Pelanggaran di Natuna Meningkat Provokasi CG China di perairan Natuna (dok TNI AL)
Panglima Komando Armada RI Kawasan Barat, Laksamana Muda TNI A Taufiq R, mengatakan pelanggaran kedaulatan negara oleh kapal ikan asing di laut Indonesia, termasuk Natuna, meningkat tahun ini. Menurutnya, hal itu terkait proses pengadilan arbitrase (penyelesaian sengketa) soal Laut China Selatan yang segera berakhir di Belanda.
“Dia (China) harus menunjukkan (keberadaannya) di sini (Laut China Selatan). Itu untuk mengantisipasi arbitrase,” kata Taufiq di Markas Koarmabar, Jakarta, Selasa (21/6).
Dalam waktu dekat, Pengadilan Tetap Arbitrase Belanda akan memutus soal sengketa di Laut China Selatan yang diajukan Filipina pada 2013 demi mendapat hak atas zona ekonomi eksklusif sejauh 200 mil laut atau sekitar 370 kilometer di Laut China Selatan.
Namun China tak mengakui arbitrase itu dan akan menolak hasilnya. Negeri Tirai Bambu juga menuding tujuan Filipina sesungguhnya dalam arbitrase bukan untuk menyelesaikan sengketa, tapi menolak hak China di Laut China Selatan (LCS) dan membenarkan haknya sendiri.
Klaim China atas LCS memang tumpang-tindih dengan sejumlah negara lain di Asia.
“Kalau mengklaim, maka harus hadir di sana (perairan yang diklaim). Cara hadirnya dia (China) dengan kapal ikan,” kata Taufiq.
Maka menurut Taufiq, pencurian ikan hanya dijadikan alasan oleh China untuk mengklaim wilayah kedaulatan negara lain. China, ujarnya, hendak membangun persepsi bahwa Laut China Selatan, termasuk perairan Natuna, merupakan wilayah tradisional perikanan mereka.
“Indonesia tidak punya masalah sengketa di Laut China Selatan. Ini masalah persepsi (yang dibangun China soal LCS),” ujar Taufiq.
Kapal China yang ditangkap KRI Imam Bonjol TNI Angkatan Laut di perairan Natuna. (Dok. Dinas Penerangan TNI AL)
Pelanggaran di perairan Natuna terutama meningkat sejak Maret. Tiga kali pelanggaran oleh China merupakan sebagian kecil dari total 57 kasus sejak awal 2016 yang tercatat di Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Insiden terakhir oleh kapal China terjadi Jumat pekan lalu, 17 Juni. Kapal ikan China, Han Tan Cou, ditangkap kapal perang RI (KRI) Imam Bonjol karena terdeteksi menebar jaring di Natuna. Kapal itu dituduh Indonesia mencuri ikan di wilayahnya.
“Saya melihatnya (mengambil ikan di Natuna),” kata Taufiq.
Selama ini Indonesia dan China tak pernah bersinggungan secara hukum soal perairan Natuna yang bersinggungan dengan Laut China Selatan. Sementara soal traditional fishing ground dan nine-dashed line yang diklaim China atas sebagian perairan Natuna, tak diatur dalam hukum internasional.
“Hukum laut mengatur hanya 12 mil dari titik terluar (pulau). Titik terluar China di mana? Enggak ada (di laut Indonesia). Hanya dia membuat nine-dashed line, maka kapal ikannya boleh di sini. Saya bilang, dulu juga Majapahit ke sini (ASEAN),” kata Taufiq.
Zona perikanan tradisional ialah alasan China atas kapal nelayannya yang mengambil ikan di Laut Natuna. Sementara nine-dashed line ialah garis demarkasi atau garis batas pemisah yang digunakan China untuk mengklaim sebagian besar wilayah Laut China Selatan yang menjadi sengketa sejumlah negara di Asia.
Taufiq mengingatkan perbedaan persepsi antarnegara itu harus segera dituntaskan untuk menghindari konflik.
Secara terpisah, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan yakin hubungan bilateral Indonesia dan China tak akan terganggu karena insiden di Natuna tersebut.
“Pelanggaran ya pelanggaran, tidak akan berpengaruh,” kata Luhut di sela rapat dengan Komisi III di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, sore ini.
Indonesia, kata Luhut, akan mempertahankan zona ekonomi eksklusif di perairan Natuna. Di ZEE itu, suatu negara berhak melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan sumber daya alam.
Luhut mengatakan Indonesia akan melihat persoalan dari aspek hukum internasional agar dapat dinilai secara ilmiah dan objektif. Pemerintah membentuk tim pakar yang dipimpin ahli hukum laut internasional Hasyim Djalal untuk menyusun solusi atas permasalahan di Laut China Selatan, termasuk Natuna.
