Karena bila komisaris dan Dirut sebuah BUMN yang sama, beda visi dan misi, tidak akan majuAgustaWestland Aw-101 ☆
DPR RI melalui Komisi I menyatakan Komisaris dan Direktur Utama PT Dirgantara Indonesia (PTDI), yakni Marsekal TNI Agus Supriatna yang juga Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) dan Budi Santoso, harus dipecat dari jabatannya.
Hal itu menyusul perbedaan sikap atas rencana pembelian helikopter mewah Kepresidenan jenis Agusta Westland AW-101 buatan Italia-Inggris.
Perbedaan sikap yang dimaksud adalah KSAU tetap `ngotot` memilih helikopter AW101 dalam rangka memberi pelayanan terhadap kepala negara serta tamu negara. Sementara, Dirut PTDI lebih menginginkan helikopter Kepresidenan berasal dari dalam negeri jenis EC-725 dan EC-225. Namun, hal itu tidak dibarengi dengan kinerja PTDI dalam pengadaan alat utama sistem pertahanan (alutsista) bagi TNI AU.
"Kalau tetap dipilih AW101, Dirut PTDI harus diganti, karena Komisaris benar bahwa kinerja PTDI tidak sebaik yang dikira. Meskipun, pernah dinyatakan pailit di 2007, tapi bisa bangkit. Tetapi bila KSAU tidak bisa mempertahankan pendapatnya kepada publik, sebaiknya harus melepas jabatannya sebagai Komisaris PTDI," kata anggota Komisi I DPR RI, Bobby Adhityo Rizaldi saat dihubungi, Minggu (29/11/2015).
"Karena bila komisaris dan Dirut sebuah BUMN yang sama, beda visi dan misi, tidak akan maju," sambungnya.
Menurutnya, KSAU sebagai Komisaris PTDI perlu membuka ke publik kinerja PTDI saat ini yang berbeda seperti pernyataan Dirut PTDI Budi Santoso bahwa PTDI sedang mengembangkan alutsista udara. Hal itu bertujuan agar ada harmonisasi atau kesepahaman antara Komisaris dan Direksi PTDI, sehingga bisa bersama memajukan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tersebut.
"Perbedaan perspektif perlu diminimalisir, ego sektor juga. Sehingga TNI AU dan PTDI bisa saling bersinergi tanpa mengurangi atau menggangu kinerja operasional TNI AU," ujarnya.
Politisi Partai Golkar itu melanjutkan, masalah pembelian helikopter AW101 ini perlu disampaikan teknis oleh KSAU dan juga Dirut PTDI. Bila memang PTDI tidak mampu, sebutnya, hal itu disebabkan karena hal apa?
Sebaliknya, Dirut PTDI juga harus mengakui, kesanggupan seperti apa? Sebab, banyak juga yang mengeluhkan kinerja PTDI seperti banyaknya pekerjaan yang tertunda, sehingga berpotensi mengganggu kinerja TNI AU.
"Dalam perdebatan soal heli, PTDI perlu jelaskan kemampuan membangun heli dalam waktu yang ditentukan TNI AU. Masalah spare part yang diklaim lebih murah, perlu disampaikan secara detil. Karena dalam kontrak PTDI dengan Korea untuk EC-225 dan cougar 725, membuat fuselage (Badan) dan tailboom (ekor) bukan keseluruhan spare part," jelasnya.
Dia menegaskan, perdebatan teknis antara KSAU dan Dirut PTDI sangat kontraproduktif untuk masyarakat. Disatu pihak, memang harus memajukan produk nasional, tetapi disisi lain untuk kemampuan TNI AU juga perlu peralatan terbaik untuk menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
"Negeri ini sudah capek kalau setiap kebijakan selalu dipertentangkan antar eksekutifnya sendiri. Presiden harus berani bersikap, bukan lepas tangan, karena soal heli ini untuk kepentingan tugas beliau juga," tegasnya.
Sebelumnya, KSAU Marsekal TNI Agus Supriatna menegaskan pihaknya tetap memilih helikopter AW-101 dalam rangka memberi pelayanan terhadap kepala negara serta tamu negara. Dia menyingkirkan EC-725 produksi PTDI yang sudah melalui proses kajian.
"Sekarang kan wartawan sudah pintar-pintar, coba saja lihat PT DI itu seperti apa. Jangan semua suruh beli dari PT DI, ini politisasi. Kalau nanti helikopter (EC 725 Coungar) ada apa-apa bagaimana? Siapa yang mau disalahkan?" terang Agus saat dikonfirmasi awak media, Jumat (27/11).
Mantan Kasum TNI itu lantas mengingat pengalaman prajurit matra udara saat memesan helikopter Super Puma pada rencana strategis (renstra) 2009-2014. Saat itu, TNI AU baru menerima sembilan dari 16 unit helikopter Super Puma yang dipesan.
"16 unit Super Puma yang dipesan, tetapi TNI AU hanya menerima sembilan helikopter. Sementara pengiriman tidak tepat waktu sehingga mengganggu proses operasional," tukasnya.
