Radar Pantai Lokal
ISRA Mobile (Foto audryliahepburn) |
Radar pantai buatan sendiri ini sangat kompetitif, dibandingkan radar impor,” kata Kepala Bidang Telekomunikasi pada Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PPET LIPI) Mashury Wahab, Kamis (5/1), ketika dihubungi di Bandung, Jawa Barat.
Mashury memulai riset pengembangan radar pantai yang diberi nama Isra (Indonesian Sea Radar) sejak tahun 2006. Pada Januari 2011, LIPI memberikan lisensi untuk diproduksi massal oleh PT Inti.
Kepala LIPI Lukman Hakim, pada kegiatan LIPI Expo 2011 bulan November lalu di Jakarta, menyatakan, tidak mudah untuk meyakinkan penggunaan radar pantai produksi dalam negeri ini. Hingga saat itu, belum ada pembelian radar pantai tersebut.
Mashury mengatakan, prototipe radar Isra dibuat sebanyak tiga buah. Dua radar didirikan secara permanen di Pantai Anyer dan Merak. Tujuannya untuk memantau pergerakan dan arus kapal di Selat Sunda.
”Satu prototipe lain dibuat transportable di atas truk. Radar ini bisa dipindah-pindahkan,” kata Mashury.
Penempatan radar pada ketinggian tertentu sangat menentukan jangkauan pemantauan. Pada ketinggian 100 meter di atas permukaan laut, radar Isra bisa untuk memantau wilayah dengan radius 33 kilometer.
Maksimum jangkauan pemantauan radar Isra diperkirakan mencapai 64 kilometer dengan penempatan pada ketinggian sekitar 200 meter. Untuk menyiasati pembuatan menara tinggi yang mahal, penempatan radar dapat dilakukan di puncak-puncak bukit di tepi pantai.
Penyelundupan
Mashury
mengatakan, radar pantai sebetulnya banyak dibutuhkan di sejumlah
wilayah perairan Indonesia. Radar ini banyak diperlukan untuk mendeteksi
penyelundupan atau transaksi ilegal yang merugikan negara.
”Dengan radar ini dapat dipantau transaksi ilegal di atas kapal yang berusaha menghindari proses pajak,” kata Mashury.
Pendeteksian transaksi ilegal di kapal melalui radar dapat ditengarai, misalnya dari pemantauan kapal yang berimpitan. Dua kapal berimpitan yang terpantau di radar dapat diduga melakukan alih muat barang secara ilegal.
”Transaksi ilegal seperti ini banyak terjadi untuk komoditas perikanan hasil tangkapan nelayan kecil,” kata Mashury.
Kapal besar penangkap ikan dapat membeli secara langsung ikan-ikan hasil tangkapan kapal nelayan di atas laut. Dikhawatirkan, transaksi ilegal ini melibatkan kapal-kapal besar milik asing yang sengaja membeli ikan hasil tangkapan nelayan Indonesia secara ilegal.
”Wilayah transaksi perikanan secara ilegal itu mungkin bisa dilakukan di sekitar perbatasan sehingga tidak melanggar hukum. Tetapi, transaksi di atas kapal seperti itu merugikan negara dan selama ini masih sulit dipantau,” kata Mashury.
Menurut Kepala LIPI Lukman Hakim, untuk seluruh wilayah perairan Indonesia, diperkirakan butuh 600 radar pantai. Potensi ini sekaligus menjadi peluang pemasaran radar Isra buatan LIPI. Namun, sejauh ini masih ada kendala persaingan dengan produk impor.
”Para pengusaha yang mendatangkan radar pantai produk impor sekarang juga berupaya supaya produk yang mereka jual bisa kompetitif,” kata Lukman.
”Dengan radar ini dapat dipantau transaksi ilegal di atas kapal yang berusaha menghindari proses pajak,” kata Mashury.
