Oleh: Sjafrie SjamsoeddinIlustrasi TNI (KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA ) ●
Saat unjuk rasa 4 November 2016 di Jakarta, Presiden Joko Widodo mengapresiasi aparat dalam menjaga keamanan di Tanah Air sekaligus menginstruksikan kepada TNI di Mabes Angkatan Darat, 7 November 2016, jangan ragu bertindak demi keutuhan NKRI dengan memegang teguh Sapta Marga dan Sumpah Prajurit.
Pada momen lain, Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi AD-AL-AU memberikan perintah kepada TNI untuk tidak menoleransi gerakan yang memecah belah bangsa. Setiap terjadi peristiwa yang mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa, TNI sebagai tentara nasional harus menjadi kekuatan perekat bangsa sekaligus menjaga keutuhan NKRI. Inilah tantangan tugas TNI dari masa ke masa.
Menengok perjalanan sejarah, Indonesia adalah salah satu dari negara yang membangun militer berbasis rakyat: bersama berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Itulah spesifikasi militer Indonesia yang dikenal. Mereka adalah tentara rakyat, tentara pejuang, dan sekaligus tentara nasional, jauh sebelum membangun diri sebagai tentara profesional.
Sejarah militer Indonesia
Empiris perjalanan TNI menggambarkan betapa jauh perbedaan militer negara lain dengan militer Indonesia. Militer Indonesia lahir dengan semangat tidak kenal menyerah meski belum memiliki sistem dan organisasi militer layaknya di negara lain. TNI nyaris tidak memiliki kemampuan tempur konvensional (combat) apalagi memiliki bantuan tempur (combat support) dan bantuan administrasi (combat service support) yang berperan menopang dan mendukung sistem operasi.
Perjuangan melawan penjajah telah melahirkan komandan pertempuran (combat leaders) yang mencair bersama rakyat. Dengan taktik hit and run, mereka berhasil memukul mundur kekuatan militer konvensional musuh yang lebih kuat. Padahal, para komandan lapangan saat itu belum tersentuh pendidikan militer profesional walaupun ada masa yang singkat dalam perang kemerdekaan, Jepang memberikan latihan militer dasar bagi para pemuda yang tergabung dalam Pembela Tanah Air (Peta).
Ada perbedaan antara generasi penerus dan generasi '45 yang terlebih dahulu mengaplikasikan taktik dan strategi, setelah itu baru mempelajari teori di sekolah. Generasi penerus uji teori lebih dahulu sebelum mengaplikasikan di lapangan. Mengapa demikian? Ada "semangat patriotisme dan nasionalisme" disertai "kepekaan taktis" yang melekat tanpa kepentingan lain kecuali "demi martabat bangsa dan negara".
Saya teringat saat mengawali tugas operasi militer di Timor Timur awal tahun 1976. Seorang perwira generasi '45 mengingatkan, "Jika generasi kami berbuat kesalahan akan berakibat biasa karena kami belajar di bawah pohon bambu. Sebaliknya, kesalahan generasi penerus bisa menimbulkan kerusakan besar karena ilmunya lebih tinggi."
Memang beralasan argumentasi senior tersebut. Pada kondisi perang dengan pengawasan yang lemah, sering terjadi penyalahgunaan wewenang oleh para pejabat logistik. Para perwira yang baru lulus pendidikan, pemegang tingkat komando operasi, menimbun logistik prajurit yang didatangkan dari Singapura dengan harga murah dan bebas pajak, menjualnya di pasar gelap Surabaya. Mereka mengambil hak prajurit yang berkeringat di garis depan, yang berhadapan langsung dengan taruhan nyawa.
Militer Indonesia kini
Dewasa ini jati diri TNI telah mengantarkan TNI ke posisi bermartabat. TNI memiliki pegangan kuat Sapta Marga dan Sumpah Prajurit untuk menjaga kehormatan dan semangat juang TNI. Maka, tantangan utama selama dinas aktif keprajuritan adalah senantiasa menjaga agar Sapta Marga dan Sumpah Prajurit tidak tergerus kepentingan golongan atau siapa pun, seperti pesan Panglima Besar Soedirman, 5 Oktober 1949.
Pesan itu beralasan karena perjalanan TNI berada di pusaran politik. Inilah faktor kesulitan yang perlu diatasi dalam menerjemahkan makna jati diri TNI sebagai tentara rakyat, tentara pejuang, tentara nasional, dan tentara profesional. Sebab, tanpa disadari, hawa politik selalu bertiup di halaman TNI, baik era otoritarian maupun era demokrasi.
Di sisi lain, membangun profesional TNI agar semakin tangguh memang tuntutan universal dunia. Bagi NKRI, salah satu dimensi kekuatannya TNI modern yang memiliki daya pukul dahsyat dengan dukungan teknologi informasi dan mobilitas jelajah yang menjangkau seluruh wilayah nasional. Mulai dari misi periferi di perbatasan negara sampai ke pusat gravitasi politik-ekonomi untuk menyukseskan misi pembangunan nasional.
