✈ Shock TherapyBrigjen Teddy diadilli di Pengadilan Militer II Jakarta [edo/detikcom]
Brigjen Teddy Hernayadi divonis penjara seumur hidup karena korupsi anggaran pembelian alutsista 2010-2014 sekitar USD 12 juta. Pihak Kementerian Pertahanan (Kemhan) mengatakan ini merupakan shock therapy bagi oknum yang bermain dalam pengadaan alutsista TNI.
Inspektur Jenderal Kementerian Pertahanan, Marsekal Madya Hadi Tjahjanto menegaskan, pihaknya mendukung penuh program pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi. Untuk itu, pengungkapan kasus Teddy tersebut menjadi pintu masuk untuk membongkar bobrok di sisi kemiliteran.
"Iya, kita mendukung kebijakan pemerintah bahwa kita akan bebas atau lepas dari korupsi. Tentunya di seluruh instansi kita akan melaksanakan program itu. Dan ini adalah satu pintu masuk yang baik untuk itu," kata Hadi saat ditemui di Gedung Balai Kartini, Jl Gatot Subroto, Jakarta, Kamis (1/12/2016).
Hadi sendiri mengatakan, pihaknya akan menelusuri lebih lanjut keterlibatan pihak lain dalam kasus Teddy. Terlebih saat persidangan ada 53 orang saksi yang diduga menerima pinjaman dana dari Teddy.
"Itu akan kita kembangkan. Dan ini adalah satu shock therapy untuk mereka," katanya.
"Kita kembangkan, kita ke dalam kita evaluasi apa yang perlu kita lihat dari fakta-fakta di persidangan, itulah yang akan kita terus tindak lanjuti. Dan tadi juga sudah disampaikan oleh Ketua KPK akan terus mendukung," tambahnya.
Hadi juga mengatakan, nilai korupsi Hadi tersebut sangat fantastis, yakni sebesar USD 12 juta. Dengan terbongkarnya kasus ini, diharapkan ada uang yang kembali ke negara.
"Dari USD 12 juta itu kan nanti bisa kita lihat. USD 12 juta itu kan banyak, hampir Rp 146 miliar. Itu nanti bisa kita kembangkan. Pintu masuk, dan itu sudah terbuka," katanya. (jor/asp)
Ini Hal Luar Biasa
Indikasi korupsi pengadaan pesawat F16. Ilustrasi TS1636 TNI AU [TNI AU]
Anggaran Alat Utama Sistem Persenjataan (Alusista) 2010-2015 dikorupsi Brigjen Teddy Hernayadi sebesar USD 12 juta. Alhasil, Brigjen Teddi dihukum penjara seumur hidup oleh Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta, Rabu (30/11) kemarin.
Hal itu sesuai dengan UU Tipikor, bagi prajurit TNI yang melakukan pelanggaran tindak pidana korupsi akan diproses sesuai hukum yang berlaku.
"Selama ini prajurit TNI selalu menjunjung tinggi dan patuh pada hukum yang berlaku, karena hukum sebagai panglima," kata Kapuspen TNI Mayjen TNI Wuryanto di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Kamis (1/12/2016).
Majelis menyatakan Brigjen Teddy terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi dengan hukuman pidana pokok penjara seumur hidup dan hukuman tambahan dipecat dari dinas militer yaitu TNI AD. Selain itu juga dikenakan uang pengaganti sebesar USD 12.409.995.
"Putusan hakim tersebut telah membuktikan secara sah dan meyakinkan kalau Brigjen TNI Teddy Hernayadi bersalah dalam korupsi anggaran Alat Utama Sistem Persenjataan (Alusista), hal ini merugikan negara," ujar Mayjn Muryanto.
TNI mendukung apapun keputusan dari Pengadilan Militer Tinggi (Dilmilti) II Jakarta dan tidak melakukan intervensi.
