Presiden Joko Widodo. [AFP] ●
Pembelian hingga perawatan alat utama sistem pertahanan (alutsista) masih sangat rentan korupsi. Guna meminimalisasi persoalan tersebut, Presiden Joko Widodo perlu mengevaluasi sektor pertahanan secara menyeluruh.
Direktur Eksekutif Imparsial Al Araf mengatakan pola korupsi yang biasa terjadi di sektor itu di antaranya penggelembungan harga, pembelian alutsista under spek, serta pemangkasan biaya perawatan.
Fakta itu diperkuat hasil Government Defence Anti-Corruption Index yang dirilis Transparency Internasional pada 2015. Indonesia berada pada posisi buruk lantaran sektor pertahanan dinilai sangat rentan korupsi.
"Pemerintah Indonesia ditempatkan pada grade D yang berarti sangat tinggi terjadinya korupsi di sektor pertahanan. Problemnya disebabkan karena dua hal utama, yakni lemahnya kapasitas internal dalam proses pengadaan alutsista, serta transparansi dan akuntabilitas dalam proses pengadaan alutsista yang lemah," kata Al Araf disela diskusi Membongkar Korupsi Alutsista di kantor Imparsial, Tebet, Jakarta Selatan, Selasa 4 April 2017.
Menurutnya, ada lima hal yang menyebabkan terjadinya korupsi alutsista. Pertama, tertutupnya ruang bagi lembaga independen, seperti KPK untuk mengusut dan menginvestigasi kasus yang diduga melibatkan tentara. Maklum, reformasi Peradilan Militer melalui revisi UU Nomor 31 Tahun 1999 hingga saat ini belum selesai dilakukan.
Kedua, pelibatan pihak ketiga (broker) dalam pengadaan alutsista menjadi salah satu penyebab utama korupsi, seperti kasus PT PAL Indonesia terkait penjualan kapal Strategic Sealift Vessel (SSV) kepada Filipina, dan pembelian jet tempur Sukhoi.
"Ketiga, pembelian alutsista bekas membuka ruang terjadinya skandal korupsi,. Apalagi pembelian itu sulit untuk dimonitoring khususnya terkait dengan proses retrovit. Keempat, dalih tentang rahasia negara dalam pembelian alutsista juga menyulitkan dalam upaya pemberantasan korupsi di sektor ini."
Terakhir, terang Al Araf, minimnya pengawasan internal dan eksternal (DPR) dalam proses pengadaan dan pemeliharaan alutsista juga menjadi ruang yang berpotensi terjadinya korupsi di sektor pertahanan.
"Kami mengapresiasi langkah KPK dalam pengungkapan kasus korupsi di PT PAL. Langkah itu harus ditindaklanjuti dengan membongkar adanya dugaan keterlibatan pihak lain dalam kasus ini," ujar Al Araf.
Senada disampaikan peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama S Langkun. Katanya, penangkapan Dirut PT PAL oleh KPK atas kasus dugaan korupsi penjualan kapal SSV membuktikan rentannya sektor pertahanan.
Bahkan, pada 2016 salah satu mantan pejabat di Kementerian Pertahanan, Brigjen Teddy Hernayadi divonis seumur hidup karena mengorupsi alutsista sebesar USD 12 juta.
"Oleh karena itu diperlukan perbaikan dalam mekanisme pengadaan barang dan jasa di internal kementerian. Harus diperhatikan pula batasan mana yang bersifat rahasia atau tertutup, sehingga publik bisa ikut mengontrol," terang Tama.
Deputi Sekjen Transparency International Indonesia (TII) Dedi Haryadi menambahkan kecenderungan timbulnya korupsi serupa di sektor pertahanan hanya bisa diatasi apabila ada keseriusan untuk mengedepankan pencegahan.
"Sekarang ini sudah saatnya penyuplai alutsista dikontrol dengan cara mengembangkan program-program antikorupsi. Indikasi korupsi di perusahaan BUMN patut diwaspadai dan bisa diberdayakan organisasi komite antikorupsi," pungkasnya. (TRK)
Pembelian hingga perawatan alat utama sistem pertahanan (alutsista) masih sangat rentan korupsi. Guna meminimalisasi persoalan tersebut, Presiden Joko Widodo perlu mengevaluasi sektor pertahanan secara menyeluruh.