Keberadaan Revolutionary in Military Affair bisa menjadi rujukan mengembangkan militer profesional sesuai dengan kondisi negara dan misi TNI. Tentunya dengan dukungan "kemauan politik" yang ditopang "kemampuan anggaran negara".
Saatnya militer Indonesia membuka pikiran terhadap berbagai pandangan profesional yang memiliki kompetensi meski terkesan berbeda. Semua ini jika dikaji lebih jauh akan memberi manfaat bagi pengembangan organisasi dan manajemen secara menyeluruh.
Membangun kerja sama militer profesional antarnegara juga akan efektif sebagai netralisator jika terjadi ketegangan hubungan bilateral dan multilateral. Pada konteks ini peran diplomasi militer menjadi mengemuka.
Di sinilah negara merealisasikan amanat Pembukaan UUD '45 untuk menciptakan perdamaian dunia. Dalam hal ini TNI tidak hanya berperan pada misi pemelihara perdamaian, tetapi juga lebih dari itu menjalankan peran diplomasi militer menjembatani terciptanya perdamaian.
Militer Indonesia hendaknya tidak bergeser posisi sebagai kekuatan nasional dan kekuatan regional. TNI tidak mengenal fatamorgana dalam menjalankan misi negara. TNI adalah komponen utama pengawal kedaulatan negara. TNI berperan sebagai ultima rasio: mengingatkan dan mengatasi apa yang menjadi tantangan dan gangguan terhadap keselamatan bangsa.
Ruang gerak pengembangan profesi militer selayaknya diperluas dengan berbagai kesempatan untuk kesetaraan sesama militer. Di sisi lain, militer Indonesia memerlukan peningkatan kemampuan heterogen nonmiliter, selain memelihara dan meningkatkan kemampuan homogen profesi militer karena misi militer dalam era globalisasi yang multidimensi akan berdampingan dengan misi sipil nonmiliter.
Akan tidak bisa dihindari penyelesaian permasalahan dengan menggunakan formulasi sinergi kerja sama sipil-militer. Beberapa negara mulai merintis jalan membentuk badan kerja sama sipil-militer untuk menyelesaikan permasalahan negara. Tentunya bangsa dan negara kita akan terus mengelola satu satunya milik nasional yang tidak pernah berubah, yaitu militer Indonesia (TNI) yang profesional dan memiliki semangat patriotisme dan nasionalisme. Selain itu, kualitas daya saing bermanfaat sebagai kekuatan nasional dan kekuatan regional dari masa ke masa.
Saat unjuk rasa 4 November 2016 di Jakarta, Presiden Joko Widodo mengapresiasi aparat dalam menjaga keamanan di Tanah Air sekaligus menginstruksikan kepada TNI di Mabes Angkatan Darat, 7 November 2016, jangan ragu bertindak demi keutuhan NKRI dengan memegang teguh Sapta Marga dan Sumpah Prajurit.
Pada momen lain, Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi AD-AL-AU memberikan perintah kepada TNI untuk tidak menoleransi gerakan yang memecah belah bangsa. Setiap terjadi peristiwa yang mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa, TNI sebagai tentara nasional harus menjadi kekuatan perekat bangsa sekaligus menjaga keutuhan NKRI. Inilah tantangan tugas TNI dari masa ke masa.
Menengok perjalanan sejarah, Indonesia adalah salah satu dari negara yang membangun militer berbasis rakyat: bersama berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Itulah spesifikasi militer Indonesia yang dikenal. Mereka adalah tentara rakyat, tentara pejuang, dan sekaligus tentara nasional, jauh sebelum membangun diri sebagai tentara profesional.
Sejarah militer Indonesia
Empiris perjalanan TNI menggambarkan betapa jauh perbedaan militer negara lain dengan militer Indonesia. Militer Indonesia lahir dengan semangat tidak kenal menyerah meski belum memiliki sistem dan organisasi militer layaknya di negara lain. TNI nyaris tidak memiliki kemampuan tempur konvensional (combat) apalagi memiliki bantuan tempur (combat support) dan bantuan administrasi (combat service support) yang berperan menopang dan mendukung sistem operasi.
Perjuangan melawan penjajah telah melahirkan komandan pertempuran (combat leaders) yang mencair bersama rakyat. Dengan taktik hit and run, mereka berhasil memukul mundur kekuatan militer konvensional musuh yang lebih kuat. Padahal, para komandan lapangan saat itu belum tersentuh pendidikan militer profesional walaupun ada masa yang singkat dalam perang kemerdekaan, Jepang memberikan latihan militer dasar bagi para pemuda yang tergabung dalam Pembela Tanah Air (Peta).
Ada perbedaan antara generasi penerus dan generasi '45 yang terlebih dahulu mengaplikasikan taktik dan strategi, setelah itu baru mempelajari teori di sekolah. Generasi penerus uji teori lebih dahulu sebelum mengaplikasikan di lapangan. Mengapa demikian? Ada "semangat patriotisme dan nasionalisme" disertai "kepekaan taktis" yang melekat tanpa kepentingan lain kecuali "demi martabat bangsa dan negara".