"Keputusan ini dapat menjadi pelajaran berharga bagi seluruh prajurit, untuk tidak bertindak melakukan pelanggaran sekecil apapun dan Pimpinan TNI tidak akan mentolerir pelanggaran yang dilakukan oleh oknum prajuritnya," tegas Kapuspen TNI.
"Putusan hukum yang ditetapkan oleh Hakim Pengadilan Tinggi II Jakarta, merupakan bentuk upaya meyakinkan masyarakat bahwa TNI berkomitmen dan bersikap tegas menegakkan hukum, bagi oknum prajurit TNI yang melakukan pelanggaran," kata Kapuspen TNI.
Menurut Kapuspen TNI, selama ini pandangan masyarakat terhadap sistem peradilan militer terkesan tertutup dan dapat diintervensi oleh pejabat TNI.
"Hari ini membuktikan bahwa tuntutan yang hanya 12 tahun, ternyata dijatuhi keputusan seumur hidup, ini hal yang luar biasa karena TNI memposisikan hukum sebagai panglima," tegas Mayjen Muryanto.
Kapuspen TNI Mayjen TNI Wuryanto juga mengatakan, komitmen Pimpinan TNI bahwa keputusan hukum ini, sebagai momentum bersih-bersih TNI dari segala bentuk pelanggaran. Apabila ada oknum prajurit TNI yang tetap melakukan pelanggaran akan ditindak tegas sesuai hukum yang berlaku.
"Upaya yang dilakukan Pimpinan TNI bukan hanya bersih-bersih dari korupsi, namun juga dari semua bentuk pelanggaran, sehingga institusi TNI bisa lebih baik dan profesional," pungkasnya. (asp/fdn)
Korupsinya Sudah Kayak Kanker
Ketok palu hakim militer Kolonel CHK Deddy Suryanto membuat Brigjen Teddy Hernayadi hidup di balik jeruji besi hingga meninggal dunia. Teddy sendiri merupakan jenderal aktif bintang satu dalam perkara korupsi alusista di Kementerian Pertahanan.
Lalu seperti apa sosok hakim Deddy ?
Gedung Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta, di Jalan Raya Penggilingan, Cakung, Jakarta Timur, berdiri kokoh menjaga marwah kewibawaan prajurit TNI. Dalam perkara korupsi Brigjen Teddy, Deddy ditunjuk oleh Kepala Pengadilan Militer Tinggi II sebagai majelis hakim ketua.
"Ini pekerjaan rutin. Kita hanya profesinya sebagai hakim, kita memutuskan perkara, niat kita baik Inysa Allah dipertanggungjawabkan dunia akhirat yah," ujar Deddy dalam perbincanganya di kantornya, Rabu (1/11/2016).
Sebagai ketua majelis hakim Deddy selalu melakukan riset hubungan sebab akibat setiap perkara yang ditangani. Setelah itu dirinya mempelajari berkas perkara yang ditanganinya.
"Nah, ada satu tulisan bagus sebelum putusan kemarin, yang saya baca entah di koran apa, tentang korupsi di situ saya terenyuh betul. Jadi, kita pernah mengalami krisis ekonomi. Nah di situ kita sulit sekali melepas krisis itu sampai sekarang dan faktor utama penyebabnya itu tingkat korupsi yang paling tinggi. Lho jadi bukan karena penyebab yang lain ketidakmampuan daya saing ekspor hasil bumi segala macam bukan jadi yang kita ini abis ya ini seperti ini untuk korupsi. Wah ini luar biasa sekali di samping itu kita militer berkaitan dengan alusista dan teman teman banyak informasikan," beber pria yang pernah tugas operasi darurat militer di Aceh.
Tulisan tersebut kata Deddy yang memotivasi dirinya untuk bersikap tegas terhadap perkara korupsi. Terlebih perilaku korupsi dalam institusi TNI.
