Indonesia dan China kembali terlibat kemelut terbuka di perairan Natuna. Kapal perang TNI Angkatan Laut menembaki kapal nelayan China yang mencuri ikan. (ANTARA/Widodo S. Jusuf) ★
Indonesia dan China kembali bersitegang. Optimisme yang dibawa Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan sekembalinya dari melawat ke China April lalu, bahwa Indonesia-China sepakat menurunkan tensi di perairan Natuna, sirna seiring insiden terbaru antara kedua negara.
Hari ini, Senin (20/6), China melayangkan protes kepada pemerintah Indonesia atas aksi penembakan terhadap kapal nelayan China di perairan Natuna. Negeri Tirai Bambu, meski mengakui kedaulatan Indonesia atas Natuna, menyebut insiden terjadi di wilayah perairan yang memiliki klaim tumpang-tindih.
Insiden bermula ketika Kapal Perang TNI Angkatan Laut (KRI) Imam Bonjol-383 yang sedang berpatroli pada Jumat pekan lalu, 17 Juni, menerima laporan intai udara maritim bahwa ada 12 kapal ikan asing sedang mencuri ikan di Natuna.
KRI Imam Bonjol di bawah Komando Armada RI Kawasan Barat lantas bergerak mendekati kedua belas kapal tersebut. Namun saat didekati, kapal-kapal itu kabur.
KRI Imam Bonjol pun memburu kapal-kapal tersebut dan melepas tembakan peringatan. Dari sejumlah tembakan, satu mengenai kapal berbendera China dengan nomor lambung 19038.
Tembakan itu, menurut China, melukai satu nelayan mereka. Pemerintah China pun mendesak Indonesia untuk tak mengambil tindakan yang dapat memperumit Indonesia.
Perairan Natuna di barat daya Kalimantan selama ini memang kerap menjadi ‘medan perang’ Indonesia dan China. Wilayah yang berhadapan dengan Laut China Selatan itu menyimpan catatan deretan insiden antara kapal kedua negara.
Perang urat syaraf mengikuti tiap insiden yang terjadi. Hari ini misalnya, kala pemerintah China melempar protes, Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Susi Pudjiastuti memuji sikap tegas TNI AL menembak kapal China.
“Jalesveva Jayamahe,” kata Susi menyerukan slogan TNI AL melalui akun Twitter-nya. Bahasa Sanskerta itu memiliki arti, “Di lautan kita jaya.”
“TNI AL sudah betul menjaga kedaulatan laut kita beserta isinya. Penembakan itu pasti sudah sesuai prosedur,” ujar Susi.
Mei lalu, Menteri Susi menegaskan sumber daya yang terkandung di Laut Natuna ialah milik Indonesia. Oleh sebab itu pihak asing yang melanggar kedaulatan wilayah itu bakal ditindak tegas.
“Laut Natuna bukan milik kapal-kapal Thailand, Tiongkok, Vietnam, tapi milik kapal-kapal Indonesia,” kata Susi.
Perairan Natuna yang berhadapan dengan Laut China Selatan membuat wilayah ini rawan. (Wikimedia Commons/Holger Behr)
Nine-dashed line
Kemarahan Indonesia atas China soal perairan Natuna bukan hal baru. Ketegangan kedua negara di wilayah itu meningkat sejak 2014. Kala itu China memasukkan sebagian perairan Natuna di Laut China Selatan ke dalam peta teritorialnya yang dikenal dengan sebutan ‘sembilan garis putus-putus’ atau nine-dashed line.
Nine-dashed line yakni garis demarkasi atau garis batas pemisah yang digunakan pemerintah Republik Rakyat China untuk mengklaim sebagian besar wilayah Laut China Selatan yang menjadi sengketa sejumlah negara di Asia.
“China telah mengklaim dengan sewenang-wenang perairan Natuna sebagai wilayah teritorial mereka, dan tidak transparan soal koordinat-koordinat yang dimasukkan ke peta mereka. Peta baru itu bahkan telah tergambar dalam paspor-paspor baru warga China,” kata Marsekal Pertama Fahru Zaini Isnanto yang saat itu menjabat Deputi Koordinator Doktrin dan Strategi Pertahanan Negara Kemenkopolhukam, seperti dilansir Antara.
