Helikopter AW 101 pesanan TNI AU tengah menjalani tes awal penerbangan di divisi helikopter Leonardo-Finmecanicca di Yeovil, Inggris, pekan lalu. Terlihat helikopter tersebut telah dicat dengan warna loreng TNI dan diberi lambang TNI. [ROTORBLUR.CO.UK/Rich Pittman] ☆
Pengadaan alat utama sistem persenjataan di TNI dinilai belum transparan. Ketidaktransparanan ini dipicu belum adanya strategi besar yang mendasari pertahanan Indonesia. Publik tidak tahu, pembelian senjata selama ini untuk menangkal ancaman seperti apa.
"Kita tidak memiliki grand strategy, tidak dijelaskan ancaman militer seperti apa dan dengan apa kita hadapi. Jadinya tidak jelas apa yang kita butuhkan jangka panjang dan pendek," kata dosen Universitas Pertahanan, Yohanes Sulaiman, Minggu (1/1).
Yohanes mengatakan, dalam kasus pembelian helikopter Agusta Westland 101 oleh TNI AU, persoalan ini mengemuka. Pengadaan heli angkut berat sebenarnya memiliki varian yang luas. Masyarakat tidak pernah mendapat penjelasan, helikopter tersebut dibeli untuk menghadapi ancaman apa. "Kalau kriterianya jelas, kita jadi mengerti kenapa TNI AU memilih helikopter AW 101 selain heli-heli yang lain," kata Yohanes.
Ia mengatakan, walau dalam buku putih pertahanan dan postur pertahanan dijelaskan tentang ancaman, hal itu masih kurang didiskusikan secara komprehensif. Misalnya, seperti apa ancaman militer dan nonmiliter yang akan dihadapai bangsa ke depan. "Misalnya bagaimana kita melihat ancaman di Laut Tiongkok Selatan dan bagaimana posisi kita," katanya.
Sebelumnya, Kepala Staf TNI AU Marsekal Agus Supriatna menjelaskan, AW 101 diperuntukkan mengangkut pasukan, SAR tempur, dan evakuasi medis. TNI AU ingin punya helikopter untuk berbagai fungsi. Dengan demikian, postur TNI AU bisa dibangun sesuai dengan doktrin TNI AU, Swa Bhuana Paksa.
Yohanes mengatakan, transparansi juga mencakup faktor lain seperti harga. Misalnya, untuk mencapai fungsi yang diinginkan AW 101, perlengkapan apa saja yang dibeli. Dengan demikian, jelas bahwa pengadaan tersebut berdasarkan kebutuhan.
Sisa India
Dari penelusuran Kompas, heli AW 101 adalah bagian dari sembilan helikopter yang batal dibeli AU India karena kasus suap. India membeli heli AW 101 tahun 2010 sebanyak 12 buah dengan harga masing-masing 45 juta dollar AS. Mulai tahun 2012, tiga buah helikopter selesai dari pabrik dan dikirimkan ke India. Ketika kasus penyuapan ini mencuat di Italia, Pemerintah India membatalkan kontrak dan menguangkan kembali 199 juta euro dari total kontrak 250 juta euro.
Dengan merujuk foto yang diambil fotografer Rich Pittman, helikopter AW 101 yang telah dicat warna loreng TNI dan diberi lambang TNI AU memiliki nomor konstruksi C/N 50248 dan nomor seri ZR 343. Pittman adalah fotografer pengelola situs www.rotorblur.co.uk.
ZR adalah nomor seri helikopter yang diproduksi di Inggris. Lewat website ukserials.com, terlihat bahwa heli yang diproduksi tahun 2012 tersebut dibatalkan oleh AU India dan dibeli oleh TNI AU. Terlihat bahwa helikopter AW 101 dengan nomor konstruksi 50242 sampai 50256 dan ZR 338 sampai ZR 349 sedianya sudah dibeli India, tetapi dibatalkan.
Pada pameran Indo Defense November 2016, Manajer Hubungan Media Leonardo-Finmecanicca, produsen AW 101, Alessandro Capocaccia, membantah bahwa heli yang akan dibeli TNI AU adalah bagian dari yang telah dibatalkan India.
Kepala Staf TNI AU Marsekal Agus Supriatna juga membantah bahwa heli yang dibeli TNI AU adalah helikopter yang batal dibeli India. Ia mengatakan, kebijakannya sebagai KSAU adalah membeli alutsista yang baru dan lengkap serta satu tingkat dari yang ada. Versi TNI AU ini berbeda jauh dengan yang dibeli India karena versi TNI AU ini multifungsi dan jauh lebih lengkap. "Heli ini saya pesan dari awal, tetapi dikerjakan tiga sif dengan pengawasan TNI AU sejak awal," kata Agus tentang heli berharga 55 juta dollar AS itu.
Menurut pengamat militer dan pertahanan, Connie Rahakundini Bakri, TNI AU membutuhkan heli baru untuk Skadron 6 yang bertugas angkut dan evakuasi. Atas dasar itu, TNI AU melakukan penilaian dan analisis sehingga dipilih heli AW 101. "Setelah pemerintah menolak pemesanan heli AW 101 untuk VVIP, anggaran itu kembali ke matra udara. Alhasil, KSAU mengalokasi ulang budget yang berasal dari DIPA (Daftar Isian Pelaksana Anggaran) 2015 itu untuk membeli heli angkut Skuadron 6," ujar Connie.
Connie juga tak percaya heli pesanan TNI AU merupakan bekas pesanan India. Produsen AW 101, yaitu Leonardo-Finmecanicca, menurut dia, selalu menyesuaikan kebutuhan negara pemesan.