Direktur Eksekutif Imparsial Al Araf mengatakan pola korupsi yang biasa terjadi di sektor itu di antaranya penggelembungan harga, pembelian alutsista under spek, serta pemangkasan biaya perawatan.
Fakta itu diperkuat hasil Government Defence Anti-Corruption Index yang dirilis Transparency Internasional pada 2015. Indonesia berada pada posisi buruk lantaran sektor pertahanan dinilai sangat rentan korupsi.
"Pemerintah Indonesia ditempatkan pada grade D yang berarti sangat tinggi terjadinya korupsi di sektor pertahanan. Problemnya disebabkan karena dua hal utama, yakni lemahnya kapasitas internal dalam proses pengadaan alutsista, serta transparansi dan akuntabilitas dalam proses pengadaan alutsista yang lemah," kata Al Araf disela diskusi Membongkar Korupsi Alutsista di kantor Imparsial, Tebet, Jakarta Selatan, Selasa 4 April 2017.
Menurutnya, ada lima hal yang menyebabkan terjadinya korupsi alutsista. Pertama, tertutupnya ruang bagi lembaga independen, seperti KPK untuk mengusut dan menginvestigasi kasus yang diduga melibatkan tentara. Maklum, reformasi Peradilan Militer melalui revisi UU Nomor 31 Tahun 1999 hingga saat ini belum selesai dilakukan.
Kedua, pelibatan pihak ketiga (broker) dalam pengadaan alutsista menjadi salah satu penyebab utama korupsi, seperti kasus PT PAL Indonesia terkait penjualan kapal Strategic Sealift Vessel (SSV) kepada Filipina, dan pembelian jet tempur Sukhoi.
"Ketiga, pembelian alutsista bekas membuka ruang terjadinya skandal korupsi,. Apalagi pembelian itu sulit untuk dimonitoring khususnya terkait dengan proses retrovit. Keempat, dalih tentang rahasia negara dalam pembelian alutsista juga menyulitkan dalam upaya pemberantasan korupsi di sektor ini."
Terakhir, terang Al Araf, minimnya pengawasan internal dan eksternal (DPR) dalam proses pengadaan dan pemeliharaan alutsista juga menjadi ruang yang berpotensi terjadinya korupsi di sektor pertahanan.
"Kami mengapresiasi langkah KPK dalam pengungkapan kasus korupsi di PT PAL. Langkah itu harus ditindaklanjuti dengan membongkar adanya dugaan keterlibatan pihak lain dalam kasus ini," ujar Al Araf.
Senada disampaikan peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama S Langkun. Katanya, penangkapan Dirut PT PAL oleh KPK atas kasus dugaan korupsi penjualan kapal SSV membuktikan rentannya sektor pertahanan.
Bahkan, pada 2016 salah satu mantan pejabat di Kementerian Pertahanan, Brigjen Teddy Hernayadi divonis seumur hidup karena mengorupsi alutsista sebesar USD 12 juta.
"Oleh karena itu diperlukan perbaikan dalam mekanisme pengadaan barang dan jasa di internal kementerian. Harus diperhatikan pula batasan mana yang bersifat rahasia atau tertutup, sehingga publik bisa ikut mengontrol," terang Tama.
Deputi Sekjen Transparency International Indonesia (TII) Dedi Haryadi menambahkan kecenderungan timbulnya korupsi serupa di sektor pertahanan hanya bisa diatasi apabila ada keseriusan untuk mengedepankan pencegahan.
"Sekarang ini sudah saatnya penyuplai alutsista dikontrol dengan cara mengembangkan program-program antikorupsi. Indikasi korupsi di perusahaan BUMN patut diwaspadai dan bisa diberdayakan organisasi komite antikorupsi," pungkasnya. (TRK)
★ MetroTV
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.