CG China coba menggangu proses penegakan hukum di Natuna [anas_nurhafidz] ★
Perjanjian kerja sama dan persahabatan ASEAN (TAC) menjadi tidak ada artinya di tangan Tiongkok (RRT), seolah dirobek-robek ketika memperingati 25 tahun dialog ASEAN-RRT di Kunming, Provinsi Yunnan, akhir pekan lalu. Untuk kedua kalinya, ASEAN tidak berhasil mengeluarkan pernyataan bersama seperti insiden pertemuan para menteri luar negeri ASEAN di Kamboja tahun 2012.
Secara "telanjang" dominasi RRT di kawasan Asia Tenggara telah memecah kesatuan-persatuan ASEAN untuk berbicara satu suara mengenai isu-isu penting di kawasan. Menlu RRT Wang Yi "sukses" mendorong terjadinya kegagalan diplomasi di lingkungan ASEAN, yang selama ini menjadi elemen penting eksistensi organisasi regional ini dalam mempertahankan stabilitas dan perdamaian kawasan.
Dampak yang ditimbulkan sungguh luar biasa. Negara anggota ASEAN, khususnya para negara pendiri, termasuk Indonesia, berkelit menyebutkan pernyataan bersama yang dikeluarkan Malaysia sebagai "panduan media". Dari Kuala Lumpur menyebutkan, pernyataan yang beredar di media massa adalah pernyataan bersama yang seharusnya dikeluarkan di Vientiane, Laos, yang juga gagal, dan kembali gagal di Kunming.
Dalam pernyataan para menlu ASEAN yang beredar tersebut tertulis, "We expressed our serious concerns over recent and ongoing developments, which have eroded trust and confidence, increased tensions and which may have the potential to undermine peace, security and stability in the South China Sea" (Kami menyatakan keprihatinan serius kami atas perkembangan terakhir dan berkelanjutan, yang telah mengikis kepercayaan dan keyakinan, meningkatkan ketegangan, dan mungkin memiliki potensi merusak perdamaian, keamanan, dan stabilitas di Laut Tiongkok Selatan).
Pernyataan ini tidak menyebutkan RRT sama sekali, tetapi pilihan kata "recent and ongoing developments" jelas mengacu pada pembangunan "pulau palsu" di beberapa pulau, karang, beting di Laut Tiongkok Selatan yang dilakukan Beijing. Sekilas terlihat kalau RRT panik mewujudkan diplomasi jelang pengumuman Pengadilan Permanen Arbitrase (PCA) yang dijadwalkan berlangsung pada tanggal 7 Juli mendatang tentang tuntutan Filipina di Laut Tiongkok Selatan.
Kita sendiri berharap, Indonesia memiliki sikap menghadapi perubahan-perubahan geopolitik di kawasan, dan tidak terpengaruh dengan kerja sama hubungan ekonomi dan perdagangan dengan RRT. Di lingkungan pemerintahan, ada yang khawatir "pembalasan ekonomi" oleh Beijing akan berdampak pada menurunnya angka pertumbuhan ekonomi nasional.
Ini adalah analisis keliru yang tidak masuk akal. Diharapkan, rapat terbatas mengenai sikap Indonesia di Laut Tiongkok Selatan dapat mempertimbangkan beberapa hal ini. Pertama, total perdagangan RI-RRT tercatat sekitar 46 miliar dollar AS. Tetapi, dalam perdagangan bilateral ini defisit neraca perdagangan Indonesia mencapai sekitar 16 miliar dollar AS.
Kedua, Menko Polhukam dalam kunjungannya ke Beijing akhir April lalu bertemu dengan Konsuler Negara Yang Jiechi, mantan Menlu RRT sebelum Wang Yi. Ketika menjadi menlu, perlu diingat kalau Yang Jiechi dalam pertemuan ASEAN di Vietnam tahun 2011 mengatakan, "Tiongkok adalah negara besar, negara lain adalah negara kecil, dan ini tidak menggantikan fakta kenyataan tersebut.."
Artinya, ikhtiar RRT bekerja sama saling menguntungkan tidak akan pernah terjadi selama Indonesia masih menentang Beijing dalam penentuan kedaulatan di Laut Tiongkok Selatan. Selain itu, pertumbuhan ekonomi RRT mengalami persoalan sehingga dampak terhadap Indonesia mungkin disebabkan pelemahan ekonomi RRT, dan tidak terkait secara langsung atas mekanisme kerja sama ekonomi dan perdagangan bilateral.
Terkait persoalan Laut Tiongkok Selatan, posisi Indonesia harus setegas kesepakatan bersama yang dibahas di Laos. Indonesia harus mencerminkan kekhawatiran atas "perkembangan terakhir dan berkelanjutan" di Laut Selatan, termasuk beberapa insiden penangkapan kapal-kapal ikan ilegal milik RRT. Sudah waktunya kita menolak didikte oleh Beijing. (Harian KOMPAS).
