Mereka akan dilihat sebagai para pembela jihad berpengalaman. Militan ISIS menguasai kota Ramadi di Provinsi Anbar, Irak, Desember 2013.
Ahli tindak terorisme dari Institut Pembangunan Perdamaian Internasional, Taufik Andrie, mengatakan Indonesia seharusnya khawatir terhadap ancaman yang dibawa WNI yang diduga bergabung dengan kelompok militan di Timur Tengah. Sebab, mereka diduga akan membawa ancaman baru dan serius ke dalam negeri, ketika mereka kembali ke Tanah Air.
Dilansir dari stasiun berita Channel News Asia, Taufik berpikir ketika para WNI itu kembali ke Tanah Air, mereka akan dilihat sebagai para pembela jihad berpengalaman. Dengan cara seperti itu, ungkap Taufik, kaum muda akan tertarik dan mendatangi mereka untuk dilatih.
"Kemudian, mereka akan membentuk kelompok baru, merencanakan serangan baru, mengajari cara untuk membuat bom dan berperang," kata Taufik.
Dia menilai, hal serupa tidak akan mungkin bisa dilakukan, apabila ada orang tertentu di kelompok itu hanya tetap berada di Indonesia. Yang tersisa di Indonesia, ujar Taufik, hanya kelompok sempalan tanpa sumber daya atau dukungan apa pun.
"Sebab itu begitu banyak yang terinspirasi untuk mengetahui apa yang terjadi di Irak dan Suriah," kata dia.
Saat ini, diprediksi terdapat sekitar 60 warga Indonesia yang pergi ke Suriah dan Irak untuk berperang. Namun, menurut para ahli lainnya, angka sesungguhnya mendekati 100 orang dan berkembang dengan cepat.
Salah satunya, terekam dalam sebuah video yang diunggah ke akun media sosial Youtube. Menurut narator yang merekam dengan kamera, terlihat ada lima WNI yang mengenakan balaclava atau tutup wajah dan menenteng senapan Kalashnikov.
Dalam video tersebut, kelimanya mengajak umat Muslim Indonesia untuk turun berjihad ke Suriah.
Pengamat intelijen dari Lembaga Pengembangan Kemandirian Nasional (LPKN), Wawan Purwanto, membenarkan adanya potensi ancaman dari alumni militan asal Indonesia yang kini berjuang bersama kelompok ISIL. Menurut pria yang juga menjabat sebagai direktur di organisasi itu, apabila alumni itu kembali ke Tanah Air, maka yang menjadi sasaran mereka yakni pemeluk Islam Syiah.
Proses pengiriman warga Indonesia ke Timur Tengah sudah berlangsung cukup lama. Bahkan, jumlahnya tidak hanya 60 orang seperti yang diklaim oleh Kementerian Luar Negeri RI. Angkanya, mencapai ratusan orang.
"Dari data yang saya pegang, sebanyak 55 orang meninggal. Sementara di Yaman, sedikitnya sudah ada lima orang yang meninggal," kata dia.
Sebanyak 11 WNI, bahkan tidak diketahui keberadaannya. Menurut Wawan, Mereka berangkat ke sana unuk berjihad dan berperang atas nama Islam. Apabila mereka meninggal di sana, kebanyakan mereka mengaku sudah siap.
Wawan menyebut sulit mencegah atau melarang WNI bepergian ke Timur Tengah. Mereka tidak akan secara langsung membeli tiket pesawat dengan tujuan ke Suriah.
Mereka bisa masuk melalui Malaysia, lewat Qatar, Turki, atau Pakistan. Apabila berbicara mengenai dokumen perjalanan, maka tidak bisa dilacak. Mereka malah cenderung menutupi ke mana tujuan keberangkatannya.
Bukan Barat lagi
Sementara itu, soal target potensi ancaman ini sudah berbeda jika dibandingkan serangan teror Bom Bali dan peristiwa lainnya. Kalau dulu mereka berfokus kepada negara dan warga Barat. Karena perangnya antara Islam dan Barat. "Kini, perang terjadi antara Sunni dan Syiah," kata Wawan, ketika dihubungi VIVAnews.
