Kopaska |
”Saya
berulang kali menyusup ke Singapura dari pangkalan di Pulau Sambu dan
Belakang Padang di sekitar Pulau Batam. Saya masuk lewat Pelabuhan
Singapura dengan menyamar jadi nelayan biasa,” kata Iin Supardi (69),
yang kala itu berpangkat kelasi dua pada satuan Komando Pasukan Katak
(Kopaska) TNI Angkatan Laut (AL), Selasa (4/1) di Tangerang.
Di
Singapura, Iin menggelar operasi intelijen berupa agitasi, provokasi,
hingga upaya sabotase. ”Saya mendatangi kelompok pemuda Tionghoa dan
pemuda Melayu untuk membangun kecurigaan antara mereka. Saya menghasut
kelompok melawan kelompok. Saya menyamar bekerja sebagai buruh pada
taukeh Tionghoa di daerah Jurong,” kata Iin mengenang operasi intelijen
tahun 1963-1965 itu.
Sambil mengantar barang dagangan berupa
hasil bumi ke Singapura atau berlayar mengantar barang selundupan
elektronik, celana, dan rokok dari Singapura ke Kepulauan Riau, Iin
menyelundupkan bahan peledak berulang kali ke pelbagai lokasi aman di
seantero Singapura.
”Saya sering kucing-kucingan dengan Es Ai Di
(yang dimaksud adalah Reserse Kepolisian Singapura alias CID). Harus
kasih uang suap hingga 50 straits dollar,” kata Iin yang fasih berdialek
Melayu Semenanjung dan sedikit menguasai dialek Hokkian yang lazim
digunakan di Singapura,
Sebelum bertugas di Kepulauan Riau, Iin
melatih Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU) yang dikenal sebagai
Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak (PGRS) dan Pasukan Rakyat Kalimantan
Utara (Paraku). Dia melatih TNKU di kamp pelatihan milik TNI di
Bengkayang, Kalimantan Barat.
Anggota Kopaska menyusup ke
Singapura dari pangkalan di Kepulauan Riau di sekitar Batam, Tanjung
Balai Asahan, dan daerah sekitarnya. Mereka biasanya menggunakan perahu
kecil dengan motor tempel dan menyamar menjadi warga setempat yang
memang biasanya memiliki kerabat di Semenanjung Malaya dan Singapura.
Idjad
(70), seorang kopral Kopaska asal Sulawesi Selatan, mengaku masuk ke
kawasan perkotaan Singapura dan ke Johor di Semenanjung Malaya. ”Saya
punya kontak agen lokal bernama Usman yang sangat pro-Indonesia. Usman
tinggal di daerah Kampung Melayu. Ketika saya dan teman-teman
tertangkap, dia juga ikut ditahan di Singapura,” kata Idjad, yang juga
anggota Kopaska.
Idjad mengingat ketiga rekannya sesama
Sukarelawan (Sukwan) Dwikora ditangkap di perbatasan Singapura - Johor di
Causeway di dekat Kranji dan Woodlands. Ketika itu, para Sukwan sudah
bersiap-siap mengebom pipa air yang memasok kebutuhan air di Singapura
dari Johor.
Upacara penyambutan jenazah pahlawan Usman-Harun. (Foto: rhariprasetyo) |
Ketika dibebaskan dari tahanan di Singapura setelah perjanjian
damai Indonesia - Malaysia, Usman masih ditahan di Singapura. Idjad
mengaku bertemu kembali dengan Usman pada tahun 1972 saat berlangsung
latihan gabungan militer Indonesia - Malaysia dan Singapura. Usman tinggal
di daerah Changi dan masih terlihat paranoid karena merasa selalu
diawasi aparat. ”Meski begitu, dia yakin Merah Putih seharusnya berkibar
di Singapura dan Malaysia,” ujar Idjad.
Seorang veteran lainnya,
Liem Hwie Tek (71), asal Cirebon yang ditemui tahun lalu, mengaku, para
veteran Dwikora di daerah asalnya semakin terlupakan. Liem masih
menyimpan ribuan negatif foto konfrontasi di sektor Kepulauan Riau,
tempatnya bertugas di seberang Singapura yang belum dipublikasikan
hingga kini.
Meski peran mereka terlupakan, para veteran
Konfrontasi di Indonesia bangga dan tetap yakin pada cita-cita politik
Soekarno menentang neokolonialisme melalui pembentukan Malaysia kala
itu.
Fakta hari ini memang membuktikan, tahun 2000-an, bentuk
penjajahan baru dari imperialisme perusahaan-perusahaan asing asal
negara maju memang menguasai bangsa-bangsa Asia-Afrika yang gagal
membangun kemakmuran pascakolonialisme seusai Perang Dunia II. Kita pun
boleh mengingat pesan Bung Karno, ”Djangan Sekali-kali Meloepakan
Sedjarah”....(Iwan Santosa)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.