Oleh: Sjafrie SjamsoeddinIlustrasi ☆
Seluruh dunia terenyak oleh serangan teror bom yang terjadi di Paris, Perancis.
Tragedi Paris itu membuka mata dan pikiran semua pihak, dunia menghadapi ancaman yang tidak hanya datang dari aktor negara (state actors), tetapi nyatanya ada ancaman dari non-state actors. Para pelaku serangan teror di Paris bukanlah pasukan negara asing, melainkan kelompok masyarakat bersenjata.
Tantangan global kini dan mendatang mengindikasikan dunia tidak lepas dari ketidakpastian politik dan ekonomi. Ada kepentingan politik global dan pergeseran kekuatan ekonomi yang dipastikan besar efek negatifnya bagi negara lain.
Pada sisi strategis lain, terjadi pergeseran kekuatan militer dari persenjataan pemusnah massal beralih ke intensitas diseminasi teknologi canggih, baik yang berawak (manned) maupun tidak (unmanned), yang dioperasikan dalam perang asimetris secara inkonvensional. Juga hadir mandala perang baru dalam teknologi informasi, yaitu cyber war.
Fenomena strategis lainnya, korupsi dan disloyal people terhadap integrasi nasional terutama yang berciri plural.
Jika mendalami observasi global, ada faktor yang dominan berpengaruh, yaitu geopolitik, power, kepentingan ditambah kebudayaan yang memengaruhi terjadinya krisis suatu negara.
Bagi Indonesia, yang dibutuhkan adalah respons bersama: kerja sama bahu-membahu sipil dan militer melindungi negara.
Saat ini interaksi sipil dan militer sudah mendunia menyelesaikan semua permasalahan kelangsungan hidup kemanusiaan dan kenegaraan. Bahkan, itu menjadi strategi solusi di era demokrasi.
Lihat saja bagaimana Perancis menangani serangan teror saat 1.500 anggota pasukan militer langsung diterjunkan untuk ikut menangani persoalan.
Hal yang sama dilakukan AS saat menghadapi serangan teror 11 September 2001 dan badai Katrina di New Orleans tahun 2005. Krisis yang terjadi tak hanya ditangani kekuatan sipil, tetapi juga melibatkan militer.
Federal Emergency Management Agency yang dimiliki AS merupakan lembaga negara yang bekerja lintas sektoral dan bertugas menangani semua situasi krisis yang terjadi di negeri itu.
Pendekatan mutualistis, interdependensi, serta konsultasi individu dan institusi telah menjadi suatu kekuatan preventif yang dibangun dalam kerangka kerja sama sipil dan militer.
Interaksi sipil dan militer mengenal tiga elemen: (1) bertukar informasi kapasitas, (2) membangun tim kerja dan pelatihan bersama lintas sektor sipil dan militer, (3) menyusun program bersama.
Secara universal dikenal dua tipe misi militer dan sipil bekerja sama. Dalam misi kemanusiaan disebut humanitarian action, sedangkan misi politik negara disebut military action.
Pengerahan kekuatan militer jadi kewenangan keputusan politik otoritas sipil yang berdaulat, yang lingkup penugasan militer pada area stabilisasi dan rekonstruksi krisis.
Kapabilitas sipil sangat dominan dalam interaksi sipil dan militer. Area profesi sipil berkembang pesat tampak dari berbagai aspek, seperti penguasaan teknologi hardware dan software, medis, legal, manajemen lingkungan, ekonomi bisnis, dan teknologi informasi.
Peran militer bersifat ultima ratio, bukan penentu akhir, melainkan menjadi elemen utama negara untuk menyelamatkan dan mempertahankan kelangsungan hidup bangsa dan negara pada kondisi krisis.
Oleh karena itu, penugasan perlu kejelasan batas waktu dan skala penugasan. Militer profesional menjalankan misi berpegang pada prinsip netral dan imparsial.
Spektrum kerja sama
Perlu kemauan politik untuk merumuskan konsep strategi terintegrasi operasionalisasi kerja sama sipil dan militer dalam manajemen krisis. Para teknokrat profesional sipil bekerja sama dengan personel militer dalam suatu misi gabungan merespons krisis.
Faktor dominan kontrol parlemen dan arahan strategis dalam regulasi diperlukan untuk melegitimasi kerja sama ini.
Dalam era masyarakat madani, masa kini dan mendatang, kerja sama sipil dan militer menempati ruang yang luas. Indonesia sudah membangun peta jalan kerja sama mutualistis dan merevitalisasi peran militer.
Tentunya kita tak bisa berhenti, bahkan diharapkan terus dilakukan optimalisasi dan sistematika oleh negara.
Kita tak boleh terkendala faktor psikologis dan traumatis, tetapi lebih bijak memandang perlunya integrasi nasional menghadapi tantangan masa depan.