"Nah itu yang membuat saya, TNI harus berani bersih bersih janganlah kayak begini. Jadilah TNI yang dicintai oleh rakyatnya. Nah sekarang utamanya perangi korupsi. Kalau dulu jelas musuhnya kalau sekarang nggak jelas musuhnya. Wah ini korupsinya sudah kayak kanker kita susah memberantasnya. Ini sudah kejahatan yang luar biasa," paparnya.
Deddy menjelaskan perkara Brigjen Teddy ini menyita banyak waktu. Bahkan pihaknya dikejar-kejar dengan batas masa penahan terdakwa yang akan habis.
"Begitu dapat berkas saya pelajari saksi dapat dipelajari karena ini uang macam sinterklas. Nah yang menjadi masalah banyak saksi yang tingkat kesadaran hukumnya rendah jadi tidak hadir mungkin ketakutan mengembalikan uang," pungkas Deddy.
Sebelumnya Sidang putusan Teddy digelar terbuka untuk umum di Pengadilan Militer Tinggi II, Jalan Penggilingan, Cakung, Jakarta Timur. Vonis majelis itu jauh di atas tuntutan oditur (jaksa-red) yang menuntut Teddy selama 12 tahun penjara.
Teddy menerima putusan itu tetapi masih akan menggunakan hak hukumnya untuk banding. Apabila vonis itu berkekuatan hukum tetap, ia harus menghuni penjara hingga meninggal dunia. (edo/asp)
Proyek Alutista Harus Terbuka Ilustrasi helikopter Apache bersama Mi35 TNI AD. Pengadaan helikopter Apache termasuk dalam kasus korupsi. [google]
Beberapa gabungan LSM mendesak pemerintah untuk lebih transparan dalam melakukan proses pembelian alat utama sistem pertahanan (alutista) yang digunakan oleh TNI. Mereka menganggap terjadinya pidana korupsi akan sangat riskan jika pembelian alutsista dilaksanakan tertutup.
"Menyoal transparansi dan akuntabilitas dalam pengadaan alutsista, pemerintah perlu mengungkap dugaan penyimpangan pengadaan alutsista hingga tuntas dan dilakukan secara menyeluruh," ucap kordinator peneliti Imparsial Ardimanto Adiputra kepada wartawan di kantornya, Jalan Tebet Dalam IV J, Jakarta Selatan, Senin (5/12/2016).
"Tentu ini implikasi dari putusan vonis penjara seumur hidup kepada mantan Brigjen Teddy Hernayadi," imbuh dia.
Selanjutnya, koalisi ini menginginkan monitoring dan penindakan terhadap penyimpangan alutsista tidak berhenti di kasus itu. Pihaknya pun mencontohkan saat pembelian kasus alutsista yang lain.
"Misal di pembelian pesawat jet tempur Sukhoi pada era pemerintahan SBY dibongkar. Itu sudah kami laporkan di KPK dan Kemenhan mengambil alih kasus ini namun belum ada tindaklanjutnya," ungkap Ardi.
Alutsista yang digunakan TNI, kata Ardi, hanya 30 sampai 40 persen saja yang siap berdasar data dari Kemhan. Semakin banyak penyimpangan potensi kerawanan kecelakaan semakin tinggi. Selanjutnya, pembelian alutsista dengan kualitas di bawah standar dapat mengakibatkan kerawanan bagi penggunanya.
"Sehingga jadi pijakan untuk mengungkap kasus lain yang seringkali melibatkan broker dan mengalami kemahalan harga. Di masa lalu pengadaan alutsista bekas khusunya di F 16 dan Apache rawan adanya penyimpangan. Tentu tidak ada kevalidan apakah itu alutsista bekas atau bukan,".
"Selanjutnya di pengadaan alutsista dibeli dibawah standar tidak sesuai kebutuhan dan terjadi penyimpangan, ini ironis dalam pertahanan. Karena alat kita terbatas," tambah dia.
