Ilustrasi Jupiter melintas diatas kapal LPD [deffence.pk]
Pembelian Sukhoi Su-35 oleh Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU) membuat negara-negara di kawasan Asia Tenggara tak tinggal diam. Malaysia ikut berencana memperbarui armada udara mereka, salah satu rencana besarnya adalah memberi F/A-18E/F Super Hornet, pesawat yang sama dengan milik AU Australia.
Jika pembelian itu terealisasi, maka terjadi perubahan besar dalam hal penguasaan udara atau dikenal air superiority di kawasan Asia Tenggara. Indonesia dengan Su-35 miliknya, serta Australia dan Malaysia dengan F/A-18E/F Super Hornet.
Mengapa air superiority begitu penting dalam sebuah pertempuran?
Sebelum perang dunia berlangsung, para praktisi militer kerap memandang kemenangan perang hanya mampu diraih lewat darat dan laut. Tak heran, kedua matra ini selalu mendapatkan perhatian berlebih. Para prajurit selalu diberikan mesin perang yang memadai dan canggih di eranya masing-masing.
Pecahnya perang dunia pertama belum mampu mengubah pandangan itu. Padahal, matra udara kerap kali mengubah jalannya pertempuran di Eropa, di mana kemajuan pasukan dipengaruhi serangan udara ke darat. Kedua belah pihak, baik sekutu maupun Jerman secara bergantian menguasai medan.
Tapi, semua berubah total dalam Perang Dunia Kedua. Semua itu dimulai oleh tentara Nazi Jerman yang juga memajukan Angkatan Udaranya di samping modernisasi mesin perang mereka di darat dan laut.
Pentingnya air superiority dibuktikan dengan serangan udara Jerman ke Prancis. Kondisi ini sangat membantu tentara Nazi masuk hingga ke pusat pertahanan pasukan sekutu dan membuat mereka mundur terjepit di ujung utara Pantai Prancis. Alhasil, Jerman dengan leluasa menguasai negeri menara eiffel dengan mudah.
Salah satu pesawat yang paling ditakuti adalah Junkers Ju 87 atau Stuka. Pesawat ini mampu menyerang target di laut maupun daratan, bahkan suara saat menukik tajam disebut-sebut membuat musuh-musuh mereka ketakutan. Kondisi ini membuat Jerman merasa yakni bisa menguasai Inggris dengan mudah, tetapi yang terjadi malah kebalikannya.
Keberhasilan Inggris untuk mengalihkan perhatian Adolf Hittler dan Hermann Goering untuk menyerang kota-kota besar dari strategi sebelumnya menyerang Lanud-Lanud Inggris membuat keadaan berbalik. Pesawat tempur Inggris Hurricane R4118 dan Spitfire Mk I berhasil mengatasi serangan-serangan yang dilancarkan Messerschmitt Bf 109E-4 dan bomber Heinkel He 111. Alhasil, kekuatan udara Nazi rontok dalam tiga pertempuran di langit Inggris.
Meski kalah di medan Barat, AU Jerman sempat berbicara banyak saat berlangsungnya Operasi Barbarossa untuk menguasai Uni Soviet. Salah satu peran yang amat besar diberikan oleh Stuka. AU Soviet pun tak mampu berbuat banyak saat berhadapan dengan Messerschmitt yang lebih modern.
Begitu juga Jepang yang menghancurkan armada gabungan Amerika Serikat, Australia, Belanda dan Inggris di Asia Tenggara. Kapal-kapal perang andalan sekutu nyaris tak bersisa dihajar pesawat pengebom Jepang. Dalam waktu singkat, Asia Tenggara pun jatuh ke tangan Jepang.
Setelah perang dunia berakhir, pentingnya penguasaan udara ditunjukkan dengan pertempuran di Timur Tengah. Kemampuan air superiority membuat Israel tak mampu menusuk lebih jauh ke negara-negara Arab, begitu pula sebaliknya, negara-negara Arab tak bisa menundukkan Israel begitu saja.
Kini, perang udara memang tak banyak terjadi. Namun keyakinan air superiority tak dikesampingkan begitu saja. Negara-negara di seluruh dunia terus berusaha meningkatkan kemampuan udaranya masing-masing, ditambah dengan peningkatan teknologi yang kian canggih dalam mendeteksi musuh-musuhnya.
Bahkan, mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah meyakini pentingnya air superiority di era perang modern. Dia sadar, perang sangat ditentukan oleh kekuatan udara yang dimiliki sebuah negara yang mampu menghancurkan jembatan, sumber logistik maupun konsentrasi militer.
"Bahkan pesawat lawan pun tak mampu mengudara karena dihancurkan di tempat, setelah itu barulah dilaksanakan operasi darat. Di sini kekuatan udara menjadi kunci dan sangat diperlukan, bahkan dalam perang asimetris, kekuatan udara juga sangat diperlukan," jelas SBY di shelter F-5 Skadron Udara 14 Lanud Iswahjudi, Madiun, 6 Oktober 2014 lalu.