Pendeteksian transaksi ilegal di kapal melalui radar dapat ditengarai, misalnya dari pemantauan kapal yang berimpitan. Dua kapal berimpitan yang terpantau di radar dapat diduga melakukan alih muat barang secara ilegal.
”Transaksi ilegal seperti ini banyak terjadi untuk komoditas perikanan hasil tangkapan nelayan kecil,” kata Mashury.
Kapal besar penangkap ikan dapat membeli secara langsung ikan-ikan hasil tangkapan kapal nelayan di atas laut. Dikhawatirkan, transaksi ilegal ini melibatkan kapal-kapal besar milik asing yang sengaja membeli ikan hasil tangkapan nelayan Indonesia secara ilegal.
”Wilayah transaksi perikanan secara ilegal itu mungkin bisa dilakukan di sekitar perbatasan sehingga tidak melanggar hukum. Tetapi, transaksi di atas kapal seperti itu merugikan negara dan selama ini masih sulit dipantau,” kata Mashury.
Menurut Kepala LIPI Lukman Hakim, untuk seluruh wilayah perairan Indonesia, diperkirakan butuh 600 radar pantai. Potensi ini sekaligus menjadi peluang pemasaran radar Isra buatan LIPI. Namun, sejauh ini masih ada kendala persaingan dengan produk impor.
”Para pengusaha yang mendatangkan radar pantai produk impor sekarang juga berupaya supaya produk yang mereka jual bisa kompetitif,” kata Lukman.
Keunggulan
Mashury
menjelaskan, radar Isra menggunakan metode frekuensi terus-menerus untuk
memancarkan sinyal pemantauan, atau dikenal sebagai Frequency-Modulated
Continuous Wave (FMCW). Daya pancar radar Isra rendah, yaitu 1 watt.
”Pengoperasian radar dengan daya pancar rendah ini tidak mengganggu sistem operasional radar lain,” kata Mashury.
Sistem operasional radar lain yang dimaksud misalnya milik otoritas pelabuhan atau kesatuan militer. Keunggulan dengan daya pancar yang rendah memungkinkan pengoperasiannya tidak terdeteksi oleh radar scanner (pendeteksi keberadaan radar).
Keunggulan tersebut menguntungkan untuk berbagai aktivitas atau pengusutan kasus ilegal. Keberadaan radar yang tidak terdeteksi dapat lebih optimal mengungkap berbagai pelanggaran.
Frekuensi kerja radar Isra pada pita X-Band 9,4 gigahertz (GHz) dengan dua antena pemancar dan penerima yang bekerja bersamaan. Untuk meningkatkan jangkauan, selain mengatur peningkatan ketinggian penempatan radar, juga dapat dilakukan dengan peningkatan daya pancar sampai 10 watt.
Radar Isra juga memiliki kemampuan Doppler, yaitu kemampuan untuk mendeteksi benda bergerak, seperti kapal-kapal yang melintasi area perbatasan secara lebih akurat.
Ada pula sistem penelusuran target (target tracking) sesuai Automatic Radar Plotting Aids (ARPA) yang ditetapkan Organisasi Maritim Internasional (IMO). Hasil pemantauannya dapat diintegrasikan ke dalam jaringan radar untuk memperluas area pemantauan.
”Saya tidak kompeten untuk menyebutkan harga komersial radar Isra. Yang jelas, kemampuannya sama dengan produk impor dan harganya sangat kompetitif,” kata Mashury.
Lebih penting lagi, sudah saatnya pemerintah dan masyarakat meningkatkan penggunaan produk dalam negeri. (Kompas, 6 Januari 2012/ humasristek)
”Pengoperasian radar dengan daya pancar rendah ini tidak mengganggu sistem operasional radar lain,” kata Mashury.
Sistem operasional radar lain yang dimaksud misalnya milik otoritas pelabuhan atau kesatuan militer. Keunggulan dengan daya pancar yang rendah memungkinkan pengoperasiannya tidak terdeteksi oleh radar scanner (pendeteksi keberadaan radar).