Menurut, Adnan Topan Husodo dari ICW menyitir hasil dari 'goverment defence anti corruption index 2015' oleh G20 yang bekerjasama dengan transparansi internasional mempublikasikan tranparansi dalam bidang keamanan dan alat pertahanan, Indonesia masuk kategori D. Sementara kategori yang baik dimulai dari A hingga E dalam sisi tranparansi dan akuntabilitas.
"Ini mencerminkan problem pengelolaan alutsista kita mendapat nilai E, tentu very high korupsinya. Itu relevan dan masuk akal jika kita lihat dari pengadilan Brigjen Teddy," kata Adnan.
Implikasi korupsi di sektor pertahanan dan alutsista akan mengacaukan sistem strategi kebutuhan alutsista di Indonesia. Karena sudah masuk ke dalam kepentingan pribadi dan pihak ketiga atau broker.
"Jadi tidak memiliki skenario jangka panjang. Karena banyak yang dibeli tidak mencerminkan kebutuhan nyata atas sistem keamanan kita. Anggaran yang terbatas dengan adanya korupsi yang massif, padahal kebutuhan minimum kita belum terpenuhi tetapi terancam praktek korupsi," jelas Adnan.
"Implikasi yang lebih parah apabila nanti diserang negara misalnya. Apakah pesawat tempur kita sudah dicukupi dengan rudal. Tentu ini berbahaya," tambah Adnan
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan merupakan gabungan dari LSM Imparsial, LBH Pers, Elsam, YLBHI, ICW, Lespersi, HRWG, Kontras, IDSPS, CLDS, LBH Jakarta, Setara Institute, dan INFID.
Brigjen Teddy divonis seumur hidup karena terbukti korupsi alat utama sistem pertahanan (alutista) 2010-2014. Salah satu yang dia korup adalah pembelian jet tempur F-16 dan helikopter Apache. Diakumulasi, total yang ia korupsi USD 12,4 juta. Atas pertimbangan itu, Brigjen Teddy akhirnya dihukum penjara seumur hidup, jauh dari tuntutan oditur yaitu 12 tahun penjara. (msl/asp)
Brigjen Teddy Hernayadi divonis penjara seumur hidup karena korupsi anggaran pembelian alutsista 2010-2014 sekitar USD 12 juta. Pihak Kementerian Pertahanan (Kemhan) mengatakan ini merupakan shock therapy bagi oknum yang bermain dalam pengadaan alutsista TNI.
Inspektur Jenderal Kementerian Pertahanan, Marsekal Madya Hadi Tjahjanto menegaskan, pihaknya mendukung penuh program pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi. Untuk itu, pengungkapan kasus Teddy tersebut menjadi pintu masuk untuk membongkar bobrok di sisi kemiliteran.
"Iya, kita mendukung kebijakan pemerintah bahwa kita akan bebas atau lepas dari korupsi. Tentunya di seluruh instansi kita akan melaksanakan program itu. Dan ini adalah satu pintu masuk yang baik untuk itu," kata Hadi saat ditemui di Gedung Balai Kartini, Jl Gatot Subroto, Jakarta, Kamis (1/12/2016).
Hadi sendiri mengatakan, pihaknya akan menelusuri lebih lanjut keterlibatan pihak lain dalam kasus Teddy. Terlebih saat persidangan ada 53 orang saksi yang diduga menerima pinjaman dana dari Teddy.
"Itu akan kita kembangkan. Dan ini adalah satu shock therapy untuk mereka," katanya.
"Kita kembangkan, kita ke dalam kita evaluasi apa yang perlu kita lihat dari fakta-fakta di persidangan, itulah yang akan kita terus tindak lanjuti. Dan tadi juga sudah disampaikan oleh Ketua KPK akan terus mendukung," tambahnya.
Hadi juga mengatakan, nilai korupsi Hadi tersebut sangat fantastis, yakni sebesar USD 12 juta. Dengan terbongkarnya kasus ini, diharapkan ada uang yang kembali ke negara.