Pembelian Sukhoi Su-35 oleh Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU) membuat negara-negara di kawasan Asia Tenggara tak tinggal diam. Malaysia ikut berencana memperbarui armada udara mereka, salah satu rencana besarnya adalah memberi F/A-18E/F Super Hornet, pesawat yang sama dengan milik AU Australia.
Jika pembelian itu terealisasi, maka terjadi perubahan besar dalam hal penguasaan udara atau dikenal air superiority di kawasan Asia Tenggara. Indonesia dengan Su-35 miliknya, serta Australia dan Malaysia dengan F/A-18E/F Super Hornet.
Mengapa air superiority begitu penting dalam sebuah pertempuran?
Sebelum perang dunia berlangsung, para praktisi militer kerap memandang kemenangan perang hanya mampu diraih lewat darat dan laut. Tak heran, kedua matra ini selalu mendapatkan perhatian berlebih. Para prajurit selalu diberikan mesin perang yang memadai dan canggih di eranya masing-masing.
Pecahnya perang dunia pertama belum mampu mengubah pandangan itu. Padahal, matra udara kerap kali mengubah jalannya pertempuran di Eropa, di mana kemajuan pasukan dipengaruhi serangan udara ke darat. Kedua belah pihak, baik sekutu maupun Jerman secara bergantian menguasai medan.
Tapi, semua berubah total dalam Perang Dunia Kedua. Semua itu dimulai oleh tentara Nazi Jerman yang juga memajukan Angkatan Udaranya di samping modernisasi mesin perang mereka di darat dan laut.
Pentingnya air superiority dibuktikan dengan serangan udara Jerman ke Prancis. Kondisi ini sangat membantu tentara Nazi masuk hingga ke pusat pertahanan pasukan sekutu dan membuat mereka mundur terjepit di ujung utara Pantai Prancis. Alhasil, Jerman dengan leluasa menguasai negeri menara eiffel dengan mudah.
Salah satu pesawat yang paling ditakuti adalah Junkers Ju 87 atau Stuka. Pesawat ini mampu menyerang target di laut maupun daratan, bahkan suara saat menukik tajam disebut-sebut membuat musuh-musuh mereka ketakutan. Kondisi ini membuat Jerman merasa yakni bisa menguasai Inggris dengan mudah, tetapi yang terjadi malah kebalikannya.
Keberhasilan Inggris untuk mengalihkan perhatian Adolf Hittler dan Hermann Goering untuk menyerang kota-kota besar dari strategi sebelumnya menyerang Lanud-Lanud Inggris membuat keadaan berbalik. Pesawat tempur Inggris Hurricane R4118 dan Spitfire Mk I berhasil mengatasi serangan-serangan yang dilancarkan Messerschmitt Bf 109E-4 dan bomber Heinkel He 111. Alhasil, kekuatan udara Nazi rontok dalam tiga pertempuran di langit Inggris.
Meski kalah di medan Barat, AU Jerman sempat berbicara banyak saat berlangsungnya Operasi Barbarossa untuk menguasai Uni Soviet. Salah satu peran yang amat besar diberikan oleh Stuka. AU Soviet pun tak mampu berbuat banyak saat berhadapan dengan Messerschmitt yang lebih modern.
Begitu juga Jepang yang menghancurkan armada gabungan Amerika Serikat, Australia, Belanda dan Inggris di Asia Tenggara. Kapal-kapal perang andalan sekutu nyaris tak bersisa dihajar pesawat pengebom Jepang. Dalam waktu singkat, Asia Tenggara pun jatuh ke tangan Jepang.
Setelah perang dunia berakhir, pentingnya penguasaan udara ditunjukkan dengan pertempuran di Timur Tengah. Kemampuan air superiority membuat Israel tak mampu menusuk lebih jauh ke negara-negara Arab, begitu pula sebaliknya, negara-negara Arab tak bisa menundukkan Israel begitu saja.
Kini, perang udara memang tak banyak terjadi. Namun keyakinan air superiority tak dikesampingkan begitu saja. Negara-negara di seluruh dunia terus berusaha meningkatkan kemampuan udaranya masing-masing, ditambah dengan peningkatan teknologi yang kian canggih dalam mendeteksi musuh-musuhnya.
Bahkan, mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah meyakini pentingnya air superiority di era perang modern. Dia sadar, perang sangat ditentukan oleh kekuatan udara yang dimiliki sebuah negara yang mampu menghancurkan jembatan, sumber logistik maupun konsentrasi militer.
"Bahkan pesawat lawan pun tak mampu mengudara karena dihancurkan di tempat, setelah itu barulah dilaksanakan operasi darat. Di sini kekuatan udara menjadi kunci dan sangat diperlukan, bahkan dalam perang asimetris, kekuatan udara juga sangat diperlukan," jelas SBY di shelter F-5 Skadron Udara 14 Lanud Iswahjudi, Madiun, 6 Oktober 2014 lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.