Dia berpendapat, motif itu bisa berubah karena sosok yang dijadikan target di sana berasal dari pemeluk Syiah. "Bashar al-Assad yang dijadikan sasaran oleh pasukan ISIS, merupakan pengikut Syiah. Pun hal yang sama juga terlihat di Irak," kata Wawan.
Yang dikhawatirkan di Indonesia, adalah membesarnya perang sektarian antara pemeluk Sunni dan Syiah di Tanah Air. Dia bahkan menyebut ada aliran dana dari Yaman ke RI kepada oknum tertentu untuk sengaja membenturkan kedua kelompok itu.
Namun, dia enggan merinci dari mana informasi tersebut dia peroleh. "Kini, kami tengah berupaya agar hal tersebut tidak terjadi. Kami berusaha menetralisir dan mengajak kedua kelompok untuk berkomunikasi, agar potensi konflik tersebut bisa diredam," kata dia.
Upaya itu, lanjut Wawan, sejauh ini dinilai berhasil. Sebagai bukti, kata dia, potensi konflik di Papua dan Maluku tidak meletup.
Menurut data, pemeluk Syiah di Papua diperkirakan sebanyak 300 orang, sedangkan di Maluku berjumlah 200 warga. "Kami terus berkomunikasi dengan kedua pihak agar tidak mudah terpancing provokasi tertentu," kata dia.
Rujuk Malaysia
Sementara itu, di saat bersamaan, tidak ada hukum yang secara khusus melarang warga Indonesia untuk bergabung dengan kelompok militan tertentu dan organisasi Islam yang secara terbuka menggalang dana untuk kelompok militan ISIL. Ahli terorisme dari Singapore's S. Rajaratnam School of International Studies, Rohan Gunaratna, mengatakan, seharusnya Pemerintah Indonesia menetapkan aturan khusus untuk itu.
"Pemerintah harus membuat aturan yang berisi hukuman bagi warganya yang mendukung dan bepergian ke luar negeri untuk bergabung dengan kelompok teroris," kata Rohan.
Indonesia, ujar dia, bisa merujuk ke negara tetangga, Malaysia, yang sudah lebih dulu aktif dengan menahan puluhan pria yang ingin ke Suriah dan berperang di sana. Kendati begitu, Pemerintah Negeri Jiran gagal mencegah pemuda berusia 26 tahun yang berhasil pergi ke Irak.
Di sana, dia melakukan aksi bom bunuh diri dan menewaskan 25 tentara.
Indonesia pun telah memiliki pengalaman serupa, ketika organisasi yang terkait kelompok Al-Qaeda, Jamaah Islamiyah, menjadi dalang pengeboman Bali pada 2002 yang menewaskan 202 orang.
Isu ini tidak hanya menjadi kekhawatiran Pemerintah Indonesia, tapi juga fokus negara-negara barat, seperti Australia, Amerika Serikat, dan Inggris. Menurut data kelompok intelijen yang berbasis di New York, Soufan Group, saat ini terdapat sekitar 12 ribu pemuda yang tengah berada di Suriah dan Irak dalam tiga tahun terakhir.
Pada bulan lalu, seorang pria AS menjadi pelaku bom bunuh diri di Suriah dan menewaskan 37 orang. Sementara itu, warga Belgia yang berperang dengan ISIL di Suriah menewaskan empat orang dalam sebuah serangan senjata di Museum Yahudi di ibu kota Brussel.
Pemerintah Australia turut khawatir, karena mereka mengetahui ada sekitar 150 warganya yang juga berperang bersama militan Sunni di Irak dan Suriah. Sementara itu, Pemerintah Inggris telah memasukkan ISIL sebagai organisasi terlarang.
Kementerian Keamanan Inggris menyebut tindak terorisme yang terkait perang sipil di Suriah akan menimbulkan ancaman terhadap situasi dalam negeri Negeri Ratu Elizabeth itu di masa mendatang.