"Dari USD 12 juta itu kan nanti bisa kita lihat. USD 12 juta itu kan banyak, hampir Rp 146 miliar. Itu nanti bisa kita kembangkan. Pintu masuk, dan itu sudah terbuka," katanya. (jor/asp)
Ini Hal Luar Biasa
Indikasi korupsi pengadaan pesawat F16. Ilustrasi TS1636 TNI AU [TNI AU]
Anggaran Alat Utama Sistem Persenjataan (Alusista) 2010-2015 dikorupsi Brigjen Teddy Hernayadi sebesar USD 12 juta. Alhasil, Brigjen Teddi dihukum penjara seumur hidup oleh Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta, Rabu (30/11) kemarin.
Hal itu sesuai dengan UU Tipikor, bagi prajurit TNI yang melakukan pelanggaran tindak pidana korupsi akan diproses sesuai hukum yang berlaku.
"Selama ini prajurit TNI selalu menjunjung tinggi dan patuh pada hukum yang berlaku, karena hukum sebagai panglima," kata Kapuspen TNI Mayjen TNI Wuryanto di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Kamis (1/12/2016).
Majelis menyatakan Brigjen Teddy terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi dengan hukuman pidana pokok penjara seumur hidup dan hukuman tambahan dipecat dari dinas militer yaitu TNI AD. Selain itu juga dikenakan uang pengaganti sebesar USD 12.409.995.
"Putusan hakim tersebut telah membuktikan secara sah dan meyakinkan kalau Brigjen TNI Teddy Hernayadi bersalah dalam korupsi anggaran Alat Utama Sistem Persenjataan (Alusista), hal ini merugikan negara," ujar Mayjn Muryanto.
TNI mendukung apapun keputusan dari Pengadilan Militer Tinggi (Dilmilti) II Jakarta dan tidak melakukan intervensi.
"Keputusan ini dapat menjadi pelajaran berharga bagi seluruh prajurit, untuk tidak bertindak melakukan pelanggaran sekecil apapun dan Pimpinan TNI tidak akan mentolerir pelanggaran yang dilakukan oleh oknum prajuritnya," tegas Kapuspen TNI.
"Putusan hukum yang ditetapkan oleh Hakim Pengadilan Tinggi II Jakarta, merupakan bentuk upaya meyakinkan masyarakat bahwa TNI berkomitmen dan bersikap tegas menegakkan hukum, bagi oknum prajurit TNI yang melakukan pelanggaran," kata Kapuspen TNI.
Menurut Kapuspen TNI, selama ini pandangan masyarakat terhadap sistem peradilan militer terkesan tertutup dan dapat diintervensi oleh pejabat TNI.
"Hari ini membuktikan bahwa tuntutan yang hanya 12 tahun, ternyata dijatuhi keputusan seumur hidup, ini hal yang luar biasa karena TNI memposisikan hukum sebagai panglima," tegas Mayjen Muryanto.
Kapuspen TNI Mayjen TNI Wuryanto juga mengatakan, komitmen Pimpinan TNI bahwa keputusan hukum ini, sebagai momentum bersih-bersih TNI dari segala bentuk pelanggaran. Apabila ada oknum prajurit TNI yang tetap melakukan pelanggaran akan ditindak tegas sesuai hukum yang berlaku.
"Upaya yang dilakukan Pimpinan TNI bukan hanya bersih-bersih dari korupsi, namun juga dari semua bentuk pelanggaran, sehingga institusi TNI bisa lebih baik dan profesional," pungkasnya. (asp/fdn)
Korupsinya Sudah Kayak Kanker
Ketok palu hakim militer Kolonel CHK Deddy Suryanto membuat Brigjen Teddy Hernayadi hidup di balik jeruji besi hingga meninggal dunia. Teddy sendiri merupakan jenderal aktif bintang satu dalam perkara korupsi alusista di Kementerian Pertahanan.
Lalu seperti apa sosok hakim Deddy ?