Fahru mengucapkan itu saat menyambangi Natuna. Sengketa Laut China Selatan yang sesungguhnya tidak melibatkan Indonesia, ujarnya, akan berdampak luas terhadap keamanan perairan Natuna yang masuk zona teritorial Indonesia.
China membangun landasan pacu di pulau buatan mereka di Laut China Selatan. China ialah salah satu negara yang terlibat sengketa di Laut China Selatan. (REUTERS/CSIS Asia Maritime Transparency Initiative/DigitalGlobe/Handout via Reuter)
Sebulan kemudian, Jenderal Moeldoko yang saat itu menjabat Panglima TNI mengumumkan bahwa “Tentara Nasional Indonesia memutuskan untuk meningkatkan kekuatannya di Natuna.”
Dalam tulisannya yang dimuat 28 April 2014 di The Wall Street Journal, Moeldoko mengatakan “TNI perlu mempersiapkan pesawat tempurnya untuk menghadapi potensi meningkatnya ketegangan di Natuna yang merupakan salah satu jalur perairan utama di dunia.”
Moeldoko blakblakan mengatakan Indonesia terganggu atas langkah China memasukkan sebagian perairan Natuna ke dalam nine-dashed line. Menurut dia, itu sama artinya dengan “Menyatakan sebagian Provinsi Kepulauan Riau masuk ke wilayah China.”
Indonesia kembali menegaskan posisinya atas Natuna pada Januari 2016. Menteri Luar Negeri Reno Marsudi menyatakan kepemilikan Natuna tak bisa diganggu-gugat.
“Pulau-pulau terluar pada gugusan Natuna yang dijadikan titik dasar terluar wilayah Indonesia, telah ditetapkan dalam Deklarasi Juanda 1957 dan didaftarkan di Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2009 sesuai Konvensi Hukum laut 1982,” kata dia.
Klaim China
China, tiap bersitegang Indonesia di Natuna, selalu berkata insiden terjadi di zona perikanan tradisional mereka. Zona versi China itu tak diakui pemerintah Indonesia.
“Traditional fishing zone itu tak diakui dalam hukum internasional. Itu klaim sepihak China,” kata Susi, Maret lalu.
Indonesia hanya mengakui hak perikanan tradisional (traditional fishing rights) yang diatur dalam United Nations Convention on the Law of the Sea.
“Satu-satunya traditional fishing rights di Indonesia hanya dengan Malaysia, sedangkan zona ekonomi eksklusif di perairan Natuna mutlak wilayah Indonesia,” ujar Susi.
Hal senada dikatakan pakar hukum internasional Hasyim Djalal yang pagi tadi menyambangi kantor Kemenkopolhukam. “Menurut Indonesia, China salah. Menurut China, perairan itu traditional fishing ground mereka. Tapi tidak pernah ada kesepakatan soal itu dengan Indonesia.”
Seperti Susi, ia menyatakan TNI AL berhak mengambil tindakan di Natuna. “Indonesia mempertahankan zona ekonomi eksklusifnya sesuai hukum internasional. Di situ (ZEE), Indonesia punya kedaulatan atas kekayaan alamnya. Natuna itu wilayah kedaulatan Indonesia, dan karenanya menurut hukum, Indonesia berhak atasnya.”
Indonesia dan China sesungguhnya sudah sempat “berjabat tangan” pascainsiden pada 19 Maret di Natuna. Kala itu kapal penjaga perbatasan China menabrak KM Kway Fey yang hendak ditangkap Kapal Patroli Hiu 11 Kementerian Kelautan dan Perikanan RI. Kway Fey diduga mencuri ikan di Natuna.
Beberapa waktu setelah insiden terjadi dan memicu keberangan Menteri Susi, pemerintah China menyambangi Indonesia, disusul oleh kunjungan balasan Menko Luhut ke China.
Sepulangnya dari China, Luhut menyatakan kedua negara sepakat menuntaskan masalah perikanan di Laut China Selatan dengan menjalin kerja sama penangkapan dan pembuatan pabrik ikan.
Kedua negara juga setuju untuk lebih menahan diri dalam menyikapi insiden. “Indonesia dan China mendukung penyelesaian masalah dilakukan dengan jalan damai agar tidak menimbulkan ketegangan kawasan,” kata Sekretaris Kabinet Pramono Anung.