Keunggulan tersebut menguntungkan untuk berbagai aktivitas atau pengusutan kasus ilegal. Keberadaan radar yang tidak terdeteksi dapat lebih optimal mengungkap berbagai pelanggaran.
Frekuensi kerja radar Isra pada pita X-Band 9,4 gigahertz (GHz) dengan dua antena pemancar dan penerima yang bekerja bersamaan. Untuk meningkatkan jangkauan, selain mengatur peningkatan ketinggian penempatan radar, juga dapat dilakukan dengan peningkatan daya pancar sampai 10 watt.
Radar Isra juga memiliki kemampuan Doppler, yaitu kemampuan untuk mendeteksi benda bergerak, seperti kapal-kapal yang melintasi area perbatasan secara lebih akurat.
Ada pula sistem penelusuran target (target tracking) sesuai Automatic Radar Plotting Aids (ARPA) yang ditetapkan Organisasi Maritim Internasional (IMO). Hasil pemantauannya dapat diintegrasikan ke dalam jaringan radar untuk memperluas area pemantauan.
”Saya tidak kompeten untuk menyebutkan harga komersial radar Isra. Yang jelas, kemampuannya sama dengan produk impor dan harganya sangat kompetitif,” kata Mashury.
Lebih penting lagi, sudah saatnya pemerintah dan masyarakat meningkatkan penggunaan produk dalam negeri. (Kompas, 6 Januari 2012/ humasristek)
- ristek -
Sang Pengintai
Radar Indonesia (Foto Kompas) |
Indonesia
mestinya memiliki sistem pemantauan radar yang menjangkau seluruh
wilayah mengingat sebagian besar berupa laut. Namun, sarana pengintai
kapal penyusup itu hanya ada beberapa sehingga kita sering kecolongan.
Membangun kemandirian dalam penyediaan fasilitas strategis itu dimulai
Indonesia dengan menciptakan Indera dan Isra.
Wilayah
Nusantara membujur sepanjang 6.000 kilometer lebih di antara Samudra
Hindia dan Samudra Pasifik. Luasnya 5,18 juta km persegi dan 60 persen
berupa laut. Sebagai negara maritim terluas di dunia, Indonesia tentu
memerlukan radar pengawas pesisir dan kapal patroli dilengkapi radar
navigasi dan penjejak.
Data
dari Direktorat Jenderal Perhubungan menyebutkan, hanya ada 11 sistem
vessel traffic service (VTS). Bila melihat lokasi VTS, sebagian besar
berada di kawasan barat Indonesia, sedangkan kawasan tengah dan timur
belum termonitor. Untuk menutup daerah kosong itu, Kementerian
Perhubungan akan menambah 47 radar VTS dalam beberapa tahun mendatang.
Penambahan
itu belum mencukupi. Idealnya, menurut Hari Purwanto, Staf Ahli Menteri
Riset dan Teknologi bidang Pertahanan dan Keamanan (Hankam), diperlukan
ratusan radar pantai untuk tujuan hankam.
Kurangnya
sarana pemantau membuat Indonesia rawan dari praktik ilegal, seperti
pencurian ikan, penyelundupan, dan pelanggaran batas wilayah perairan
oleh kapal asing.
Ruang
udara kita juga rawan pelanggaran oleh pesawat asing, baik sipil maupun
militer. ”Setengah ruang udara di atas Indonesia belum terpantau
radar,” kata Timbul Siahaan, Staf Ahli Menteri Pertahanan bidang
Teknologi dan Industri.
”Perlu upaya sungguh-sungguh mengatasi dan mandiri dalam penguasaan teknologi radar hingga penerapan,” kata Hari.