Gedung Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta, di Jalan Raya Penggilingan, Cakung, Jakarta Timur, berdiri kokoh menjaga marwah kewibawaan prajurit TNI. Dalam perkara korupsi Brigjen Teddy, Deddy ditunjuk oleh Kepala Pengadilan Militer Tinggi II sebagai majelis hakim ketua.
"Ini pekerjaan rutin. Kita hanya profesinya sebagai hakim, kita memutuskan perkara, niat kita baik Inysa Allah dipertanggungjawabkan dunia akhirat yah," ujar Deddy dalam perbincanganya di kantornya, Rabu (1/11/2016).
Sebagai ketua majelis hakim Deddy selalu melakukan riset hubungan sebab akibat setiap perkara yang ditangani. Setelah itu dirinya mempelajari berkas perkara yang ditanganinya.
"Nah, ada satu tulisan bagus sebelum putusan kemarin, yang saya baca entah di koran apa, tentang korupsi di situ saya terenyuh betul. Jadi, kita pernah mengalami krisis ekonomi. Nah di situ kita sulit sekali melepas krisis itu sampai sekarang dan faktor utama penyebabnya itu tingkat korupsi yang paling tinggi. Lho jadi bukan karena penyebab yang lain ketidakmampuan daya saing ekspor hasil bumi segala macam bukan jadi yang kita ini abis ya ini seperti ini untuk korupsi. Wah ini luar biasa sekali di samping itu kita militer berkaitan dengan alusista dan teman teman banyak informasikan," beber pria yang pernah tugas operasi darurat militer di Aceh.
Tulisan tersebut kata Deddy yang memotivasi dirinya untuk bersikap tegas terhadap perkara korupsi. Terlebih perilaku korupsi dalam institusi TNI.
"Nah itu yang membuat saya, TNI harus berani bersih bersih janganlah kayak begini. Jadilah TNI yang dicintai oleh rakyatnya. Nah sekarang utamanya perangi korupsi. Kalau dulu jelas musuhnya kalau sekarang nggak jelas musuhnya. Wah ini korupsinya sudah kayak kanker kita susah memberantasnya. Ini sudah kejahatan yang luar biasa," paparnya.
Deddy menjelaskan perkara Brigjen Teddy ini menyita banyak waktu. Bahkan pihaknya dikejar-kejar dengan batas masa penahan terdakwa yang akan habis.
"Begitu dapat berkas saya pelajari saksi dapat dipelajari karena ini uang macam sinterklas. Nah yang menjadi masalah banyak saksi yang tingkat kesadaran hukumnya rendah jadi tidak hadir mungkin ketakutan mengembalikan uang," pungkas Deddy.
Sebelumnya Sidang putusan Teddy digelar terbuka untuk umum di Pengadilan Militer Tinggi II, Jalan Penggilingan, Cakung, Jakarta Timur. Vonis majelis itu jauh di atas tuntutan oditur (jaksa-red) yang menuntut Teddy selama 12 tahun penjara.
Teddy menerima putusan itu tetapi masih akan menggunakan hak hukumnya untuk banding. Apabila vonis itu berkekuatan hukum tetap, ia harus menghuni penjara hingga meninggal dunia. (edo/asp)
Proyek Alutista Harus Terbuka Ilustrasi helikopter Apache bersama Mi35 TNI AD. Pengadaan helikopter Apache termasuk dalam kasus korupsi. [google]
Beberapa gabungan LSM mendesak pemerintah untuk lebih transparan dalam melakukan proses pembelian alat utama sistem pertahanan (alutista) yang digunakan oleh TNI. Mereka menganggap terjadinya pidana korupsi akan sangat riskan jika pembelian alutsista dilaksanakan tertutup.