Ahli tindak terorisme dari Institut Pembangunan Perdamaian Internasional, Taufik Andrie, mengatakan Indonesia seharusnya khawatir terhadap ancaman yang dibawa WNI yang diduga bergabung dengan kelompok militan di Timur Tengah. Sebab, mereka diduga akan membawa ancaman baru dan serius ke dalam negeri, ketika mereka kembali ke Tanah Air.
Dilansir dari stasiun berita Channel News Asia, Taufik berpikir ketika para WNI itu kembali ke Tanah Air, mereka akan dilihat sebagai para pembela jihad berpengalaman. Dengan cara seperti itu, ungkap Taufik, kaum muda akan tertarik dan mendatangi mereka untuk dilatih.
"Kemudian, mereka akan membentuk kelompok baru, merencanakan serangan baru, mengajari cara untuk membuat bom dan berperang," kata Taufik.
Dia menilai, hal serupa tidak akan mungkin bisa dilakukan, apabila ada orang tertentu di kelompok itu hanya tetap berada di Indonesia. Yang tersisa di Indonesia, ujar Taufik, hanya kelompok sempalan tanpa sumber daya atau dukungan apa pun.
"Sebab itu begitu banyak yang terinspirasi untuk mengetahui apa yang terjadi di Irak dan Suriah," kata dia.
Saat ini, diprediksi terdapat sekitar 60 warga Indonesia yang pergi ke Suriah dan Irak untuk berperang. Namun, menurut para ahli lainnya, angka sesungguhnya mendekati 100 orang dan berkembang dengan cepat.
Salah satunya, terekam dalam sebuah video yang diunggah ke akun media sosial Youtube. Menurut narator yang merekam dengan kamera, terlihat ada lima WNI yang mengenakan balaclava atau tutup wajah dan menenteng senapan Kalashnikov.
Dalam video tersebut, kelimanya mengajak umat Muslim Indonesia untuk turun berjihad ke Suriah.
Pengamat intelijen dari Lembaga Pengembangan Kemandirian Nasional (LPKN), Wawan Purwanto, membenarkan adanya potensi ancaman dari alumni militan asal Indonesia yang kini berjuang bersama kelompok ISIL. Menurut pria yang juga menjabat sebagai direktur di organisasi itu, apabila alumni itu kembali ke Tanah Air, maka yang menjadi sasaran mereka yakni pemeluk Islam Syiah.
Proses pengiriman warga Indonesia ke Timur Tengah sudah berlangsung cukup lama. Bahkan, jumlahnya tidak hanya 60 orang seperti yang diklaim oleh Kementerian Luar Negeri RI. Angkanya, mencapai ratusan orang.
"Dari data yang saya pegang, sebanyak 55 orang meninggal. Sementara di Yaman, sedikitnya sudah ada lima orang yang meninggal," kata dia.
Sebanyak 11 WNI, bahkan tidak diketahui keberadaannya. Menurut Wawan, Mereka berangkat ke sana unuk berjihad dan berperang atas nama Islam. Apabila mereka meninggal di sana, kebanyakan mereka mengaku sudah siap.
Wawan menyebut sulit mencegah atau melarang WNI bepergian ke Timur Tengah. Mereka tidak akan secara langsung membeli tiket pesawat dengan tujuan ke Suriah.
Mereka bisa masuk melalui Malaysia, lewat Qatar, Turki, atau Pakistan. Apabila berbicara mengenai dokumen perjalanan, maka tidak bisa dilacak. Mereka malah cenderung menutupi ke mana tujuan keberangkatannya.
Bukan Barat lagi
Sementara itu, soal target potensi ancaman ini sudah berbeda jika dibandingkan serangan teror Bom Bali dan peristiwa lainnya. Kalau dulu mereka berfokus kepada negara dan warga Barat. Karena perangnya antara Islam dan Barat. "Kini, perang terjadi antara Sunni dan Syiah," kata Wawan, ketika dihubungi VIVAnews.