Sebab itu, TNI AU kini terkesan cuek terhadap PT DI untuk memproduksi sisanya. Bahkan, Agus menganggap bahwa PT DI tidak mampu memproduksi alutsista udara. "Saya rasa bikin sayap saja (PT DI) tidak bisa," pungkas Agus. (robbi)
DPR RI melalui Komisi I menyatakan Komisaris dan Direktur Utama PT Dirgantara Indonesia (PTDI), yakni Marsekal TNI Agus Supriatna yang juga Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) dan Budi Santoso, harus dipecat dari jabatannya.
Hal itu menyusul perbedaan sikap atas rencana pembelian helikopter mewah Kepresidenan jenis Agusta Westland AW-101 buatan Italia-Inggris.
Perbedaan sikap yang dimaksud adalah KSAU tetap `ngotot` memilih helikopter AW101 dalam rangka memberi pelayanan terhadap kepala negara serta tamu negara. Sementara, Dirut PTDI lebih menginginkan helikopter Kepresidenan berasal dari dalam negeri jenis EC-725 dan EC-225. Namun, hal itu tidak dibarengi dengan kinerja PTDI dalam pengadaan alat utama sistem pertahanan (alutsista) bagi TNI AU.
"Kalau tetap dipilih AW101, Dirut PTDI harus diganti, karena Komisaris benar bahwa kinerja PTDI tidak sebaik yang dikira. Meskipun, pernah dinyatakan pailit di 2007, tapi bisa bangkit. Tetapi bila KSAU tidak bisa mempertahankan pendapatnya kepada publik, sebaiknya harus melepas jabatannya sebagai Komisaris PTDI," kata anggota Komisi I DPR RI, Bobby Adhityo Rizaldi saat dihubungi, Minggu (29/11/2015).
"Karena bila komisaris dan Dirut sebuah BUMN yang sama, beda visi dan misi, tidak akan maju," sambungnya.
Menurutnya, KSAU sebagai Komisaris PTDI perlu membuka ke publik kinerja PTDI saat ini yang berbeda seperti pernyataan Dirut PTDI Budi Santoso bahwa PTDI sedang mengembangkan alutsista udara. Hal itu bertujuan agar ada harmonisasi atau kesepahaman antara Komisaris dan Direksi PTDI, sehingga bisa bersama memajukan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tersebut.
"Perbedaan perspektif perlu diminimalisir, ego sektor juga. Sehingga TNI AU dan PTDI bisa saling bersinergi tanpa mengurangi atau menggangu kinerja operasional TNI AU," ujarnya.
Politisi Partai Golkar itu melanjutkan, masalah pembelian helikopter AW101 ini perlu disampaikan teknis oleh KSAU dan juga Dirut PTDI. Bila memang PTDI tidak mampu, sebutnya, hal itu disebabkan karena hal apa?
Sebaliknya, Dirut PTDI juga harus mengakui, kesanggupan seperti apa? Sebab, banyak juga yang mengeluhkan kinerja PTDI seperti banyaknya pekerjaan yang tertunda, sehingga berpotensi mengganggu kinerja TNI AU.
"Dalam perdebatan soal heli, PTDI perlu jelaskan kemampuan membangun heli dalam waktu yang ditentukan TNI AU. Masalah spare part yang diklaim lebih murah, perlu disampaikan secara detil. Karena dalam kontrak PTDI dengan Korea untuk EC-225 dan cougar 725, membuat fuselage (Badan) dan tailboom (ekor) bukan keseluruhan spare part," jelasnya.
Dia menegaskan, perdebatan teknis antara KSAU dan Dirut PTDI sangat kontraproduktif untuk masyarakat. Disatu pihak, memang harus memajukan produk nasional, tetapi disisi lain untuk kemampuan TNI AU juga perlu peralatan terbaik untuk menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
"Negeri ini sudah capek kalau setiap kebijakan selalu dipertentangkan antar eksekutifnya sendiri. Presiden harus berani bersikap, bukan lepas tangan, karena soal heli ini untuk kepentingan tugas beliau juga," tegasnya.
Sebelumnya, KSAU Marsekal TNI Agus Supriatna menegaskan pihaknya tetap memilih helikopter AW-101 dalam rangka memberi pelayanan terhadap kepala negara serta tamu negara. Dia menyingkirkan EC-725 produksi PTDI yang sudah melalui proses kajian.
"Sekarang kan wartawan sudah pintar-pintar, coba saja lihat PT DI itu seperti apa. Jangan semua suruh beli dari PT DI, ini politisasi. Kalau nanti helikopter (EC 725 Coungar) ada apa-apa bagaimana? Siapa yang mau disalahkan?" terang Agus saat dikonfirmasi awak media, Jumat (27/11).
Mantan Kasum TNI itu lantas mengingat pengalaman prajurit matra udara saat memesan helikopter Super Puma pada rencana strategis (renstra) 2009-2014. Saat itu, TNI AU baru menerima sembilan dari 16 unit helikopter Super Puma yang dipesan.
"16 unit Super Puma yang dipesan, tetapi TNI AU hanya menerima sembilan helikopter. Sementara pengiriman tidak tepat waktu sehingga mengganggu proses operasional," tukasnya.
Sebab itu, TNI AU kini terkesan cuek terhadap PT DI untuk memproduksi sisanya. Bahkan, Agus menganggap bahwa PT DI tidak mampu memproduksi alutsista udara. "Saya rasa bikin sayap saja (PT DI) tidak bisa," pungkas Agus. (robbi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.