Perjanjian kerja sama dan persahabatan ASEAN (TAC) menjadi tidak ada artinya di tangan Tiongkok (RRT), seolah dirobek-robek ketika memperingati 25 tahun dialog ASEAN-RRT di Kunming, Provinsi Yunnan, akhir pekan lalu. Untuk kedua kalinya, ASEAN tidak berhasil mengeluarkan pernyataan bersama seperti insiden pertemuan para menteri luar negeri ASEAN di Kamboja tahun 2012.
Secara "telanjang" dominasi RRT di kawasan Asia Tenggara telah memecah kesatuan-persatuan ASEAN untuk berbicara satu suara mengenai isu-isu penting di kawasan. Menlu RRT Wang Yi "sukses" mendorong terjadinya kegagalan diplomasi di lingkungan ASEAN, yang selama ini menjadi elemen penting eksistensi organisasi regional ini dalam mempertahankan stabilitas dan perdamaian kawasan.
Dampak yang ditimbulkan sungguh luar biasa. Negara anggota ASEAN, khususnya para negara pendiri, termasuk Indonesia, berkelit menyebutkan pernyataan bersama yang dikeluarkan Malaysia sebagai "panduan media". Dari Kuala Lumpur menyebutkan, pernyataan yang beredar di media massa adalah pernyataan bersama yang seharusnya dikeluarkan di Vientiane, Laos, yang juga gagal, dan kembali gagal di Kunming.
Dalam pernyataan para menlu ASEAN yang beredar tersebut tertulis, "We expressed our serious concerns over recent and ongoing developments, which have eroded trust and confidence, increased tensions and which may have the potential to undermine peace, security and stability in the South China Sea" (Kami menyatakan keprihatinan serius kami atas perkembangan terakhir dan berkelanjutan, yang telah mengikis kepercayaan dan keyakinan, meningkatkan ketegangan, dan mungkin memiliki potensi merusak perdamaian, keamanan, dan stabilitas di Laut Tiongkok Selatan).
Pernyataan ini tidak menyebutkan RRT sama sekali, tetapi pilihan kata "recent and ongoing developments" jelas mengacu pada pembangunan "pulau palsu" di beberapa pulau, karang, beting di Laut Tiongkok Selatan yang dilakukan Beijing. Sekilas terlihat kalau RRT panik mewujudkan diplomasi jelang pengumuman Pengadilan Permanen Arbitrase (PCA) yang dijadwalkan berlangsung pada tanggal 7 Juli mendatang tentang tuntutan Filipina di Laut Tiongkok Selatan.
Kita sendiri berharap, Indonesia memiliki sikap menghadapi perubahan-perubahan geopolitik di kawasan, dan tidak terpengaruh dengan kerja sama hubungan ekonomi dan perdagangan dengan RRT. Di lingkungan pemerintahan, ada yang khawatir "pembalasan ekonomi" oleh Beijing akan berdampak pada menurunnya angka pertumbuhan ekonomi nasional.
Ini adalah analisis keliru yang tidak masuk akal. Diharapkan, rapat terbatas mengenai sikap Indonesia di Laut Tiongkok Selatan dapat mempertimbangkan beberapa hal ini. Pertama, total perdagangan RI-RRT tercatat sekitar 46 miliar dollar AS. Tetapi, dalam perdagangan bilateral ini defisit neraca perdagangan Indonesia mencapai sekitar 16 miliar dollar AS.
Kedua, Menko Polhukam dalam kunjungannya ke Beijing akhir April lalu bertemu dengan Konsuler Negara Yang Jiechi, mantan Menlu RRT sebelum Wang Yi. Ketika menjadi menlu, perlu diingat kalau Yang Jiechi dalam pertemuan ASEAN di Vietnam tahun 2011 mengatakan, "Tiongkok adalah negara besar, negara lain adalah negara kecil, dan ini tidak menggantikan fakta kenyataan tersebut.."
Artinya, ikhtiar RRT bekerja sama saling menguntungkan tidak akan pernah terjadi selama Indonesia masih menentang Beijing dalam penentuan kedaulatan di Laut Tiongkok Selatan. Selain itu, pertumbuhan ekonomi RRT mengalami persoalan sehingga dampak terhadap Indonesia mungkin disebabkan pelemahan ekonomi RRT, dan tidak terkait secara langsung atas mekanisme kerja sama ekonomi dan perdagangan bilateral.
Terkait persoalan Laut Tiongkok Selatan, posisi Indonesia harus setegas kesepakatan bersama yang dibahas di Laos. Indonesia harus mencerminkan kekhawatiran atas "perkembangan terakhir dan berkelanjutan" di Laut Selatan, termasuk beberapa insiden penangkapan kapal-kapal ikan ilegal milik RRT. Sudah waktunya kita menolak didikte oleh Beijing. (Harian KOMPAS).
★ Baranews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.