"Menyoal transparansi dan akuntabilitas dalam pengadaan alutsista, pemerintah perlu mengungkap dugaan penyimpangan pengadaan alutsista hingga tuntas dan dilakukan secara menyeluruh," ucap kordinator peneliti Imparsial Ardimanto Adiputra kepada wartawan di kantornya, Jalan Tebet Dalam IV J, Jakarta Selatan, Senin (5/12/2016).
"Tentu ini implikasi dari putusan vonis penjara seumur hidup kepada mantan Brigjen Teddy Hernayadi," imbuh dia.
Selanjutnya, koalisi ini menginginkan monitoring dan penindakan terhadap penyimpangan alutsista tidak berhenti di kasus itu. Pihaknya pun mencontohkan saat pembelian kasus alutsista yang lain.
"Misal di pembelian pesawat jet tempur Sukhoi pada era pemerintahan SBY dibongkar. Itu sudah kami laporkan di KPK dan Kemenhan mengambil alih kasus ini namun belum ada tindaklanjutnya," ungkap Ardi.
Alutsista yang digunakan TNI, kata Ardi, hanya 30 sampai 40 persen saja yang siap berdasar data dari Kemhan. Semakin banyak penyimpangan potensi kerawanan kecelakaan semakin tinggi. Selanjutnya, pembelian alutsista dengan kualitas di bawah standar dapat mengakibatkan kerawanan bagi penggunanya.
"Sehingga jadi pijakan untuk mengungkap kasus lain yang seringkali melibatkan broker dan mengalami kemahalan harga. Di masa lalu pengadaan alutsista bekas khusunya di F 16 dan Apache rawan adanya penyimpangan. Tentu tidak ada kevalidan apakah itu alutsista bekas atau bukan,".
"Selanjutnya di pengadaan alutsista dibeli dibawah standar tidak sesuai kebutuhan dan terjadi penyimpangan, ini ironis dalam pertahanan. Karena alat kita terbatas," tambah dia.
Menurut, Adnan Topan Husodo dari ICW menyitir hasil dari 'goverment defence anti corruption index 2015' oleh G20 yang bekerjasama dengan transparansi internasional mempublikasikan tranparansi dalam bidang keamanan dan alat pertahanan, Indonesia masuk kategori D. Sementara kategori yang baik dimulai dari A hingga E dalam sisi tranparansi dan akuntabilitas.
"Ini mencerminkan problem pengelolaan alutsista kita mendapat nilai E, tentu very high korupsinya. Itu relevan dan masuk akal jika kita lihat dari pengadilan Brigjen Teddy," kata Adnan.
Implikasi korupsi di sektor pertahanan dan alutsista akan mengacaukan sistem strategi kebutuhan alutsista di Indonesia. Karena sudah masuk ke dalam kepentingan pribadi dan pihak ketiga atau broker.
"Jadi tidak memiliki skenario jangka panjang. Karena banyak yang dibeli tidak mencerminkan kebutuhan nyata atas sistem keamanan kita. Anggaran yang terbatas dengan adanya korupsi yang massif, padahal kebutuhan minimum kita belum terpenuhi tetapi terancam praktek korupsi," jelas Adnan.
"Implikasi yang lebih parah apabila nanti diserang negara misalnya. Apakah pesawat tempur kita sudah dicukupi dengan rudal. Tentu ini berbahaya," tambah Adnan
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan merupakan gabungan dari LSM Imparsial, LBH Pers, Elsam, YLBHI, ICW, Lespersi, HRWG, Kontras, IDSPS, CLDS, LBH Jakarta, Setara Institute, dan INFID.
Brigjen Teddy divonis seumur hidup karena terbukti korupsi alat utama sistem pertahanan (alutista) 2010-2014. Salah satu yang dia korup adalah pembelian jet tempur F-16 dan helikopter Apache. Diakumulasi, total yang ia korupsi USD 12,4 juta. Atas pertimbangan itu, Brigjen Teddy akhirnya dihukum penjara seumur hidup, jauh dari tuntutan oditur yaitu 12 tahun penjara. (msl/asp)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.