan Partai Pekerja Kurdistan (PKK). PKK sendiri telah dianggap sebagai organisasi teroris di Turki.
Turki Tidak Terikat Gencatan Senjata Suriah
Perdana Menteri Turki, Ahmet Davutoglu mengatakan, Ankara tidak akan terikat dengan rencana gencatan senjata Suriah, jika keamanannya terancam. Turki akan mengambil langkah yang diperlukan terhadap milisi Kurdi Suriah, YPG, dan ISIS jika memang diperlukan.
"Gencatan senjata tidak mengikat bagi kami, ketika ada situasi yang mengancam keamanan Turki. Kami akan mengambil tindakan yang diperlukan terhadap YPG dan Daesh, ketika kami merasa perlu untuk itu," kata Davutoglu menggunakan istilah Arab untuk ISIS.
"Ankara adalah satu-satunya tempat yang memutuskan tindakan mengenai keamanan Turki," katanya. Namun, ia juga mengatakan, gencatan senjata tidak harus membuka jalan bagi serangan baru, seperti dilansir dari Reuters, Kamis (25/2/2016).
Secara terpisah, Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu mengatakan, YPG sama seperti ISIS yang berusaha untuk memecah Suriah.
"Tujuan dari PYD dan YPG jelas: seperti Daesh, mereka ingin membagi Suriah untuk membentuk pemerintahan sendiri. Sebagai kelompok dukungan internasional, tujuan kami adalah untuk tidak membagi wilayah Suriah, tapi untuk melindungi integritas teritorialnya," kata Cavusoglu. PYD sendiri adalah sayap politik milisi Kurdi Suriah.
Rusia Tuding AS Ingin Sabotase Gencatan Senjata Suriah
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia, Maria Zakharova menyatakan, Amerika Serikat (AS) mencoba untuk menafsirkan pernyataan tentang penghentian aksi militer di Suriah dengan cara yang berlawanan.
"Kami bingung ketika mendengar tanggapan pertama dari Washington. Jujur, kami tidak mengharapkan beberapa pejabat untuk menafsirkan perjanjian ini dengan cara yang berlawanan," tutur Zakharova dalam konferensi pers, seperti disitat dari TASS, Kamis (25/2/2016).
Lebih jauh, Zakharova menyatakan, apa yang dilakukan oleh AS adalah upaya sabotase. "Hal yang positifnya adalah bahwa itu adalah gelombang pertama yang berhasil kami pecahkan," kata dia.
Rusia dan AS telah sepakat untuk menerapkan gencatan senjata di Suriah pada 27 Februari mendatang. Pihak-pihak yang terlibat dalam konflik di Suriah, pemerintah Suriah dan kelompok oposisi, menyambut baik dan setuju untuk menjalankan gencatan senjata tersebut.
Meski begitu, AS dan Rusia sepakat jika perjanjian gencatan senjata ini tidak berlaku bagi kelompok Front al-Nusra dan ISIS serta kelompok-kelompok yang masuk dalam daftar teroris Dewan Keamanan PBB. (ian)
Rusia Tuding Turki Tak Pernah Niat Perangi ISIS
Rusia menuding Turki tidak pernah berniat untuk memerangi kelompok teroris di Suriah, khususnya ISIS. Menurut Rusia, ini terlihat dari sejumlah tindakan yang telah dilakukan Turki.
"Turki sekarang tidak berjuang melawan terorisme internasional, tapi malah membantu ISIS. Contohnya penembakan pesawat Rusia oleh Turki. Contoh kedua adalah bisnis minyak yang dilakukan antara turki dan ISIS," kata Duta Besar Rusia untuk Indonesia, Mikhael Y Galuzin pada Kamis (25/2).
Galuzin mengatakan, tindakan selanjutnya yang menunjukan Turki tidak berniat memerangi ISIS adalah kebijakan mereka yang melakukan serangan terhadap Kurdi Suriah. Padahal, lanjut Galuzin, Kurdi adalah pihak yang turut melakukan serangan terhadap ISIS.
Selain itu, baik Rusia ataupun Amerika Serikat (AS) melakukan kerjasama dan mendukung perjuangan Kurdi di Suriah. Dirinya berharap Turki segera menghentikan serangan terhadap basis Kurdi di Suriah.
"Kami ingin Turki menghentikan kegiatan (serangan) tersebut, supaya mereka bisa selesaikan masalah dengan Kurdi secara damai," sambung diplomat senior Rusia tersebut. (esn)
Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan mencibir kesepakatan penghentian permusuhan yang dicapai oleh Amerika Serikat (AS) dan Rusia. Menurutnya, kesepakatan gencatan senjata itu hanya membantu Presiden Suriah, Bashar al-Assad.
"Gencatan senjata di Suriah secara keseluruhan positif dan memberikan kemampuan bernafas untuk saudara-saudara kami di Suriah. Tetapi, memberikan dukungan kepada rezim Assad yang membawa tanggung jawab membunuh setengah juta warga sendiri. Kami takut bahwa perjanjian ini dapat menyebabkan konsekuensi tragis, bahkan lebih," kata Erdogan seperti dikutip dari Sputniknews, Rabu (24/2/2016).