Saya teringat saat mengawali tugas operasi militer di Timor Timur awal tahun 1976. Seorang perwira generasi '45 mengingatkan, "Jika generasi kami berbuat kesalahan akan berakibat biasa karena kami belajar di bawah pohon bambu. Sebaliknya, kesalahan generasi penerus bisa menimbulkan kerusakan besar karena ilmunya lebih tinggi."
Memang beralasan argumentasi senior tersebut. Pada kondisi perang dengan pengawasan yang lemah, sering terjadi penyalahgunaan wewenang oleh para pejabat logistik. Para perwira yang baru lulus pendidikan, pemegang tingkat komando operasi, menimbun logistik prajurit yang didatangkan dari Singapura dengan harga murah dan bebas pajak, menjualnya di pasar gelap Surabaya. Mereka mengambil hak prajurit yang berkeringat di garis depan, yang berhadapan langsung dengan taruhan nyawa.
Militer Indonesia kini
Dewasa ini jati diri TNI telah mengantarkan TNI ke posisi bermartabat. TNI memiliki pegangan kuat Sapta Marga dan Sumpah Prajurit untuk menjaga kehormatan dan semangat juang TNI. Maka, tantangan utama selama dinas aktif keprajuritan adalah senantiasa menjaga agar Sapta Marga dan Sumpah Prajurit tidak tergerus kepentingan golongan atau siapa pun, seperti pesan Panglima Besar Soedirman, 5 Oktober 1949.
Pesan itu beralasan karena perjalanan TNI berada di pusaran politik. Inilah faktor kesulitan yang perlu diatasi dalam menerjemahkan makna jati diri TNI sebagai tentara rakyat, tentara pejuang, tentara nasional, dan tentara profesional. Sebab, tanpa disadari, hawa politik selalu bertiup di halaman TNI, baik era otoritarian maupun era demokrasi.
Di sisi lain, membangun profesional TNI agar semakin tangguh memang tuntutan universal dunia. Bagi NKRI, salah satu dimensi kekuatannya TNI modern yang memiliki daya pukul dahsyat dengan dukungan teknologi informasi dan mobilitas jelajah yang menjangkau seluruh wilayah nasional. Mulai dari misi periferi di perbatasan negara sampai ke pusat gravitasi politik-ekonomi untuk menyukseskan misi pembangunan nasional.
Keberadaan Revolutionary in Military Affair bisa menjadi rujukan mengembangkan militer profesional sesuai dengan kondisi negara dan misi TNI. Tentunya dengan dukungan "kemauan politik" yang ditopang "kemampuan anggaran negara".
Saatnya militer Indonesia membuka pikiran terhadap berbagai pandangan profesional yang memiliki kompetensi meski terkesan berbeda. Semua ini jika dikaji lebih jauh akan memberi manfaat bagi pengembangan organisasi dan manajemen secara menyeluruh.
Membangun kerja sama militer profesional antarnegara juga akan efektif sebagai netralisator jika terjadi ketegangan hubungan bilateral dan multilateral. Pada konteks ini peran diplomasi militer menjadi mengemuka.
Di sinilah negara merealisasikan amanat Pembukaan UUD '45 untuk menciptakan perdamaian dunia. Dalam hal ini TNI tidak hanya berperan pada misi pemelihara perdamaian, tetapi juga lebih dari itu menjalankan peran diplomasi militer menjembatani terciptanya perdamaian.
Militer Indonesia hendaknya tidak bergeser posisi sebagai kekuatan nasional dan kekuatan regional. TNI tidak mengenal fatamorgana dalam menjalankan misi negara. TNI adalah komponen utama pengawal kedaulatan negara. TNI berperan sebagai ultima rasio: mengingatkan dan mengatasi apa yang menjadi tantangan dan gangguan terhadap keselamatan bangsa.
Ruang gerak pengembangan profesi militer selayaknya diperluas dengan berbagai kesempatan untuk kesetaraan sesama militer. Di sisi lain, militer Indonesia memerlukan peningkatan kemampuan heterogen nonmiliter, selain memelihara dan meningkatkan kemampuan homogen profesi militer karena misi militer dalam era globalisasi yang multidimensi akan berdampingan dengan misi sipil nonmiliter.
Akan tidak bisa dihindari penyelesaian permasalahan dengan menggunakan formulasi sinergi kerja sama sipil-militer. Beberapa negara mulai merintis jalan membentuk badan kerja sama sipil-militer untuk menyelesaikan permasalahan negara. Tentunya bangsa dan negara kita akan terus mengelola satu satunya milik nasional yang tidak pernah berubah, yaitu militer Indonesia (TNI) yang profesional dan memiliki semangat patriotisme dan nasionalisme. Selain itu, kualitas daya saing bermanfaat sebagai kekuatan nasional dan kekuatan regional dari masa ke masa.
★ Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.