Peluncuran Satelit BriSat dari Guyana, Perancis [dok BRISat] ☆
Anggota Badan Anggaran dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Sukamta, menganggap harga satelit pengamanan yang diajukan Kementerian Pertahanan terlalu mahal. Ia membandingkannya dengan satelit milik Bank Rakyat Indonesia. "Kami butuh mengamankan frekuensi, tapi anggarannya terlalu besar," kata Sukamta saat rapat di gedung Dewan Perwakilan Rakyat, Jakarta, Rabu, 22 Juni 2016.
Kementerian Pertahanan mengajukan dana pembelian satelit sebesar US$ 849,3 juta. Sedangkan harga satelit BRI hanya sekitar US$ 200 juta. "Saya usulkan rasionalisasi lagi jumlahnya sesuai dengan kebutuhan," ucap Sukamta. Sisa dana tersebut nantinya bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan mendesak Kementerian Pertahanan.
Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan Laksamana Madya Widodo menuturkan angka final satelit hingga saat ini masih dikaji. "Kami berharap harganya sesuai dengan pasar," ujarnya.
Kementerian Pertahanan membutuhkan satelit karena selama ini belum memilikinya. Selama ini, Kementerian tersebut hanya menggunakan satelit Telkom.
Menurut Widodo, satelit keamanan yang akan beli berbeda spesifikasi dengan satelit BRI bernama BRIsat. "Satelit yang dibeli berkemampuan L band, C band, dan G band," katanya. Sedangkan BRIsat hanya berkemampuan C band.
Rencana pengadaan satelit Kementerian Pertahanan telah mendapat alokasi dana sebesar Rp 1 miliar dari Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2016. Satelit ini dibiayai sejak 2015 hingga 2020.
Dalam uraian rencana pengadaan satelit, kebutuhan pembiayaan tahun anggaran 2015 sebesar US$ 5 juta. Kementerian Pertahanan menganggarkan US$ 275 juta untuk satelit pada 2016. Tahun berikutnya, anggaran yang disiapkan mencapai US$ 296 juta. Sedangkan pada 2018, anggarannya US$ 197 juta. Pada 2019, Kementerian Pertahanan membutuhkan dana US$ 30 juta. Di tahun terakhir, dana yang dibutuhkan US$ 44 juta.
Anggota Badan Anggaran dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Sukamta, menganggap harga satelit pengamanan yang diajukan Kementerian Pertahanan terlalu mahal. Ia membandingkannya dengan satelit milik Bank Rakyat Indonesia. "Kami butuh mengamankan frekuensi, tapi anggarannya terlalu besar," kata Sukamta saat rapat di gedung Dewan Perwakilan Rakyat, Jakarta, Rabu, 22 Juni 2016.
Kementerian Pertahanan mengajukan dana pembelian satelit sebesar US$ 849,3 juta. Sedangkan harga satelit BRI hanya sekitar US$ 200 juta. "Saya usulkan rasionalisasi lagi jumlahnya sesuai dengan kebutuhan," ucap Sukamta. Sisa dana tersebut nantinya bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan mendesak Kementerian Pertahanan.
Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan Laksamana Madya Widodo menuturkan angka final satelit hingga saat ini masih dikaji. "Kami berharap harganya sesuai dengan pasar," ujarnya.
Kementerian Pertahanan membutuhkan satelit karena selama ini belum memilikinya. Selama ini, Kementerian tersebut hanya menggunakan satelit Telkom.
Menurut Widodo, satelit keamanan yang akan beli berbeda spesifikasi dengan satelit BRI bernama BRIsat. "Satelit yang dibeli berkemampuan L band, C band, dan G band," katanya. Sedangkan BRIsat hanya berkemampuan C band.
Rencana pengadaan satelit Kementerian Pertahanan telah mendapat alokasi dana sebesar Rp 1 miliar dari Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2016. Satelit ini dibiayai sejak 2015 hingga 2020.
Dalam uraian rencana pengadaan satelit, kebutuhan pembiayaan tahun anggaran 2015 sebesar US$ 5 juta. Kementerian Pertahanan menganggarkan US$ 275 juta untuk satelit pada 2016. Tahun berikutnya, anggaran yang disiapkan mencapai US$ 296 juta. Sedangkan pada 2018, anggarannya US$ 197 juta. Pada 2019, Kementerian Pertahanan membutuhkan dana US$ 30 juta. Di tahun terakhir, dana yang dibutuhkan US$ 44 juta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.