Terbakarnya pesawat F-16 milik TNI Angkatan Udara akibat gagal lepas landas sungguh mengejutkan dan memprihatinkan. Peristiwa ini memberi momentum untuk mengevaluasi semua alat utama sistem persenjataan yang kita miliki, terutama alutsista bekas dari negara lain. Proses evakuasi pesawat tempur F-16 yang terbakar di ujung landasan pacu Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Kamis (16/4). Pesawat F-16 dengan nomor register TS-1643 yang dipiloti Letnan Kolonel (Pnb) Firman Dwi Cahyono itu gagal tinggal landas dan terbakar.
Pesawat F-16 dengan nomor ekor Tempur Sergap (TS) mengalami gangguan mesin dan terbakar saat persiapan lepas landas di Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma, Jakarta, Kamis (16/4), pukul 08.15. Pesawat yang dijuluki "Fighting Falcon" ini merupakan bagian dari proyek hibah 24 pesawat F-16 dari Amerika Serikat. Sebanyak lima pesawat sudah didatangkan dari Utah, AS, ke Madiun, Jawa Timur, dan 19 pesawat lainnya direncanakan tiba tahun ini.
Musibah ini sungguh mengejutkan karena pesawat jet F-16 ini seharusnya tampil prima dan garang di langit Nusantara. Pesawat yang diterbangkan Letnan Kolonel (Pnb) Firman Dwi Cahyono ini seharusnya menjadi kebanggaan rakyat Indonesia dan diandalkan menjaga kedaulatan negara yang amat luas.
Namun, di sisi lain, kita sangat prihatin, ternyata pesawat tempur yang kita miliki adalah pesawat tua yang "dihidupkan" kembali. Pesawat yang tampaknya modern itu ternyata pesawat-pesawat yang telah diremajakan di Ogden Air Logistic Center di Pangkalan AU Hill, Utah, AS. Pesawat tempur yang telah berusia sekitar 30 tahun ini ternyata tidak bisa melawan takdir rentanya usia pesawat tersebut.
Peristiwa ini memberi pelajaran yang sangat pahit buat bangsa ini. Tidak hanya dipermalukan dengan rentanya alutsista yang kita miliki, tetapi juga nyaris saja menggugurkan prajurit terbaik yang kita miliki. Berulang kali prajurit kita bertaruh nyawa bukan melawan musuh, melainkan menghadapi sistem persenjataan yang rapuh.
Dengan pelajaran yang sangat pahit ini seharusnya menjadi koreksi dan evaluasi terhadap alutsista yang kita miliki, terutama alutsista bekas yang berasal dari negara lain. Koreksi dan evaluasi tidak bermaksud untuk mencari siapa yang salah, tetapi agar tidak terulang kembali pada masa mendatang.
Langkah Kepala Staf TNI AU Marsekal Agus Supriatna untuk sementara waktu tidak mengoperasikan pesawat tempur F-16 adalah langkah yang benar. Kita perlu mengevaluasi kembali kelayakan pesawat tempur yang kita miliki, apakah barang-barang hibah tersebut layak dipakai, bagaimana rekam jejaknya, pernah dipakai bertempur di mana saja, dan apa kekurangannya. Dibutuhkan evaluasi yang tajam sebelum memutuskan untuk mengoperasikan kembali pesawat tersebut, termasuk terhadap 19 pesawat F-16 lainnya yang belum tiba di Tanah Air.
Pelajaran lain dari musibah ini adalah pemerintah harus memberi anggaran lebih besar lagi untuk membeli alutsista baru, tidak lagi mengandalkan pembelian pesawat bekas atau hibah dari negara lain. Bahkan, untuk jangka menengah dan panjang, pemerintah bersama DPR harus memikirkan agar bangsa ini mampu membangun industri pertahanan yang kuat.[rusdi.amral@kompas.com]
Pesawat F-16 dengan nomor ekor Tempur Sergap (TS) mengalami gangguan mesin dan terbakar saat persiapan lepas landas di Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma, Jakarta, Kamis (16/4), pukul 08.15. Pesawat yang dijuluki "Fighting Falcon" ini merupakan bagian dari proyek hibah 24 pesawat F-16 dari Amerika Serikat. Sebanyak lima pesawat sudah didatangkan dari Utah, AS, ke Madiun, Jawa Timur, dan 19 pesawat lainnya direncanakan tiba tahun ini.
Musibah ini sungguh mengejutkan karena pesawat jet F-16 ini seharusnya tampil prima dan garang di langit Nusantara. Pesawat yang diterbangkan Letnan Kolonel (Pnb) Firman Dwi Cahyono ini seharusnya menjadi kebanggaan rakyat Indonesia dan diandalkan menjaga kedaulatan negara yang amat luas.
Namun, di sisi lain, kita sangat prihatin, ternyata pesawat tempur yang kita miliki adalah pesawat tua yang "dihidupkan" kembali. Pesawat yang tampaknya modern itu ternyata pesawat-pesawat yang telah diremajakan di Ogden Air Logistic Center di Pangkalan AU Hill, Utah, AS. Pesawat tempur yang telah berusia sekitar 30 tahun ini ternyata tidak bisa melawan takdir rentanya usia pesawat tersebut.
Peristiwa ini memberi pelajaran yang sangat pahit buat bangsa ini. Tidak hanya dipermalukan dengan rentanya alutsista yang kita miliki, tetapi juga nyaris saja menggugurkan prajurit terbaik yang kita miliki. Berulang kali prajurit kita bertaruh nyawa bukan melawan musuh, melainkan menghadapi sistem persenjataan yang rapuh.
Dengan pelajaran yang sangat pahit ini seharusnya menjadi koreksi dan evaluasi terhadap alutsista yang kita miliki, terutama alutsista bekas yang berasal dari negara lain. Koreksi dan evaluasi tidak bermaksud untuk mencari siapa yang salah, tetapi agar tidak terulang kembali pada masa mendatang.
Langkah Kepala Staf TNI AU Marsekal Agus Supriatna untuk sementara waktu tidak mengoperasikan pesawat tempur F-16 adalah langkah yang benar. Kita perlu mengevaluasi kembali kelayakan pesawat tempur yang kita miliki, apakah barang-barang hibah tersebut layak dipakai, bagaimana rekam jejaknya, pernah dipakai bertempur di mana saja, dan apa kekurangannya. Dibutuhkan evaluasi yang tajam sebelum memutuskan untuk mengoperasikan kembali pesawat tersebut, termasuk terhadap 19 pesawat F-16 lainnya yang belum tiba di Tanah Air.
Pelajaran lain dari musibah ini adalah pemerintah harus memberi anggaran lebih besar lagi untuk membeli alutsista baru, tidak lagi mengandalkan pembelian pesawat bekas atau hibah dari negara lain. Bahkan, untuk jangka menengah dan panjang, pemerintah bersama DPR harus memikirkan agar bangsa ini mampu membangun industri pertahanan yang kuat.[rusdi.amral@kompas.com]
★ Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.