MEF hanya dirancang berdasar adanya kesenjangan dengan negara tetangga Konsep perang yang disebut short sharp war yang menitikberatkan pada Control, Command, Communication, dan Intelligent (C3I), mutlak diperlukan dalam membangun kekuatan pertahanan negara. Mantan Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) tahun 2000, Laksamana (Purn) Achmad Sutjipto menegaskan hal tersebut saat ditemui JMOL beberapa waktu lalu.
“Skenario perang yang disebut dengan short sharp war, merupakan perang cepat untuk memukul musuh pertama kali dan harus menang. Perang pertama sangat menentukan, karena sehabis perang pertama pasti ada kekuatan ketiga yang melerai dan kita tidak malu. Jika kita menang maka akan berpengaruh pada perang-perang berikutnya,” ujar Achmad.
Lebih jauh, Achmad mengutarakan bahwa konsep short sharp war yang ditopang C3I akan terjadi di wilayah Indonesia, menghadapi memanasnya situasi kawasan. Sebagai contoh, adanya sengketa Laut Tiongkok Selatan yang sudah sangat nyata ada.
Maka dari itu, sudah sepantasnya Indonesia berbenah terhadap alutsista dan pemutakhiran sistem C3I untuk menghadapi short sharp war dalam waktu dekat.
“Modernisasi dalam hal Command, Control, Communication, Inteligent atau biasa disebut C3I sangat dibutuhkan yang up to date dan real time, dan itu akan mengkover seluruh ruang tempur atau battle space dalam upaya mempertahankan NKRI,” ucapnya.
Kritikan terhadap MEF
Bicara alutsista terkait juga dengan sarana pendukungnya dalam konteks C3I. Jadi, tidak dapat terlepas dengan Minimum Essensial Force (MEF) yang telah ditetapkan hingga 2024 selama tiga tahap.
“Apakah konsep MEF dirancang untuk short sharp war? Tidak. MEF hanya dirancang berdasar feeling the gap atau adanya kesenjangan kita dengan negara tetangga seperti kesenjangan ekonomi, kesenjangan teknologi, dan kesenjangan posisi,” tegasnya.
Pasalnya, dalam perjalanan MEF tahap I kurun waktu 2010-2014, Indonesia masih mengalami kebocoran potensi laut sebesar Rp 40 triliun per tahunnya. Sudah selayaknya pemimpin ke depan meninjau ulang MEF, apakah masih layak atau tidak.
“Saya yakin, kedua capres kita akan meninjau ulang lagi, karena yang namanya kebijakan itu harus dinamis dan fleksibel. Tidak boleh harga mati,” tuturnya.
Ia menambahkan, berubahnya kebijakan dapat terkait kondisi tertentu, misalnya keterkaitan keamanan kawasan di ASEAN dan meningkatnya perekonomian. Kedua hal itu dapat mengubah suatu kebijakan.
“Skenario perang yang disebut dengan short sharp war, merupakan perang cepat untuk memukul musuh pertama kali dan harus menang. Perang pertama sangat menentukan, karena sehabis perang pertama pasti ada kekuatan ketiga yang melerai dan kita tidak malu. Jika kita menang maka akan berpengaruh pada perang-perang berikutnya,” ujar Achmad.
Lebih jauh, Achmad mengutarakan bahwa konsep short sharp war yang ditopang C3I akan terjadi di wilayah Indonesia, menghadapi memanasnya situasi kawasan. Sebagai contoh, adanya sengketa Laut Tiongkok Selatan yang sudah sangat nyata ada.
Maka dari itu, sudah sepantasnya Indonesia berbenah terhadap alutsista dan pemutakhiran sistem C3I untuk menghadapi short sharp war dalam waktu dekat.
“Modernisasi dalam hal Command, Control, Communication, Inteligent atau biasa disebut C3I sangat dibutuhkan yang up to date dan real time, dan itu akan mengkover seluruh ruang tempur atau battle space dalam upaya mempertahankan NKRI,” ucapnya.
Kritikan terhadap MEF
Bicara alutsista terkait juga dengan sarana pendukungnya dalam konteks C3I. Jadi, tidak dapat terlepas dengan Minimum Essensial Force (MEF) yang telah ditetapkan hingga 2024 selama tiga tahap.
“Apakah konsep MEF dirancang untuk short sharp war? Tidak. MEF hanya dirancang berdasar feeling the gap atau adanya kesenjangan kita dengan negara tetangga seperti kesenjangan ekonomi, kesenjangan teknologi, dan kesenjangan posisi,” tegasnya.
Pasalnya, dalam perjalanan MEF tahap I kurun waktu 2010-2014, Indonesia masih mengalami kebocoran potensi laut sebesar Rp 40 triliun per tahunnya. Sudah selayaknya pemimpin ke depan meninjau ulang MEF, apakah masih layak atau tidak.
“Saya yakin, kedua capres kita akan meninjau ulang lagi, karena yang namanya kebijakan itu harus dinamis dan fleksibel. Tidak boleh harga mati,” tuturnya.
Ia menambahkan, berubahnya kebijakan dapat terkait kondisi tertentu, misalnya keterkaitan keamanan kawasan di ASEAN dan meningkatnya perekonomian. Kedua hal itu dapat mengubah suatu kebijakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.