Keberadaan etnis Tionghoa dalam angkatan bersenjata Indonesia memang tak banyak jumlahnya. Tapi dari yang sedikit itu, ada beberapa sosok yang berperan besar dalam sejarah militer republik ini.
Menurut sejarawan Didi Kwartanada, ada tokoh etnis Tionghoa turut berperan dalam terbentuknya TNI pasca perang kemerdekaan. Di Angkatan Laut ada nama John Lie Tjeng Tjoan atau yang dikenal juga dengan nama Jahja Daniel Dharma.
Didi mengatakan John adalah seorang Tionghoa peranakan. Awalnya dikenal sebagai anggota angkatan laut pasukan sekutu, John diketahui sangat mencintai Indonesia.
Sosok yang menguasai navigasi dan teknik perkapalan itu memilih bergabung ke Angkatan Laut RI setelah Perang Dunia II berakhir. Kepala Staf Angkatan Laut saat itu menawari John Lie, dia mau pangkat apa?
Menurut Didi, karena saat itu motif utama John bergabung dengan AL adalah untuk mengabdi, dia memilih pangkat terendah Angkatan Laut yakni Kelasi Tiga. Meski rendah, John ikut mendidik para pelaut, bahkan memberikan pelatihan pada perwira.
"Dia terus berkarier di AL hingga bisa mendapat bintang dua," kata Didi kepada CNN Indonesia. Jasa besar John Lie membuat ia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2009.
Sementara di Angkatan Udara ada nama Marsekal Pertama Gan Sing Liep atau Sugandhi.
Setelah Indonesia merdeka, pada tahun 1950 Gan Sing Liep adalah salah satu pemuda yang dikirim untuk sekolah pilot ke Amerika Serikat. Bersama rekannya The Tjing Hoo, keduanya adalah bagian dari 50 pemuda pilihan untuk mengikuti pelatihan.
Para lulusan Trans Ocean Airlines Oakland Airport di California ini kemudian yang jadi tulang punggung Angkatan Udara RI. Beberapa nama yang menjadi teman satu angkatan Sugandhi adalah Laksamana Madya Udara Omar Dani dan Marsekal Saleh Basarah. Keduanya pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Udara.
Sugandhi sendiri menurut Didi ikut berperan dalam operasi militer. Pembebasan Irian Barat adalah salah satu operasi yang diikutinya. Atas jasa-jasanya, setelah meninggal Sugandhi dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Berbeda dengan dua angkatan lainnya, menurut Didi di Angkatan Darat nama tentara etnis Tionghoa kurang terdengar. Sejak berdiri pada Oktober 1945, Angkatan Darat baru menerima taruna Tionghoa pada tahun 1960-an. "Tahun 1965 paling banyak, saat itu sekitar 10 orang masuk Akademi Militer Nasional," kata Didi.
Salah satu jenderal dari etnis Tionghoa yang lulus tahun 1965 adalah Brigadir Jenderal (Purn) Tedy Yusuf. Ia pernah menjadi Wakil Komandan Batalion Infanteri 507 Kodam V Brawijaya, Komandan Kodim 0503 Jakarta Barat, dan beberapa jabatan militer lainnya. Setelah pensiun, Tedy kini aktif di Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia.
Pasca 1965, minat Etnis Tionghoa pada dunia kemiliteran menurut Didi kurang terdengar. Hal ini diperparah dengan semakin dibatasinya ruang gerak etnis Tionghoa pada masa Orde Baru.
Didi menduga, tindakan diskriminatif rezim orba ini yang membuat karier di dunia militer tak diminati etnis Tionghoa.
Dalam militer, etnis Tionghoa susah sekali naik pangkat. Mereka juga jarang dikirim untuk mengikuti pelatihan-pelatihan yang bisa mengembangkan karier. "Padahal tentara etnis Tionghoa ini punya potensi juga," ujar Didi.
Saat ini saja menurut Didi ada beberapa perwira tinggi TNI keturunan Tionghoa, namun tak mau dipubllikasikan. Ada juga yang sengaja menutupi identitasnya Tionghoanya demi kepentingan karier.
"Mereka (tentara etnis Tionghoa) tidak mau diekspos kehidupannya karena menurut mereka berjuang untuk bangsa adalah hal yang sudah sewajarnya," kata Didi.
♘ CNN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.