Dia berpendapat, motif itu bisa berubah karena sosok yang dijadikan target di sana berasal dari pemeluk Syiah. "Bashar al-Assad yang dijadikan sasaran oleh pasukan ISIS, merupakan pengikut Syiah. Pun hal yang sama juga terlihat di Irak," kata Wawan.
Yang dikhawatirkan di Indonesia, adalah membesarnya perang sektarian antara pemeluk Sunni dan Syiah di Tanah Air. Dia bahkan menyebut ada aliran dana dari Yaman ke RI kepada oknum tertentu untuk sengaja membenturkan kedua kelompok itu.
Namun, dia enggan merinci dari mana informasi tersebut dia peroleh. "Kini, kami tengah berupaya agar hal tersebut tidak terjadi. Kami berusaha menetralisir dan mengajak kedua kelompok untuk berkomunikasi, agar potensi konflik tersebut bisa diredam," kata dia.
Upaya itu, lanjut Wawan, sejauh ini dinilai berhasil. Sebagai bukti, kata dia, potensi konflik di Papua dan Maluku tidak meletup.
Menurut data, pemeluk Syiah di Papua diperkirakan sebanyak 300 orang, sedangkan di Maluku berjumlah 200 warga. "Kami terus berkomunikasi dengan kedua pihak agar tidak mudah terpancing provokasi tertentu," kata dia.
Rujuk Malaysia
Sementara itu, di saat bersamaan, tidak ada hukum yang secara khusus melarang warga Indonesia untuk bergabung dengan kelompok militan tertentu dan organisasi Islam yang secara terbuka menggalang dana untuk kelompok militan ISIL. Ahli terorisme dari Singapore's S. Rajaratnam School of International Studies, Rohan Gunaratna, mengatakan, seharusnya Pemerintah Indonesia menetapkan aturan khusus untuk itu.
"Pemerintah harus membuat aturan yang berisi hukuman bagi warganya yang mendukung dan bepergian ke luar negeri untuk bergabung dengan kelompok teroris," kata Rohan.
Indonesia, ujar dia, bisa merujuk ke negara tetangga, Malaysia, yang sudah lebih dulu aktif dengan menahan puluhan pria yang ingin ke Suriah dan berperang di sana. Kendati begitu, Pemerintah Negeri Jiran gagal mencegah pemuda berusia 26 tahun yang berhasil pergi ke Irak.
Di sana, dia melakukan aksi bom bunuh diri dan menewaskan 25 tentara.
Indonesia pun telah memiliki pengalaman serupa, ketika organisasi yang terkait kelompok Al-Qaeda, Jamaah Islamiyah, menjadi dalang pengeboman Bali pada 2002 yang menewaskan 202 orang.
Isu ini tidak hanya menjadi kekhawatiran Pemerintah Indonesia, tapi juga fokus negara-negara barat, seperti Australia, Amerika Serikat, dan Inggris. Menurut data kelompok intelijen yang berbasis di New York, Soufan Group, saat ini terdapat sekitar 12 ribu pemuda yang tengah berada di Suriah dan Irak dalam tiga tahun terakhir.
Pada bulan lalu, seorang pria AS menjadi pelaku bom bunuh diri di Suriah dan menewaskan 37 orang. Sementara itu, warga Belgia yang berperang dengan ISIL di Suriah menewaskan empat orang dalam sebuah serangan senjata di Museum Yahudi di ibu kota Brussel.
Pemerintah Australia turut khawatir, karena mereka mengetahui ada sekitar 150 warganya yang juga berperang bersama militan Sunni di Irak dan Suriah. Sementara itu, Pemerintah Inggris telah memasukkan ISIL sebagai organisasi terlarang.
Kementerian Keamanan Inggris menyebut tindak terorisme yang terkait perang sipil di Suriah akan menimbulkan ancaman terhadap situasi dalam negeri Negeri Ratu Elizabeth itu di masa mendatang.
★ Vivanews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.