Namun ucapan Luhut dan Pram dua bulan lalu itu kini seakan ditelan angin. Indonesia dan China kembali terlibat kemelut terbuka di Natuna. (agk)
Indonesia dan China kembali bersitegang. Optimisme yang dibawa Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan sekembalinya dari melawat ke China April lalu, bahwa Indonesia-China sepakat menurunkan tensi di perairan Natuna, sirna seiring insiden terbaru antara kedua negara.
Hari ini, Senin (20/6), China melayangkan protes kepada pemerintah Indonesia atas aksi penembakan terhadap kapal nelayan China di perairan Natuna. Negeri Tirai Bambu, meski mengakui kedaulatan Indonesia atas Natuna, menyebut insiden terjadi di wilayah perairan yang memiliki klaim tumpang-tindih.
Insiden bermula ketika Kapal Perang TNI Angkatan Laut (KRI) Imam Bonjol-383 yang sedang berpatroli pada Jumat pekan lalu, 17 Juni, menerima laporan intai udara maritim bahwa ada 12 kapal ikan asing sedang mencuri ikan di Natuna.
KRI Imam Bonjol di bawah Komando Armada RI Kawasan Barat lantas bergerak mendekati kedua belas kapal tersebut. Namun saat didekati, kapal-kapal itu kabur.
KRI Imam Bonjol pun memburu kapal-kapal tersebut dan melepas tembakan peringatan. Dari sejumlah tembakan, satu mengenai kapal berbendera China dengan nomor lambung 19038.
Tembakan itu, menurut China, melukai satu nelayan mereka. Pemerintah China pun mendesak Indonesia untuk tak mengambil tindakan yang dapat memperumit Indonesia.
Perairan Natuna di barat daya Kalimantan selama ini memang kerap menjadi ‘medan perang’ Indonesia dan China. Wilayah yang berhadapan dengan Laut China Selatan itu menyimpan catatan deretan insiden antara kapal kedua negara.
Perang urat syaraf mengikuti tiap insiden yang terjadi. Hari ini misalnya, kala pemerintah China melempar protes, Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Susi Pudjiastuti memuji sikap tegas TNI AL menembak kapal China.
“Jalesveva Jayamahe,” kata Susi menyerukan slogan TNI AL melalui akun Twitter-nya. Bahasa Sanskerta itu memiliki arti, “Di lautan kita jaya.”
“TNI AL sudah betul menjaga kedaulatan laut kita beserta isinya. Penembakan itu pasti sudah sesuai prosedur,” ujar Susi.
Mei lalu, Menteri Susi menegaskan sumber daya yang terkandung di Laut Natuna ialah milik Indonesia. Oleh sebab itu pihak asing yang melanggar kedaulatan wilayah itu bakal ditindak tegas.
“Laut Natuna bukan milik kapal-kapal Thailand, Tiongkok, Vietnam, tapi milik kapal-kapal Indonesia,” kata Susi.
Perairan Natuna yang berhadapan dengan Laut China Selatan membuat wilayah ini rawan. (Wikimedia Commons/Holger Behr)
Nine-dashed line
Kemarahan Indonesia atas China soal perairan Natuna bukan hal baru. Ketegangan kedua negara di wilayah itu meningkat sejak 2014. Kala itu China memasukkan sebagian perairan Natuna di Laut China Selatan ke dalam peta teritorialnya yang dikenal dengan sebutan ‘sembilan garis putus-putus’ atau nine-dashed line.
Nine-dashed line yakni garis demarkasi atau garis batas pemisah yang digunakan pemerintah Republik Rakyat China untuk mengklaim sebagian besar wilayah Laut China Selatan yang menjadi sengketa sejumlah negara di Asia.
“China telah mengklaim dengan sewenang-wenang perairan Natuna sebagai wilayah teritorial mereka, dan tidak transparan soal koordinat-koordinat yang dimasukkan ke peta mereka. Peta baru itu bahkan telah tergambar dalam paspor-paspor baru warga China,” kata Marsekal Pertama Fahru Zaini Isnanto yang saat itu menjabat Deputi Koordinator Doktrin dan Strategi Pertahanan Negara Kemenkopolhukam, seperti dilansir Antara.
Fahru mengucapkan itu saat menyambangi Natuna. Sengketa Laut China Selatan yang sesungguhnya tidak melibatkan Indonesia, ujarnya, akan berdampak luas terhadap keamanan perairan Natuna yang masuk zona teritorial Indonesia.