Erdogan bahkan menyebut gencatan senjata seperti mengoleskan mentega pada roti milik Assad dan pendukungnya, tetapi melempar penduduk Suriah ke laut.
Erdogan mengklaim, upaya tersebut sebelumnya juga telah digunakan, tetapi ternyata dimanfaatkan untuk mendapatkan wilayah kekuasaan yang baru. Erdogan pun menyayangkan sikap kedua negara adidaya itu, yang tidak mempertimbangkan sensitivitas Turki dalam masalah tersebut dan seharusnya diperhitungkan ketika membuat perjanjian.
Erdogan pun menegaskan kesepakatan Rusia-AS tidak harus berlaku untuk Partai Uni Demokrat Kurdi (PYD), yang Ankara duga memiliki hubungan dengan kelompok militan Partai Pekerja Kurdistan (PKK). PKK sendiri telah dianggap sebagai organisasi teroris di Turki.
Turki Tidak Terikat Gencatan Senjata Suriah
Perdana Menteri Turki, Ahmet Davutoglu mengatakan, Ankara tidak akan terikat dengan rencana gencatan senjata Suriah, jika keamanannya terancam. Turki akan mengambil langkah yang diperlukan terhadap milisi Kurdi Suriah, YPG, dan ISIS jika memang diperlukan.
"Gencatan senjata tidak mengikat bagi kami, ketika ada situasi yang mengancam keamanan Turki. Kami akan mengambil tindakan yang diperlukan terhadap YPG dan Daesh, ketika kami merasa perlu untuk itu," kata Davutoglu menggunakan istilah Arab untuk ISIS.
"Ankara adalah satu-satunya tempat yang memutuskan tindakan mengenai keamanan Turki," katanya. Namun, ia juga mengatakan, gencatan senjata tidak harus membuka jalan bagi serangan baru, seperti dilansir dari Reuters, Kamis (25/2/2016).
Secara terpisah, Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu mengatakan, YPG sama seperti ISIS yang berusaha untuk memecah Suriah.
"Tujuan dari PYD dan YPG jelas: seperti Daesh, mereka ingin membagi Suriah untuk membentuk pemerintahan sendiri. Sebagai kelompok dukungan internasional, tujuan kami adalah untuk tidak membagi wilayah Suriah, tapi untuk melindungi integritas teritorialnya," kata Cavusoglu. PYD sendiri adalah sayap politik milisi Kurdi Suriah.
Rusia Tuding AS Ingin Sabotase Gencatan Senjata Suriah
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia, Maria Zakharova menyatakan, Amerika Serikat (AS) mencoba untuk menafsirkan pernyataan tentang penghentian aksi militer di Suriah dengan cara yang berlawanan.
"Kami bingung ketika mendengar tanggapan pertama dari Washington. Jujur, kami tidak mengharapkan beberapa pejabat untuk menafsirkan perjanjian ini dengan cara yang berlawanan," tutur Zakharova dalam konferensi pers, seperti disitat dari TASS, Kamis (25/2/2016).
Lebih jauh, Zakharova menyatakan, apa yang dilakukan oleh AS adalah upaya sabotase. "Hal yang positifnya adalah bahwa itu adalah gelombang pertama yang berhasil kami pecahkan," kata dia.
Rusia dan AS telah sepakat untuk menerapkan gencatan senjata di Suriah pada 27 Februari mendatang. Pihak-pihak yang terlibat dalam konflik di Suriah, pemerintah Suriah dan kelompok oposisi, menyambut baik dan setuju untuk menjalankan gencatan senjata tersebut.
Meski begitu, AS dan Rusia sepakat jika perjanjian gencatan senjata ini tidak berlaku bagi kelompok Front al-Nusra dan ISIS serta kelompok-kelompok yang masuk dalam daftar teroris Dewan Keamanan PBB. (ian)
Rusia Tuding Turki Tak Pernah Niat Perangi ISIS
Rusia menuding Turki tidak pernah berniat untuk memerangi kelompok teroris di Suriah, khususnya ISIS. Menurut Rusia, ini terlihat dari sejumlah tindakan yang telah dilakukan Turki.
"Turki sekarang tidak berjuang melawan terorisme internasional, tapi malah membantu ISIS. Contohnya penembakan pesawat Rusia oleh Turki. Contoh kedua adalah bisnis minyak yang dilakukan antara turki dan ISIS," kata Duta Besar Rusia untuk Indonesia, Mikhael Y Galuzin pada Kamis (25/2).
Galuzin mengatakan, tindakan selanjutnya yang menunjukan Turki tidak berniat memerangi ISIS adalah kebijakan mereka yang melakukan serangan terhadap Kurdi Suriah. Padahal, lanjut Galuzin, Kurdi adalah pihak yang turut melakukan serangan terhadap ISIS.
Selain itu, baik Rusia ataupun Amerika Serikat (AS) melakukan kerjasama dan mendukung perjuangan Kurdi di Suriah. Dirinya berharap Turki segera menghentikan serangan terhadap basis Kurdi di Suriah.
"Kami ingin Turki menghentikan kegiatan (serangan) tersebut, supaya mereka bisa selesaikan masalah dengan Kurdi secara damai," sambung diplomat senior Rusia tersebut. (esn)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.