Esensi manajemen krisis adalah kepemimpinan dan manajemen yang dikembangkan secara terintegrasi dan terkendali.
Faktor penting dalam manajemen krisis adalah kemampuan mengambil keputusan cepat guna mengatasi krisis dengan menggunakan sumber daya dan kemampuan seluruh kekuatan pertama yang ada.
Semua unit pendukung kedaruratan harus cepat dimobilisasi ke daerah krisis.
Informasi merupakan fakta yang dominan dalam manajemen krisis untuk mengantisipasi, merencanakan, dan mengendalikan krisis. Informasi mengenai infrastruktur (critical infrastructure) yang mempunyai nilai vital dan strategis harus menjadi bagian penting dalam manajemen mengantisipasi serangan teroris.
Beberapa serangan teror terjadi disebabkan kegagalan melakukan identifikasi dan pengamanan wilayah sebagai pencegahan.
Dalam bidang teknologi informasi, kita sudah memiliki berbagai teknologi canggih. Hanya saja untuk efektivitasnya, kita perlu dukungan traditional resources yang di Indonesia dikenal dengan pembinaan teritorial. Merekalah sumber informasi pertama yang diperlukan untuk melakukan respons cepat.
Pengalaman menunjukkan manajemen krisis juga butuh dukungan manajemen operasi media. Media perlu memperoleh sebanyak mungkin informasi tepat waktu.
Fasilitas umum seperti sekolah dan rumah sakit serta keperluan mendasar masyarakat akan jadi perhatian media. Untuk itu, penanganannya harus diutamakan.
Satu yang tak boleh dilupakan adalah ancaman siber. Ancaman siber tak mematikan, tetapi melumpuhkan sistem negara.
Mengingat perang siber ini tak kenal batas dan waktu, organisasi internasional seperti NATO perlu mengambil inisiatif untuk merancang pertahanan internasional siber. Di Indonesia dilakukan interaksi dengan para hacker untuk merespons suatu pusat pertahanan perang siber.
Ada keperluan untuk merancang strategi pertahanan siber secara terintegrasi guna mengamankan kepentingan nasional.
Sjafrie Sjamsoeddin
Siswa Kursus Krisis Manajemen NATO School Oberammergau, Jerman
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 November 2015, di halaman 7 dengan judul "Kerja Sama Sipil dan Militer".
Seluruh dunia terenyak oleh serangan teror bom yang terjadi di Paris, Perancis.
Tragedi Paris itu membuka mata dan pikiran semua pihak, dunia menghadapi ancaman yang tidak hanya datang dari aktor negara (state actors), tetapi nyatanya ada ancaman dari non-state actors. Para pelaku serangan teror di Paris bukanlah pasukan negara asing, melainkan kelompok masyarakat bersenjata.
Tantangan global kini dan mendatang mengindikasikan dunia tidak lepas dari ketidakpastian politik dan ekonomi. Ada kepentingan politik global dan pergeseran kekuatan ekonomi yang dipastikan besar efek negatifnya bagi negara lain.
Pada sisi strategis lain, terjadi pergeseran kekuatan militer dari persenjataan pemusnah massal beralih ke intensitas diseminasi teknologi canggih, baik yang berawak (manned) maupun tidak (unmanned), yang dioperasikan dalam perang asimetris secara inkonvensional. Juga hadir mandala perang baru dalam teknologi informasi, yaitu cyber war.
Fenomena strategis lainnya, korupsi dan disloyal people terhadap integrasi nasional terutama yang berciri plural.
Jika mendalami observasi global, ada faktor yang dominan berpengaruh, yaitu geopolitik, power, kepentingan ditambah kebudayaan yang memengaruhi terjadinya krisis suatu negara.
Bagi Indonesia, yang dibutuhkan adalah respons bersama: kerja sama bahu-membahu sipil dan militer melindungi negara.
Saat ini interaksi sipil dan militer sudah mendunia menyelesaikan semua permasalahan kelangsungan hidup kemanusiaan dan kenegaraan. Bahkan, itu menjadi strategi solusi di era demokrasi.
Lihat saja bagaimana Perancis menangani serangan teror saat 1.500 anggota pasukan militer langsung diterjunkan untuk ikut menangani persoalan.
Hal yang sama dilakukan AS saat menghadapi serangan teror 11 September 2001 dan badai Katrina di New Orleans tahun 2005. Krisis yang terjadi tak hanya ditangani kekuatan sipil, tetapi juga melibatkan militer.
Federal Emergency Management Agency yang dimiliki AS merupakan lembaga negara yang bekerja lintas sektoral dan bertugas menangani semua situasi krisis yang terjadi di negeri itu.