Prioritas
Radar Isra untuk pengawasan pantai(Foto Defense Studies) |
Sebagai
teknologi yang berbasis pada teknologi telekomunikasi dan elektronika,
radio detection and ranging (radar) telah lama digunakan sebagai
pendeteksi dan pengukuran jarak suatu obyek dengan menggunakan gelombang
elektromagnet, khususnya gelombang radio.
Antena
pemancar radar akan memancarkan gelombang radio, lalu pantulannya pada
suatu obyek ditangkap antena penerima radar. Dengan demikian, jarak
obyek dapat diketahui.
Teknologi
radar terus dikembangkan kapasitas jangkauan dan aplikasinya. Semula
untuk keperluan militer, kemudian masuk ke sektor sipil, yaitu memantau
lalu lintas kapal dan penerbangan. Selain itu, juga untuk mengamati
kondisi cuaca dan pemetaan.
Penelitian
dan pengembangan hingga penerapan teknologi radar di Indonesia
ditetapkan sebagai program prioritas bidang industri hankam. Hal ini
diungkapkan Menteri Riset dan Teknologi Suharna Surapranata dalam
Seminar Radar Nasional V 2011 yang diadakan Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI) di Jakarta.
Untuk
itu akan dibentuk konsorsium yang menghimpun semua pihak, termasuk
berkontribusi dalam pembiayaan. Kementerian Riset dan Teknologi tahun
lalu mengalokasikan anggaran Rp 20 miliar, di antaranya penelitian dan
pengembangan radar yang dilakukan LIPI.
Isra dan Indera
Radara Indera untuk navigasi kapal (Foto Defense Studies) |
Tahun
lalu LIPI menghasilkan prototipe radar Isra (Indonesian Surveilance
Radar) yang terpasang di Anyer, Banten, untuk memantau lalu lintas kapal
di Selat Sunda. Prototipe yang dibuat PT Inti itu merupakan karya
bersama LIPI dengan ITB dan International Research Centre for
Telecomunication and Radar, Technological University Delft, Belanda.
Selain
itu, ada radar untuk navigasi kapal yang dibuat oleh swasta nasional,
yaitu RCS (Radar & Communication System) Solusi 247. Radar yang
disebut Indera (Indonesian Radar) ini diuji coba, Kamis (21/4/2011), oleh TNI
AL di dua KRI.
Menurut
Andaya Lestari, Kepala Divisi RCS, dibandingkan radar maritim yang
umumnya menggunakan teknologi pulsa berdaya hingga 15 kilowatt, Indera
menggunakan sistem FMCW (frequency modulation-continuos wave)
berkapasitas 2 watt. Karena itu, keberadaan kapal sulit terdeteksi
sehingga menunjang operasi pengintaian.
Bila
uji coba berhasil, radar itu dapat diproduksi untuk memenuhi kebutuhan
hankam dalam negeri. Paling tidak 60 kapal perang di Indonesia dapat
dilengkapi dengan Indera.
Menurut
Ketua Asosiasi Radar Indonesia Mashuri yang juga Kepala Bidang
Telekomunikasi Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi LIPI,
radar yang umum digunakan di Indonesia adalah radar yang menggunakan
sinyal pulsa seperti sinyal digital. Sistem radar pulsa menggunakan satu
antena untuk memancarkan dan menerima sinyal secara bergantian.
Selain
itu, dikembangkan pula radar gelombang kontinu (continuous wave/CW).
Radar ini menggunakan dua antena untuk radar pemancar dan penerima. Ada
pula radar Doppler untuk menjejak atau melacak kecepatan pergerakan
obyek.
Program
Radar Nasional tahap pertama akan berlangsung hingga tahun 2014 untuk
menghasilkan satu prototipe generasi baru, antara lain model PSR
(Primary Surveillance Radar) untuk mendeteksi dini sasaran, prototipe
material, dan komponen peralatan radar. Teknologi radar terus
dikembangkan, antara lain untuk membuat radar senjata (radar penjejak
optoelektronika) serta pemantauan lalu lintas laut dan udara.
(Kompas)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.