➶ Sang Pembunuh UAVDewasa ini penggunaan UAV atau pesawat terbang tanpa awak (PTTA) semakin menggejala dalam dunia kemiliteran. Tidak hanya melakukan operasi pengintaian secara semi otonom atau dikendalikan dari jarak jauh, drone pun punya kemampuan untuk meluncurkan senjata penghancur seperti rudal antitank atau bom pintar.
Di Suriah drone komersial digunakan oleh faksi bertikai dan bisa dimuati bahan peledak untuk dijatuhkan atau ditabrakkan ke posisi lawan. Belum lagi sensor yang dibawa semakin tinggi resolusi dan akurasinya, sehingga kemampuan intainya juga makin trengginas.
Angkatan Bersenjata Amerika Serikat selaku pionir penggunaan drone untuk fungsi kemiliteran pun sudah mafhum mengenai potensi ancaman dari penggunaan wahana serupa oleh negara-negara lain. Oleh karena itu, AS merasa sudah perlu menciptakan suatu alat penangkal ancamannya.
Pada pertengahan November lalu AD AS menyingkap rahasia konsep sistem yang dikembangkan oleh Raytheon dan diberi nama Phaser. Unit ini sudah dikembangkan sejak 2013. Unit Phaser terdiri dari kontainer catu daya, pos kendali, piringan pengarah gelombang, dan radar pendeteksi.
Berbeda dengan sistem hard kill berbasis proyektil atau roket yang selama ini biasa digunakan oleh militer AS, Phaser bekerja dengan sistem soft kill yang menembakkan radiasi sinar gelombang mikro berdaya tinggi dari piringannya ke arah UAV atau drone yang ada dalam jangkauannya. Gelombang mikro tersebut mampu ‘memanggang’ sirkuit elektronik yang ada di dalam UAV atau drone, yang akan mengacaukan sistem pemandu atau bahkan menjatuhkan UAV dan drone tersebut.
Nah, untuk mendeteksi UAV dan drone yang memiliki siluet kecil itu, AD AS mengandalkan sistem radar MPQ-64 Sentinel yang sudah lama digunakan untuk sistem pertahanan udara NASAMS yang diadopsi oleh Amerika Serikat. Radar pulse-doppler ini bekerja pada X-band yang mampu mendeteksi sasaran berukuran kecil sampai jarak 40 km, cukup untuk bagi awak Phaser untuk mempersiapkan diri.
Keunggulan penggunaan serangan gelombang mikro ini adalah lebarnya bentangan radiasi gelombang, yang mencakup bidang area yang lebih lebar dibandingkan dengan proyektil yang lintasannya ajek. Mengingat sasaran berupa UAV atau drone bisa cukup lincah bermanuver dan berukuran kecil, maka penggunaan senjata yang mampu mencakup area yang cukup luas dapat meningkatkan probabilitas kill tersebut.
Desain ini juga memungkinkan gelombang mikro berdaya tinggi dari Phaser untuk disapukan dan menjatuhkan beberapa sasaran yang menyerang secara simultan (swarm).
Selain UAV dan drone, Phaser juga efektif untuk melawan sasaran yang memiliki piranti elektronik. Ini artinya beragam perangkat yang tak terlindung dapat dirusak oleh gelombang mikro yang dipancarkan oleh Phaser. Pengujian Phaser selama ini dilakukan di Fort Sill, Oklahoma yang merupakan pangkalan dari Artileri Pertahanan Udara AD AS.
Author: Aryo Nugroho
Di Suriah drone komersial digunakan oleh faksi bertikai dan bisa dimuati bahan peledak untuk dijatuhkan atau ditabrakkan ke posisi lawan. Belum lagi sensor yang dibawa semakin tinggi resolusi dan akurasinya, sehingga kemampuan intainya juga makin trengginas.
Angkatan Bersenjata Amerika Serikat selaku pionir penggunaan drone untuk fungsi kemiliteran pun sudah mafhum mengenai potensi ancaman dari penggunaan wahana serupa oleh negara-negara lain. Oleh karena itu, AS merasa sudah perlu menciptakan suatu alat penangkal ancamannya.
Pada pertengahan November lalu AD AS menyingkap rahasia konsep sistem yang dikembangkan oleh Raytheon dan diberi nama Phaser. Unit ini sudah dikembangkan sejak 2013. Unit Phaser terdiri dari kontainer catu daya, pos kendali, piringan pengarah gelombang, dan radar pendeteksi.
Berbeda dengan sistem hard kill berbasis proyektil atau roket yang selama ini biasa digunakan oleh militer AS, Phaser bekerja dengan sistem soft kill yang menembakkan radiasi sinar gelombang mikro berdaya tinggi dari piringannya ke arah UAV atau drone yang ada dalam jangkauannya. Gelombang mikro tersebut mampu ‘memanggang’ sirkuit elektronik yang ada di dalam UAV atau drone, yang akan mengacaukan sistem pemandu atau bahkan menjatuhkan UAV dan drone tersebut.
Nah, untuk mendeteksi UAV dan drone yang memiliki siluet kecil itu, AD AS mengandalkan sistem radar MPQ-64 Sentinel yang sudah lama digunakan untuk sistem pertahanan udara NASAMS yang diadopsi oleh Amerika Serikat. Radar pulse-doppler ini bekerja pada X-band yang mampu mendeteksi sasaran berukuran kecil sampai jarak 40 km, cukup untuk bagi awak Phaser untuk mempersiapkan diri.
Keunggulan penggunaan serangan gelombang mikro ini adalah lebarnya bentangan radiasi gelombang, yang mencakup bidang area yang lebih lebar dibandingkan dengan proyektil yang lintasannya ajek. Mengingat sasaran berupa UAV atau drone bisa cukup lincah bermanuver dan berukuran kecil, maka penggunaan senjata yang mampu mencakup area yang cukup luas dapat meningkatkan probabilitas kill tersebut.
Desain ini juga memungkinkan gelombang mikro berdaya tinggi dari Phaser untuk disapukan dan menjatuhkan beberapa sasaran yang menyerang secara simultan (swarm).
Selain UAV dan drone, Phaser juga efektif untuk melawan sasaran yang memiliki piranti elektronik. Ini artinya beragam perangkat yang tak terlindung dapat dirusak oleh gelombang mikro yang dipancarkan oleh Phaser. Pengujian Phaser selama ini dilakukan di Fort Sill, Oklahoma yang merupakan pangkalan dari Artileri Pertahanan Udara AD AS.
Author: Aryo Nugroho
★ Angkasa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.