Pendekatan mutualistis, interdependensi, serta konsultasi individu dan institusi telah menjadi suatu kekuatan preventif yang dibangun dalam kerangka kerja sama sipil dan militer.
Interaksi sipil dan militer mengenal tiga elemen: (1) bertukar informasi kapasitas, (2) membangun tim kerja dan pelatihan bersama lintas sektor sipil dan militer, (3) menyusun program bersama.
Secara universal dikenal dua tipe misi militer dan sipil bekerja sama. Dalam misi kemanusiaan disebut humanitarian action, sedangkan misi politik negara disebut military action.
Pengerahan kekuatan militer jadi kewenangan keputusan politik otoritas sipil yang berdaulat, yang lingkup penugasan militer pada area stabilisasi dan rekonstruksi krisis.
Kapabilitas sipil sangat dominan dalam interaksi sipil dan militer. Area profesi sipil berkembang pesat tampak dari berbagai aspek, seperti penguasaan teknologi hardware dan software, medis, legal, manajemen lingkungan, ekonomi bisnis, dan teknologi informasi.
Peran militer bersifat ultima ratio, bukan penentu akhir, melainkan menjadi elemen utama negara untuk menyelamatkan dan mempertahankan kelangsungan hidup bangsa dan negara pada kondisi krisis.
Oleh karena itu, penugasan perlu kejelasan batas waktu dan skala penugasan. Militer profesional menjalankan misi berpegang pada prinsip netral dan imparsial.
Spektrum kerja sama
Perlu kemauan politik untuk merumuskan konsep strategi terintegrasi operasionalisasi kerja sama sipil dan militer dalam manajemen krisis. Para teknokrat profesional sipil bekerja sama dengan personel militer dalam suatu misi gabungan merespons krisis.
Faktor dominan kontrol parlemen dan arahan strategis dalam regulasi diperlukan untuk melegitimasi kerja sama ini.
Dalam era masyarakat madani, masa kini dan mendatang, kerja sama sipil dan militer menempati ruang yang luas. Indonesia sudah membangun peta jalan kerja sama mutualistis dan merevitalisasi peran militer.
Tentunya kita tak bisa berhenti, bahkan diharapkan terus dilakukan optimalisasi dan sistematika oleh negara.
Kita tak boleh terkendala faktor psikologis dan traumatis, tetapi lebih bijak memandang perlunya integrasi nasional menghadapi tantangan masa depan.
Esensi manajemen krisis adalah kepemimpinan dan manajemen yang dikembangkan secara terintegrasi dan terkendali.
Faktor penting dalam manajemen krisis adalah kemampuan mengambil keputusan cepat guna mengatasi krisis dengan menggunakan sumber daya dan kemampuan seluruh kekuatan pertama yang ada.
Semua unit pendukung kedaruratan harus cepat dimobilisasi ke daerah krisis.
Informasi merupakan fakta yang dominan dalam manajemen krisis untuk mengantisipasi, merencanakan, dan mengendalikan krisis. Informasi mengenai infrastruktur (critical infrastructure) yang mempunyai nilai vital dan strategis harus menjadi bagian penting dalam manajemen mengantisipasi serangan teroris.
Beberapa serangan teror terjadi disebabkan kegagalan melakukan identifikasi dan pengamanan wilayah sebagai pencegahan.
Dalam bidang teknologi informasi, kita sudah memiliki berbagai teknologi canggih. Hanya saja untuk efektivitasnya, kita perlu dukungan traditional resources yang di Indonesia dikenal dengan pembinaan teritorial. Merekalah sumber informasi pertama yang diperlukan untuk melakukan respons cepat.
Pengalaman menunjukkan manajemen krisis juga butuh dukungan manajemen operasi media. Media perlu memperoleh sebanyak mungkin informasi tepat waktu.
Fasilitas umum seperti sekolah dan rumah sakit serta keperluan mendasar masyarakat akan jadi perhatian media. Untuk itu, penanganannya harus diutamakan.
Satu yang tak boleh dilupakan adalah ancaman siber. Ancaman siber tak mematikan, tetapi melumpuhkan sistem negara.
Mengingat perang siber ini tak kenal batas dan waktu, organisasi internasional seperti NATO perlu mengambil inisiatif untuk merancang pertahanan internasional siber. Di Indonesia dilakukan interaksi dengan para hacker untuk merespons suatu pusat pertahanan perang siber.
Ada keperluan untuk merancang strategi pertahanan siber secara terintegrasi guna mengamankan kepentingan nasional.
Sjafrie Sjamsoeddin
Siswa Kursus Krisis Manajemen NATO School Oberammergau, Jerman
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 November 2015, di halaman 7 dengan judul "Kerja Sama Sipil dan Militer".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.