"Pertanyaannya, memang spesifikasi India sama dengan TNI AU? Ya tidak! Karena TNI AU untuk heli angkut dan evakuasi. Dalam pemesanan itu, spesifikasi total dan delivery time TNI AU juga berbeda dengan India," katanya. (EDN/SAN)
Pengadaan alat utama sistem persenjataan di TNI dinilai belum transparan. Ketidaktransparanan ini dipicu belum adanya strategi besar yang mendasari pertahanan Indonesia. Publik tidak tahu, pembelian senjata selama ini untuk menangkal ancaman seperti apa.
"Kita tidak memiliki grand strategy, tidak dijelaskan ancaman militer seperti apa dan dengan apa kita hadapi. Jadinya tidak jelas apa yang kita butuhkan jangka panjang dan pendek," kata dosen Universitas Pertahanan, Yohanes Sulaiman, Minggu (1/1).
Yohanes mengatakan, dalam kasus pembelian helikopter Agusta Westland 101 oleh TNI AU, persoalan ini mengemuka. Pengadaan heli angkut berat sebenarnya memiliki varian yang luas. Masyarakat tidak pernah mendapat penjelasan, helikopter tersebut dibeli untuk menghadapi ancaman apa. "Kalau kriterianya jelas, kita jadi mengerti kenapa TNI AU memilih helikopter AW 101 selain heli-heli yang lain," kata Yohanes.
Ia mengatakan, walau dalam buku putih pertahanan dan postur pertahanan dijelaskan tentang ancaman, hal itu masih kurang didiskusikan secara komprehensif. Misalnya, seperti apa ancaman militer dan nonmiliter yang akan dihadapai bangsa ke depan. "Misalnya bagaimana kita melihat ancaman di Laut Tiongkok Selatan dan bagaimana posisi kita," katanya.
Sebelumnya, Kepala Staf TNI AU Marsekal Agus Supriatna menjelaskan, AW 101 diperuntukkan mengangkut pasukan, SAR tempur, dan evakuasi medis. TNI AU ingin punya helikopter untuk berbagai fungsi. Dengan demikian, postur TNI AU bisa dibangun sesuai dengan doktrin TNI AU, Swa Bhuana Paksa.
Yohanes mengatakan, transparansi juga mencakup faktor lain seperti harga. Misalnya, untuk mencapai fungsi yang diinginkan AW 101, perlengkapan apa saja yang dibeli. Dengan demikian, jelas bahwa pengadaan tersebut berdasarkan kebutuhan.
Sisa India
Dari penelusuran Kompas, heli AW 101 adalah bagian dari sembilan helikopter yang batal dibeli AU India karena kasus suap. India membeli heli AW 101 tahun 2010 sebanyak 12 buah dengan harga masing-masing 45 juta dollar AS. Mulai tahun 2012, tiga buah helikopter selesai dari pabrik dan dikirimkan ke India. Ketika kasus penyuapan ini mencuat di Italia, Pemerintah India membatalkan kontrak dan menguangkan kembali 199 juta euro dari total kontrak 250 juta euro.
Dengan merujuk foto yang diambil fotografer Rich Pittman, helikopter AW 101 yang telah dicat warna loreng TNI dan diberi lambang TNI AU memiliki nomor konstruksi C/N 50248 dan nomor seri ZR 343. Pittman adalah fotografer pengelola situs www.rotorblur.co.uk.
ZR adalah nomor seri helikopter yang diproduksi di Inggris. Lewat website ukserials.com, terlihat bahwa heli yang diproduksi tahun 2012 tersebut dibatalkan oleh AU India dan dibeli oleh TNI AU. Terlihat bahwa helikopter AW 101 dengan nomor konstruksi 50242 sampai 50256 dan ZR 338 sampai ZR 349 sedianya sudah dibeli India, tetapi dibatalkan.
Pada pameran Indo Defense November 2016, Manajer Hubungan Media Leonardo-Finmecanicca, produsen AW 101, Alessandro Capocaccia, membantah bahwa heli yang akan dibeli TNI AU adalah bagian dari yang telah dibatalkan India.
Kepala Staf TNI AU Marsekal Agus Supriatna juga membantah bahwa heli yang dibeli TNI AU adalah helikopter yang batal dibeli India. Ia mengatakan, kebijakannya sebagai KSAU adalah membeli alutsista yang baru dan lengkap serta satu tingkat dari yang ada. Versi TNI AU ini berbeda jauh dengan yang dibeli India karena versi TNI AU ini multifungsi dan jauh lebih lengkap. "Heli ini saya pesan dari awal, tetapi dikerjakan tiga sif dengan pengawasan TNI AU sejak awal," kata Agus tentang heli berharga 55 juta dollar AS itu.
Menurut pengamat militer dan pertahanan, Connie Rahakundini Bakri, TNI AU membutuhkan heli baru untuk Skadron 6 yang bertugas angkut dan evakuasi. Atas dasar itu, TNI AU melakukan penilaian dan analisis sehingga dipilih heli AW 101. "Setelah pemerintah menolak pemesanan heli AW 101 untuk VVIP, anggaran itu kembali ke matra udara. Alhasil, KSAU mengalokasi ulang budget yang berasal dari DIPA (Daftar Isian Pelaksana Anggaran) 2015 itu untuk membeli heli angkut Skuadron 6," ujar Connie.
Connie juga tak percaya heli pesanan TNI AU merupakan bekas pesanan India. Produsen AW 101, yaitu Leonardo-Finmecanicca, menurut dia, selalu menyesuaikan kebutuhan negara pemesan.
"Pertanyaannya, memang spesifikasi India sama dengan TNI AU? Ya tidak! Karena TNI AU untuk heli angkut dan evakuasi. Dalam pemesanan itu, spesifikasi total dan delivery time TNI AU juga berbeda dengan India," katanya. (EDN/SAN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.