China membangun landasan pacu di pulau buatan mereka di Laut China Selatan. China ialah salah satu negara yang terlibat sengketa di Laut China Selatan. (REUTERS/CSIS Asia Maritime Transparency Initiative/DigitalGlobe/Handout via Reuter)
Sebulan kemudian, Jenderal Moeldoko yang saat itu menjabat Panglima TNI mengumumkan bahwa “Tentara Nasional Indonesia memutuskan untuk meningkatkan kekuatannya di Natuna.”
Dalam tulisannya yang dimuat 28 April 2014 di The Wall Street Journal, Moeldoko mengatakan “TNI perlu mempersiapkan pesawat tempurnya untuk menghadapi potensi meningkatnya ketegangan di Natuna yang merupakan salah satu jalur perairan utama di dunia.”
Moeldoko blakblakan mengatakan Indonesia terganggu atas langkah China memasukkan sebagian perairan Natuna ke dalam nine-dashed line. Menurut dia, itu sama artinya dengan “Menyatakan sebagian Provinsi Kepulauan Riau masuk ke wilayah China.”
Indonesia kembali menegaskan posisinya atas Natuna pada Januari 2016. Menteri Luar Negeri Reno Marsudi menyatakan kepemilikan Natuna tak bisa diganggu-gugat.
“Pulau-pulau terluar pada gugusan Natuna yang dijadikan titik dasar terluar wilayah Indonesia, telah ditetapkan dalam Deklarasi Juanda 1957 dan didaftarkan di Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2009 sesuai Konvensi Hukum laut 1982,” kata dia.
Klaim China
China, tiap bersitegang Indonesia di Natuna, selalu berkata insiden terjadi di zona perikanan tradisional mereka. Zona versi China itu tak diakui pemerintah Indonesia.
“Traditional fishing zone itu tak diakui dalam hukum internasional. Itu klaim sepihak China,” kata Susi, Maret lalu.
Indonesia hanya mengakui hak perikanan tradisional (traditional fishing rights) yang diatur dalam United Nations Convention on the Law of the Sea.
“Satu-satunya traditional fishing rights di Indonesia hanya dengan Malaysia, sedangkan zona ekonomi eksklusif di perairan Natuna mutlak wilayah Indonesia,” ujar Susi.
Hal senada dikatakan pakar hukum internasional Hasyim Djalal yang pagi tadi menyambangi kantor Kemenkopolhukam. “Menurut Indonesia, China salah. Menurut China, perairan itu traditional fishing ground mereka. Tapi tidak pernah ada kesepakatan soal itu dengan Indonesia.”
Seperti Susi, ia menyatakan TNI AL berhak mengambil tindakan di Natuna. “Indonesia mempertahankan zona ekonomi eksklusifnya sesuai hukum internasional. Di situ (ZEE), Indonesia punya kedaulatan atas kekayaan alamnya. Natuna itu wilayah kedaulatan Indonesia, dan karenanya menurut hukum, Indonesia berhak atasnya.”
Indonesia dan China sesungguhnya sudah sempat “berjabat tangan” pascainsiden pada 19 Maret di Natuna. Kala itu kapal penjaga perbatasan China menabrak KM Kway Fey yang hendak ditangkap Kapal Patroli Hiu 11 Kementerian Kelautan dan Perikanan RI. Kway Fey diduga mencuri ikan di Natuna.
Beberapa waktu setelah insiden terjadi dan memicu keberangan Menteri Susi, pemerintah China menyambangi Indonesia, disusul oleh kunjungan balasan Menko Luhut ke China.
Sepulangnya dari China, Luhut menyatakan kedua negara sepakat menuntaskan masalah perikanan di Laut China Selatan dengan menjalin kerja sama penangkapan dan pembuatan pabrik ikan.
Kedua negara juga setuju untuk lebih menahan diri dalam menyikapi insiden. “Indonesia dan China mendukung penyelesaian masalah dilakukan dengan jalan damai agar tidak menimbulkan ketegangan kawasan,” kata Sekretaris Kabinet Pramono Anung.
Namun ucapan Luhut dan Pram dua bulan lalu itu kini seakan ditelan angin. Indonesia dan China kembali terlibat kemelut terbuka di Natuna. (agk)
♞ CNN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.