Ketika KRI John Lie latihan bersama US Navy [US Navy/supermarine]
Indonesia menolak ajakan latihan militer bersama Republik Rakyat Tiongkok di Laut China Selatan. Langkah ini didukung oleh akademisi bidang pertahanan Andi Widjajanto.
"Sangat tepat, karena salah satu masalah sensitif itu adalah Laut China Selatan," ujar Andi usai menjadi pembicara dalam diskusi CSIS di Gedung Pakarti Center, Jl Tanah Abang III, Jakarta, Senin (19/10/2015).
Jika Indonesia, dalam hal ini TNI, mengamini undangan Tiongkok maka posisi pemerintah disebut Andi akan kesulitan. Pasalnya Tiongkok sudah mengklaim ranah teritori di Laut China Selatan sendiri yang tidak diakui negara-negara lainnya.
"Mereka definisikan teritorial mereka di Laut China Selatan karena Tiongkok mendasari peta-peta yang belum diakui banyak negara di kawasan. Itu bisa menjadi masalah," kata Andi.
Menurut Andi, permasalahan yang sensitif perlu dihindari. Hubungan bilateral pun disebutnya harus dipertimbangkan dengan seksama.
"Jadi sebisa mungkin sensitivitas itu dihindari dan tidak melakukan interaksi-interkasi bilateral terutama yang sifatnya keras seperti latihan militer," ucapnya.
Undangan latihan militer ini sendiri berbeda dengan patroli bersama di kawasan, termasuk Tiongkok, di wilayah Laut China Selatan. Ide tersebut pernah dilontarkan oleh Menhan Ryamizard Ryacudu.
"Oh iya kalau tidak salah itu diungkap Menhan di forum Shangrila dialog ya. Kalau itu kan tujuannya untuk meningkatkan rasa saling percaya, diplomasi," tutur pengamat pertahanan dari UI ini.
Namun dalam menghadapi permasalahan Laut China Selatan, Andi menilai lebih baik semua dikembalikan pada strategi diplomasi Indonesia terkait konflik yang belum berkesudahan itu. Pertama bagaimana Indonesia harus memposisikan diri sebagai negara yang tidak ikut berkonflik.
"Lalu Indonesia bersedia menjadi host broker, di situ kalau ada negara-negara yang membutuhkan Indonesia sebagai fasilitator atau bahkan mediator dan ketiga Indonesia mengandalkan proses-proses yang sudah dilakukan di ASEAN," jelas Andi.
Dalam hal ini adalah declaration of conduct (DoC) dan code of conduct (CoC) atau etika berhubungan di Laut China Selatan. Semua kementerian dan atau lembaga pun diminta kembali pada strategi dasar diplomasi Indonesia tersebut jika berhadapan tentang hal-hal yang berkaitan dengan Laut China Selatan.
"Dan setahu saya Presiden Jokowi juga menggunakan ketiga strategi dasar itu sebagai rujukan bagaimana kita bersikap tentang apapun tawaran. Tidak hanya dari Tiongkok tapi dari negara-negara lain tentang Laut China Selatan," tukas Andi yang pernah menjabat sebagai Sekretaris Kabinet Kerja itu.
Sebelumnya Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo mengungkapkan bahwa TNI menolak tawaran latihan militer Tiongkok di Laut China Selatan. Sebabnya Presiden Jokowi melarang.
"TNI itu harus segaris mematuhi apa yang jadi kebijakan politik luar negeri pemerintah. Pemerintah mengimbau agar semua menahan diri tak melaksanakan kegiatan di Laut China Selatan yang dapat meningkatkan tensi instabilitas di Laut China Selatan," ungkap Gatot di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (19/10). (elz/fdn)
Indonesia menolak ajakan latihan militer bersama Republik Rakyat Tiongkok di Laut China Selatan. Langkah ini didukung oleh akademisi bidang pertahanan Andi Widjajanto.
"Sangat tepat, karena salah satu masalah sensitif itu adalah Laut China Selatan," ujar Andi usai menjadi pembicara dalam diskusi CSIS di Gedung Pakarti Center, Jl Tanah Abang III, Jakarta, Senin (19/10/2015).
Jika Indonesia, dalam hal ini TNI, mengamini undangan Tiongkok maka posisi pemerintah disebut Andi akan kesulitan. Pasalnya Tiongkok sudah mengklaim ranah teritori di Laut China Selatan sendiri yang tidak diakui negara-negara lainnya.
"Mereka definisikan teritorial mereka di Laut China Selatan karena Tiongkok mendasari peta-peta yang belum diakui banyak negara di kawasan. Itu bisa menjadi masalah," kata Andi.
Menurut Andi, permasalahan yang sensitif perlu dihindari. Hubungan bilateral pun disebutnya harus dipertimbangkan dengan seksama.
"Jadi sebisa mungkin sensitivitas itu dihindari dan tidak melakukan interaksi-interkasi bilateral terutama yang sifatnya keras seperti latihan militer," ucapnya.
Undangan latihan militer ini sendiri berbeda dengan patroli bersama di kawasan, termasuk Tiongkok, di wilayah Laut China Selatan. Ide tersebut pernah dilontarkan oleh Menhan Ryamizard Ryacudu.
"Oh iya kalau tidak salah itu diungkap Menhan di forum Shangrila dialog ya. Kalau itu kan tujuannya untuk meningkatkan rasa saling percaya, diplomasi," tutur pengamat pertahanan dari UI ini.
Namun dalam menghadapi permasalahan Laut China Selatan, Andi menilai lebih baik semua dikembalikan pada strategi diplomasi Indonesia terkait konflik yang belum berkesudahan itu. Pertama bagaimana Indonesia harus memposisikan diri sebagai negara yang tidak ikut berkonflik.
"Lalu Indonesia bersedia menjadi host broker, di situ kalau ada negara-negara yang membutuhkan Indonesia sebagai fasilitator atau bahkan mediator dan ketiga Indonesia mengandalkan proses-proses yang sudah dilakukan di ASEAN," jelas Andi.
Dalam hal ini adalah declaration of conduct (DoC) dan code of conduct (CoC) atau etika berhubungan di Laut China Selatan. Semua kementerian dan atau lembaga pun diminta kembali pada strategi dasar diplomasi Indonesia tersebut jika berhadapan tentang hal-hal yang berkaitan dengan Laut China Selatan.
"Dan setahu saya Presiden Jokowi juga menggunakan ketiga strategi dasar itu sebagai rujukan bagaimana kita bersikap tentang apapun tawaran. Tidak hanya dari Tiongkok tapi dari negara-negara lain tentang Laut China Selatan," tukas Andi yang pernah menjabat sebagai Sekretaris Kabinet Kerja itu.
Sebelumnya Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo mengungkapkan bahwa TNI menolak tawaran latihan militer Tiongkok di Laut China Selatan. Sebabnya Presiden Jokowi melarang.
"TNI itu harus segaris mematuhi apa yang jadi kebijakan politik luar negeri pemerintah. Pemerintah mengimbau agar semua menahan diri tak melaksanakan kegiatan di Laut China Selatan yang dapat meningkatkan tensi instabilitas di Laut China Selatan," ungkap Gatot di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (19/10). (elz/fdn)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.