China sebelumnya melayangkan protes kepada Indonesia terkait insiden Natuna. Negeri Tirai Bambu menganggap insiden terjadi di wilayah perairan yang memiliki klaim tumpang-tindih. Anggapan ini langsung dibantah Indonesia yang menyatakan perairan Natuna merupakan wilayah kedaulatan RI. (agk)
Panglima Komando Armada RI Kawasan Barat, Laksamana Muda TNI A Taufiq R, mengatakan pelanggaran kedaulatan negara oleh kapal ikan asing di laut Indonesia, termasuk Natuna, meningkat tahun ini. Menurutnya, hal itu terkait proses pengadilan arbitrase (penyelesaian sengketa) soal Laut China Selatan yang segera berakhir di Belanda.
“Dia (China) harus menunjukkan (keberadaannya) di sini (Laut China Selatan). Itu untuk mengantisipasi arbitrase,” kata Taufiq di Markas Koarmabar, Jakarta, Selasa (21/6).
Dalam waktu dekat, Pengadilan Tetap Arbitrase Belanda akan memutus soal sengketa di Laut China Selatan yang diajukan Filipina pada 2013 demi mendapat hak atas zona ekonomi eksklusif sejauh 200 mil laut atau sekitar 370 kilometer di Laut China Selatan.
Namun China tak mengakui arbitrase itu dan akan menolak hasilnya. Negeri Tirai Bambu juga menuding tujuan Filipina sesungguhnya dalam arbitrase bukan untuk menyelesaikan sengketa, tapi menolak hak China di Laut China Selatan (LCS) dan membenarkan haknya sendiri.
Klaim China atas LCS memang tumpang-tindih dengan sejumlah negara lain di Asia.
“Kalau mengklaim, maka harus hadir di sana (perairan yang diklaim). Cara hadirnya dia (China) dengan kapal ikan,” kata Taufiq.
Maka menurut Taufiq, pencurian ikan hanya dijadikan alasan oleh China untuk mengklaim wilayah kedaulatan negara lain. China, ujarnya, hendak membangun persepsi bahwa Laut China Selatan, termasuk perairan Natuna, merupakan wilayah tradisional perikanan mereka.
“Indonesia tidak punya masalah sengketa di Laut China Selatan. Ini masalah persepsi (yang dibangun China soal LCS),” ujar Taufiq.
Kapal China yang ditangkap KRI Imam Bonjol TNI Angkatan Laut di perairan Natuna. (Dok. Dinas Penerangan TNI AL)
Pelanggaran di perairan Natuna terutama meningkat sejak Maret. Tiga kali pelanggaran oleh China merupakan sebagian kecil dari total 57 kasus sejak awal 2016 yang tercatat di Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Insiden terakhir oleh kapal China terjadi Jumat pekan lalu, 17 Juni. Kapal ikan China, Han Tan Cou, ditangkap kapal perang RI (KRI) Imam Bonjol karena terdeteksi menebar jaring di Natuna. Kapal itu dituduh Indonesia mencuri ikan di wilayahnya.
“Saya melihatnya (mengambil ikan di Natuna),” kata Taufiq.
Selama ini Indonesia dan China tak pernah bersinggungan secara hukum soal perairan Natuna yang bersinggungan dengan Laut China Selatan. Sementara soal traditional fishing ground dan nine-dashed line yang diklaim China atas sebagian perairan Natuna, tak diatur dalam hukum internasional.
“Hukum laut mengatur hanya 12 mil dari titik terluar (pulau). Titik terluar China di mana? Enggak ada (di laut Indonesia). Hanya dia membuat nine-dashed line, maka kapal ikannya boleh di sini. Saya bilang, dulu juga Majapahit ke sini (ASEAN),” kata Taufiq.
Zona perikanan tradisional ialah alasan China atas kapal nelayannya yang mengambil ikan di Laut Natuna. Sementara nine-dashed line ialah garis demarkasi atau garis batas pemisah yang digunakan China untuk mengklaim sebagian besar wilayah Laut China Selatan yang menjadi sengketa sejumlah negara di Asia.
Taufiq mengingatkan perbedaan persepsi antarnegara itu harus segera dituntaskan untuk menghindari konflik.
Secara terpisah, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan yakin hubungan bilateral Indonesia dan China tak akan terganggu karena insiden di Natuna tersebut.
“Pelanggaran ya pelanggaran, tidak akan berpengaruh,” kata Luhut di sela rapat dengan Komisi III di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, sore ini.
Indonesia, kata Luhut, akan mempertahankan zona ekonomi eksklusif di perairan Natuna. Di ZEE itu, suatu negara berhak melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan sumber daya alam.
Luhut mengatakan Indonesia akan melihat persoalan dari aspek hukum internasional agar dapat dinilai secara ilmiah dan objektif. Pemerintah membentuk tim pakar yang dipimpin ahli hukum laut internasional Hasyim Djalal untuk menyusun solusi atas permasalahan di Laut China Selatan, termasuk Natuna.
China sebelumnya melayangkan protes kepada Indonesia terkait insiden Natuna. Negeri Tirai Bambu menganggap insiden terjadi di wilayah perairan yang memiliki klaim tumpang-tindih. Anggapan ini langsung dibantah Indonesia yang menyatakan perairan Natuna merupakan wilayah kedaulatan RI. (agk)
♖ CNN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.